Orang Muda dan Jebakan dalam Pilkada

Refleksi Post-Peringatan Sumpah Pemuda

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Peringatan hari Sumpah Pemuda telah berlalu. Namun demikian, peringatan itu tidak boleh terbatas ataupun dibatasi pada peringatan ceremonial tanggal 28 Oktober. Peringatan itu mesti dibaca sebagai momentum kebangkitan politik orang muda terutama jika dikaitkan dengan konteks Pilkada yang tidak lama lagi akan kita laksanakan.

Orang muda mesti mengambil hikmah dari peringatan tersebut untuk mereposisi ataupun merevitalisasi sikap agar dapat menjadi pilar demokrasi dalam mendapatkan Pilkada yang berbobot.

Inspirasi dari AS

Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, memiliki cara tersendiri untuk menarik simpati kaum muda. Dia “mengutus” Michelle Obama ke Philadelphia dan Bernie Sanders ke Universitas Hamphsire untuk mengkampanyekan partisipasi aktif kaum muda dalam pemilihan presiden akan datang.

Ada dua hal yang dapat dipetik dari kisah ini. Pertama, ini membuktikan bahwa orang muda Amerika Serikat memiliki posisi tawar kuat dalam perpolitikan. Kedua, bisa jadi hal tersebut merupakan jebakan politik Hillary terhadap orang muda agar memilihnya.

Lalu, bagaimana dengan orang muda di Indonesia? Sejarah mencatat bahwa orang muda memiliki peran signifikan bagi demokratisasi bangsa kita. Lahirnya organisasi “Boedi Oetomo” tahun 1908, yang diawali oleh kelompok studi pemuda, memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia untuk memperkuat nasionalisme bangsa (Faisal, 2011).

Tak hanya itu, sumpah pemuda tahun 1928, peristiwa Rengasdengklok tahun 1945 dan Reformasi 1998 merupakan beberapa contoh gerakan liberatif dimana orang muda menjadi promotornya.

Namun kini, ada gejala dimana orang muda diperalat untuk memback-up libido politik elite-elite politik. Orang muda yang diharapkan menciptakan kestabilan politik serta liberalisasi publik, sering terperangkap dalam jebakan politik instrumentalitatif. Memang benar bahwa ada sebagian orang muda yang menampilkan gerakan dan model politik alternatif.

Namun demikian, apa yang mereka lakukan belum berpengaruh secara signifikan bagi kebangkitan politik orang muda tanah air. Orang muda dan gerakan mereka masih rentan disusupi berbagai agenda terselubung.

Bahkan, orang muda dijadikan sebagai alat menyampaikan teror politik berbasiskan isu SARA. Teror politik, demikian Hanah Arendt (1979), sering dipakai di tengah komunitas lokal tertentu. Orientasi kekuasaan, menyebabkan teror politik seperti ini “dilegalkan”.

Memberi Ruang

Harus diakui bahwa instrumentalisasi terhadap orang muda terjadi karena ambisi politik para elite. Demi mengejar target politik, orang muda “diacak-acak” dan digiring ke politik kubu-kubuan.

Akibatnya, orang muda seringkali bergerak untuk kepentingan parsial dan membela agenda politik parsial. Apa yang mereka lakukan pun seringkali berdasarkan “pesanan” ataupun “titipan”.

Hal seperti ini menyebabkan orang muda tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi secara aktif-kritis dalam demokrasi. Padahal ruang seperti itu dibutuhkan bagi manifestasi dan epifani politik.

Meminjam Jürgen Habermas (Mukerji & Shcudson, eds, 1991), orang muda perlu diberi ruang publik sebagai “tempat berkumpul bersama mendiskusikan berbagai problem sosial secara bebas tanpa represi”.

Menjadikan orang muda sebagai objek hasrat politik jangka pendek merupakan tanda bahwa elite politik hanya ingin meraih kekuasaan tanpa merasa bertanggung jawab atas kepekaan politik mereka.

Benarlah tesis Andrew Heywood (2004) bahwa politik selalu berkaitan dengan kekuasaan. Sebab para elite mereduksi politik ke dalam ambisi demi mendapatkan kekuasaan dengan cara apolitis termasuk “mengorbankan” orang muda.

Untuk itu, pemerintah dan para elite perlu mendesain ruang partisipasi agar orang muda melibatkan diri dalam diskursus dan mengonstruksi model berpolitik baru. Mesti ada spase yang dijadikan sebagai “asembly politik” sehingga mereka bisa berkonsolidasi.

Ruang yang diberikan harus secara dialektis diimbangi dengan pola pendekatan yang tepat. Kekuatan-kekuatan ataupun organisasi-organisasi orang muda perlu direvitalisasi dan diback-up agar berkembang secara otonom.

Hal ini tidak sama dengan memberikan intervensi, tetapi merupakan usaha membebaskan orang muda dari jebakan pragmatis. Sensibilitas politik dan daya kritis orang muda mesti dibiarkan bertumbuh mandiri. Orang muda dan gerakan mereka tidak boleh “dilokalisir”, ditekan, dikekang dan dibatasi.

Independen dan Kritis

Agar terhindar dari jebakan politik, orang muda mesti independen dan kritis. Menyitir Bourdieu (1993), mereka mesti selalu sadar bahwa “ilmu pengetahuan kritis, kritis terhadap dirinya dan juga kritis terhadap kekuasaan-kekuasaan yang ada”.

Pengetahuan yang dimiliki mesti membebaskan mereka dari perangkap kooptase. Mereka tidak boleh menjadi “tangan kanan” apalagi “kaki tangan” kepentingan politik tertentu. Sebaliknya, mereka harus menawarkan paradigma baru bagi perpolitikan demi restorasi bersama.

Bila perlu, orang muda tampil sebagai advocatus diaboli, yang “mengganggu” berbagai ketidakberesan sosial.

Sebentar lagi, Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi seperti Pilkada. Sama seperti di Amerika Serikat, suara kaum muda Indonesia juga pasti diperebutkan.

Namun, amat boleh jadi mereka juga akan diperalat oleh calon pemimpin. Di sinilah orang muda mesti membuktikan diri dengan tidak menjadi amunisi politik kekuatan tertentu.

Mereka mesti kritis, otonom dengan menawarkan terobosan alternatif, aktual-kontekstual. Orang muda tidak boleh membiarkan diri dipolitisasi. Di saat kepercayaan terhadap elite-elite dan partai politik semakin stagnan, orang muda diharapkan berperan representatif yang berorientasi liberatif.

Untuk itu, orang muda harus tetap membangun peradaban kritis-diskursif. Dengannya, pilihan politik mereka bukan karena jebakan pragmatis, melainkan karena kesadaran dan pertimbangan rasional demi pembangunan bangsa.

Penulis tinggal di Ritapiret, Maumere – Flores, Nusa Tenggara Timur

spot_img

Artikel Terkini