Imam Berbau Domba

Kalau Anda belum gerah melihat mentalitas feodal dalam Gereja, sebaiknya mari merenungkan ulang tentang kesalehan Kristiani. Tentu, sambil tidak lupa berdoa untuk para imam yang peduli pada masyarakat kecil, imam yang sangat sederhana, yang ‘berbau domba’ menurut kata-kata Paus Fransiskus.

Oleh: SDR ERAS BAUM, imam Fransiskan

Dalam polemik proyek geothermal Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat, sikap pelbagi pihak setidaknya bisa diklasifikasi ke dalam tiga kelompok: kelompok pro, kelompok kontra dan kelompok yang memilih sikap diam. Yang pro dan kontra berseteru tegang, sementara kelompok satunya tenang-tenang saja, entah karena kekurangan informasi atau karena memang malas tahu terhadap persoalan ini. Yang masuk dalam ketiga kelompok itu mulai dari rakyat jelata hingga tingkat elit, dari kaum sok pintar sampai intelektual sejati, dari umat yang sederhana hingga kaum hierarki gereja. Ketiga-tiganya unik: di daerah dengan jumlah terbanyak pemeluk agama dan budaya tertentu, mereka merasa atau dianggap sebagai umat dan rakyat sekaligus.

Dua kelompok pertama beradu. Yang satu berada di pihak pemerintah dan para pendukung proyek itu, sehingga karenanya menganggap memperjuangkan kepentingan umum, sambil mengulang-ulang jargon kesejahteraan umum dengan nama mentereng bonum communae, sementara satunya berada bersama mereka yang menolak proyek itu, siap tergusur dan yang akan kehilangan ruang hidupnya. Anda boleh memilih berada di pihak mana. Tetapi, tolonglah, pikirkan lagi kalau berada di pihak penguasa dan orang-orang yang tidak mau tahu tentang persoalan ini. Prinsipnya, jangan menjustifikasi diri sebagai yang paling mewakili kepentingan umum dan banyak orang, rasional, objektif dan ilmiah, lalu abai terhadap jeritan bumi.

Mengapa ada orang,  terutama golongan hierarki Gereja Keuskupan Ruteng (GKR) yang merasa paling mewakili kepentingan rakyat dan atau umat Sano, lalu seolah-olah punya hak untuk menandatangani MoU perihal proyek itu dengan perusahan, lalu memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk melanjutkannya, padahal sangat terang bahwa masih ada warga yang tegas menolak? Lantas, dengan sadar mereka mengutip dokumen-dokumen Gereja dan ayat-ayat suci untuk mensamarkan ketimpangan, menyembunyikan ketidakadilan dan menjadikannya kebohongan?

Kita kiranya bisa mencari jawaban terhadap hal ini dengan menyimak beberapa pokok berikut.

Pertama, warisan feodalistik dalam pendidikan dan kesalehan imam. Kalau kita mengecek di tempat pendidikan calon imam, entah yang kecil maupun yang tinggi, juga dalam pola laku para imam di GKR, juga di antara umat, gambaran stereotip tentang kesalehan tertentu begitu kuat bermunculan. Secara khusus ada kesan bahwa orang yang cocok jadi imam dan karena itu berarti pemimpin umat adalah orang yang rapi, tidak kumal dan lusuh, tunduk-tunduk saja serba taat, tidak mengalami krisis dan jatuh bangun, tidak suka protes dan kritis, tidak punya cacat cela di muka banyak orang, frustrasi, lelah apalagi depresi, tidak boleh ngakak sembarang. Pokoknya, harus berwibawa, sekalipun dibuat-buat. Dan kewibawaan itu harus nampak dalam cara berpakaian, gaya hidup dan penampilan. Imam harus memiliki pembantu yang mencuci semua pakaian, harus berpenampilan necis. Sebab, kamu menjadi tuang (tuan), menjadi orang terhormat, bukan menjadi rakyat jelata, harus jauh dari urusan-aktivitas praktis.

