BerandaREPORTASEMENDALAM“Apa Salah Suami Saya?"...

“Apa Salah Suami Saya?” Isteri Gregorius Jeramu Pertanyakan Penetapan Tersangka Suaminya

"Kami dengan segala niat baik dan ketulusan hati telah merelakan tanah itu dijual untuk kepentingan umum. Mengapa pemerintah membalas kebaikan kami dengan kejahatan?” kata Sofia Nimul, istri Gregorius Jeramu

 Floresa.co – “Tae dise, pande terminal kud rame cee beo. Kaling, rame hong Labe,” kata Sofia Nimul (60) dalam Bahasa Manggarai: Mereka bilang pembangunan terminal supaya suasana kampung jadi ramai. Padahal, ramai masuk Labe.

Kata Labe yang disebutnya merujuk ke Lembaga Pemasyarakatan atau penjara di Labe, Ruteng.

Sofia menengadah. Matanya terlihat sayu, sambil memandang langit-langit rumah. Setelah beberapa menit terdiam, ia lanjut berbicara.

“