Mentalitas dan kondisi feodal yang kita lihat itu, membuat kaum hierarki di satu pihak berjarak dari umat yang dilayani, tetapi di lain pihak membuat umat harus tunduk dengan penuh sopan santun religius di hadapan tuang, takut dan dengan penuh sembah bakti tidak berani mengajukan kritik atau bergerak lain dari perintah dan keputusan yang dibuat hierarki, bahkan pun bila keputusan-keputusan itu merugikan umat. Maka, kalau seruan penolakan geothermal yang mula-mula kencang berkumandang sekarang mulai sayup-sayup terdengar dari umat, bukan berarti karena mereka menerima, tetapi karena umat takut ‘dikutuk’ oleh Gereja: sebab suara hirarki adalah suara Tuhan.

BACA JUGA: Surat Uskup Ruteng Terkait Geothermal Picu Protes Warga Wae Sano

Lantas, bila Tuhan Yesus meminta imam menjadi gembala seperti diri-Nya, agaknya itu pekerjaan tidak mudah. Karena imam sudah terbiasa menjadi ‘tuan’, menjadi ‘kepala’ yang dihormati, menjadi penguasa dan pengambil kebijakan. Banyak hal harus dari imam, semacam imam-sentris. Apalagi tentang MoU yang banyak uangnya, entah dari Bank Dunia ataupun lembaga keuangan lainnya, hierarki akan merasa perlu campur tangan dan berhak menandatanganinya, karena para kepala harus bersukutu: keKala Gereja dan Kepala Negara sama-sama membangun persekutuan demi keputusan dan kebijakan.

Walaupun kita tahu, bahwa bukankah seharusnya pemerintah membuat kesepakatan dengan rakyatnya yang di Wae Sano itu, sebab mereka adalah orang-orang yang paling berkepentingan dan bukannya malah dengan hierarki? Memang, kalau iklannya, umat adalah rakyat sekaligus, lalu orang seakan-akan terperdaya bahkan tak bisa berpikir. Bahkan tak mampu sedikit saja berpikir sederhana. Misalnya begini: “Kalau orang-orang Wae Sano ada yang tidak Katolik, atau pindah Gereja, apalagi pindah agama lokal Manggarai, apakah MoU yang dibuat orang-orang di GKR itu punya wibawa dan relevan?” Itu pikiran sederhana, namun tidak realistis. Tetapi tentu saja yang lebih rumit dipikirkan adalah pernyataan bahwa umat adalah juga rakyat. Pernyataan itu berangkat dari mitos: Manggarai adalah kabupaten katolik.

Bukankah pernyataan yang bersifat fiktif itu hanya hendak membangkitkan suatu emosi identitas dan rasa perasaan feodalistik Katolik?  Kalau betul, maka GKR tidak hanya tidak mendukung yang bhinneka itu, tetapi bagi dirinya ia hendak membangun Imperium Kabupaten Katolik, dan menarik diri jauh ke belakang pulang ke zaman sebelum keluarnya Diuturnum Illud, tahun 1881, ke zaman ketika Paus sekaligus adalah bangsawan dan pemimpin negara. Dan dengan mengambil posisi yang sama dengan Pemerintah di meja MoU, proyek geothermal seakan-akan menjadi “jawaban Katolik” yang spesifik atas aneka persoalan sosial ekonomi di Wae Sano, di Manggarai Barat dan sekitarnya.

Warga Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat sedang membaca surat Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat yang meminta agar proyek geothermal di kampung mereka dilanjutkan. Pada Minggu, 6 Juni, warga berkumpul membahas surat tersebut. (Foto: Floresa)

Padahal kita tahu, sampai saat ini GKR kecuali mengutuk ketidakadilan yang dilakukan oleh ‘kekuasaan yang menindas’, memberikan petunjuk-petunjuk solidaritas dan keberpihakan, mengusulkan prinsip-prinsip dialog yang membebaskan dan integral, ia dengan segala ketidaktahuannya tidak punya jawaban apa-apa bagi ‘diskursus geothermal’. Namun mengherankan dan perahu sudah dikayu. Lantas  karenanya, kita menunggu dengan penuh siaga, jawaban-jawaban Katolik apa lagi yang akan diberikan oleh Keuskupan untuk mengentas kemiskinan di Manggarai. Kalau tidak, kata-kata Paus Paulus VI ini, penting dicermati: “Yang gagal menanggapinya akan berhadapan dengan Penghakiman Allah dan murka kaum miskin” (PP, 49).

BACA JUGA: Surat Terbuka Warga Wae Sano: Rekomendasi Uskup Ruteng Gadaikan Masa Depan Kami

Oh ya, agar saya tidak omong ke hal lain, kita kembali. Lebih sulit lagi permintaan lanjutan dari Tuhan; “agar para gembala mengenal domba-dombanya”. Sebab imam mengenal domba hanya dari kunjungan pada hari minggu, dari altar, juga saat sosialisasi proyek geotermal. Sehingga keputusan yang dibuat untuk mendukung geothermal, adalah keputusan dari atas, dari yang kuasa, dengan jarak yang diambil dari umat, tanpa perlu menyendengkan telinga pada keluhan rakyat Wae Sano (Surat terbuka Masyarakat Wae Sano, 2021).

Secara menyeluruh dan seimbang, mereka yang berkepentingan (kecuali yang pro) dengan masalah geothermal, tidak dilibatkan dalam aneka MoU dan rekomendasi pelaksanaan proyek. Kalau begitu, Ah Tuhan! Gembala macam apa yang mengabaikan umatnya? Mungkin, karena para imam lupa menjadi gembala seperti Yesus: membiarkan pintu terbuka agar orang yang memar, terluka dan kotor merasakan belas kasih keibuan. Malah imam menjadi pintu tertutup yang karena keputusan-keputusan dan pilihan-pilihannya yang tidak adil justeru menghalangi orang berjumpa dengan Yesus. Kendati dari banyak renungan, tulisan dan nasehat, imam berkotbah, sambil mengutip teolog-teolog terkemuka: “jika Gereja tidak menjadi Ibu, Orang sulit mengalami Allah sebagai Bapa”. Itulah warisan feodal yang membuat GKR berjarak dari duka dan kecemasan, kegembiraan dan harapan umat yang dilayani (GS 1). Warisan yang menganggap kekudusan justeru terjadi bila para imam melarikan diri dari dunia (fuga mundi), terpisah dari hiruk pikuk dunia sekitarnya.

Dalam foto pada bulan Mei ini tampak Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat bersama sejumlah imam berfoto bersama dengan pihak pemerintah dan perusahan yang akan mengerjakan proyek geothermal di Wae Sano saat pertemuan di Hotel La Prima, Labuan Bajo. (Foto: Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko)

Kedua, superioritas orang pintar terhadap umat sederhana. Beberapa waktu belakangan ini, ada kalimat yang mengganggu muncul dari mulut beberapa imam, seperti “surat protes anda, tidak memiliki argumentasi.” Yang lain mengatakan, “Rekomendasi….yang kami berikan bersifat rasional, ilmiah dan objektif….” Pernyataan-pernyataan itu, kalau tidak hendak menganggap diri lebih pintar dan rasional, yah menganggap yang menolak adalah umat bodoh dan irasional. Kalimat-kalimat terselubung demikian itu, kita tahu menyimpan bergiga-giga kesombongan intelektual.

Itu semua bisa terjadi, karena ada gap besar antara para imam yang sudah selalu dianggap pintar karena sekolahnya, dengan umat yang tidak sekolah. Ada jurang antara pendidikan dan latihan hidup di seminari dan patres – pastoran versus aktivitas praktis masyarakat warga kebanyakan. Di seminari, para calon imam menghafal teks filsuf-filsuf Barat, teori-teori politik dan kebudayaan dunia, sambil para imam suka bercerita tentang intrik-intrik politik di Amerika, Rusia dan Jakarta yang nun di sana. Mereka lupa atau abai pada apa yang hidup di sekitar mereka, dalam hiruk pikuk masyarakat sekitar, dalam masalah sosial-ekonomi-budaya masyarakat sekitar. Bahkan sederhana saja, bahasa yang digunakan di seminari tertentu justeru bukan bahasa lokal masyarakat di situ itu, tetapi bahasa lokal masyarakat lain yang jauh di seberang, tanpa ada usaha untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan masyarakat sekitar, kecuali tunggu live-in. Tentu ini bukan satu-satunya ukuran, tetapi bisa jadi awasan ketidakpedulian.

Atau contoh lain. Saya ingat, dosen saya dulu pernah bercerita begini. Dalam sebuah kesempatan menjadi pembicara seminar di kampus filsafat-teologi ternama di Flores, berkata demikian: “Saya kagum dengan orang-orang di sini. Di mana-mana dan ke mana-mana, sambil mengerutkan dahi, berjalan dengan kaku dan pelan bahkan hingga tak menerbangkan debu sedikitpun, seperti sedang memikul seluruh pemikiran filsuf dunia, berusaha menafsirkan dunia.  Padahal yang dibutuhkan adalah mengubah Flores ini supaya tidak terus terbelakang”. Kata-kata itu mungkin benada Marxis. Tetapi, para imam tak harus menjadi Marxis atau Kiri untuk berada bersama umat dan masyarakat sederhana, atau untuk memahami aktivitas praktis manusiawi dalam masyarakat.  Cukuplah Anda membaca “Kitab Suci Alam dan Kehidupan Umat, menilainya dalam terang Kitab Suci Alkitab, bertindak dalam prinsip-prinsip ASG”, Anda bisa berada bersama, bergaul, bersaudara dengan umat dan dengan segala makhluk secara terus-menerus.

BACA JUGA: Gereja Keuskupan Ruteng dan Geothermal Wae Sano

Tetapi sialnya, intelektualitas yang diasah di sekolah-sekolah seminari dan biara-biara seringkali bukanlah intelektualitas organik. Pendidikan di sana nyaris sedikit menghasilkan ‘intelektual yang sungguh-sungguh berasal dari rakyat’ dan yang terlibat. Mungkin karena lebih bangga menenteng buku ke mana-mana, berspekulasi mengenai pelbagai alam pikiran barat dengan proposisi tentang mental level of culture, sambil abai terhadap material values of culture, bahkan terhadap aneka penderitaan orang-orang di sekitar. Banyak sekolah yang bahkan tidak mengerti, tidak peduli dan tidak bergaul dengan umat sekitarnya, kecuali mereka pandai seperti mesin foto kopi mencetak ulang-ulang teori-teori politik Indonesia dan dunia, filsafat-filsafat Barat, China, Asia Selatan hingga Jawa.

Tentu, Anda akan terlihat keren dan pintar bila menyebut nama-nama filsuf dunia, bergaul dengan pemerintah dan orang kaya, memiliki relasi dengan ‘masyarakat lapis atas’, para pejabat dari kabupaten hingga Jakarta. Apalagi sekolah calon imam itu adalah sekolah elite, prosesnya begitu lama, mendidik orang-orang untuk menjadi pintar: pintar menafsirkan, omong dan berkotbah. Kalau pendidikan apalagi pola pendidikan seminari dan biara-biara betul mempengaruhi pola hidup seseorang, maka ada semacam potensi yang tidak terungkap di bibir, tetapi secara aktual mempengaruhi pola hidup para imam: kesombongan intelektual.  Yang lain akan dianggap serba tidak ilmiah, tidak tahu, irasional dan bodoh. Apa yang lebih mengerikan dari pada pendidikan yang melahirkan manusia-manusia tirani seperti itu?

Namun kita tahu, bahkan dalam Ordo Fransiskan yang nyaris setiap hari mengunyah teks-teks tentang kemiskinan dan kerendahan hati, dijumpai dengan jelas orang-orang sombong dan bermental feodal. Sebab musababnya ini: banyak orang belajar kesombongan dalam sekolah kerendahan hati itu (St. Bonaventura). Mayoritas orang berdiskusi dan merenung tentang kemiskinan di dalam gedong-gedong bermarmer sambil duduk minum susu dan menikmati dinginnya AC, sementara umatnya  hidup di barak-barak, di bebak dan petak-petak rumah sempit. Atau karena di hadapan uang dan kekuasaan, kemiskinan hanyalah suatu fiksi kesalehan kaum biarawan dan klerus.

Sampai di sini, kita harus sadar bahwa banyak  juga biarawan dan imam yang peduli serta merakyat. Tentu karena mereka berani keluar dari gethho kultural-intelektual seminari dan biara-biara seperti di atas, sambil terbuka pada kebijaksanaan yang muncul dari masyarakat warga biasa di sekitar mereka. Pada para imam yang demikian itu, kita berutang dan menaruh hormat.

Ketiga, ketidakseimbangan posisi kepedulian dan sikap kabur terhadap orang miskin.  Bila Anda merenungkan dua alasan di muka, maka dengungan praktik cinta kasih GKR berhenti pada ‘posisi atas’. Sebagai Gereja elite, Gereja kaum atas, tanpa berani menerabas batas kelas sosialnya, GKR merupakan bagian dari kekuasaan yang menindas. Mereka tetap berada di posisi kuasa, sementara ‘yang dikenai pembangunan’ berada di posisi lemah. Artinya, GKR ikut serta melanggengkan kekuasaan dan penindasan-jarak dan ketimpangan.

Warga Wae Sano sedang ikut dalam salah satu pertemuan membahas proyek geothermal di kampung mereka. (Foto: Floresa)

Kalaupun ngotot bahwa semua yang dilakukan hierarki GKR itu adalah tindakan cinta kasih; kemurahan hati seperti itu tidak cukup. Ia mesti hidup dan bergaul-bersahabat dengan orang-orang ‘tereksklusi’. Minimal, sendengkalah telinga, bergaul dan berelasi juga dengan kelompok kontra. Cara bertindak seperti GKR itu tidak lebih dari posisi sinterklas yang menganggap diri lebih hebat dan kaya, berkehendak membawa kemajuan, modernitas melalui pembangunan.  Dengan dengungan seperti lebah mereka mengulang-ulang mantera kesejahteraan umum, tetapi menyingkirkan yang lain. Suatu paham kesejahteraan yang sangat tidak kristiani. Sebab mereka menyangkal praksis penghayatan iman bahwa dalam kesejahteraan umum kristiani semua dan setiap orang berhak untuk ikut serta dalam tingkat yang serasi. “Sama sekali tidak masuk akal memperhatikan satu lapisan masyarakat, sedangkan lapisan lain diabaikan….tidak menunaikan kewajiban itu berarti melanggar keadilan yang mewajibkan kita memberi setiap orang apa yang menjadi haknya.” (Rerum Novarum 49).

BACA JUGA: Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi

Karena ini bukan ruang ilmiah, begitu menurut orang-orang pro, maka saya tidak akan mengajak diskusi tentang mitos pembangunan itu, kecuali penegasan bahwa dengan mendatangkan uang demi kemajuan, masyarakat Wae Sano akan membayar dengan hidup dan alamnya. Juga yang tersisa bahwa kelompok elite, entah Gereja dan pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kesempatan menghargai martabat masyarakat Wae Sano justeru memilih untuk merugikan kepentingan masyarakat setempat, abai terhadap keluhan mereka, abai terhadap aspek partisipatif, integral, harmoni-kosmik dan pembebasan. Itu adalah posisi miring kepedulian dan sikap kabur GKR terhadap orang miskin.

Akhirnya mungkin, orang-orang jenis itu, kalau ditanggalkan jubah dan kekuasaannya, barangkali tidak jadi apa-apa. “Sebab, mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu, selain menjadi bendahara yang tidak jujur” (bdk. Luk 16:1-9).  Oh yah, kalau Anda belum gerah melihat mentalitas feodal begitu dalam Gereja, sebaiknya mari merenungkan ulang tentang kesalehan Kristiani. Tentu, sambil tidak lupa berdoa untuk para imam yang peduli pada masyarakat kecil, imam yang sangat sederhana, yang ‘berbau domba’ menurut kata-kata Paus Fransiskus, tetapi mungkin tidak berani bersuara karena takut pada pimpinan. Teruslah berkarya para saudara, berdirilah teguh bersama umat yang sederhana.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini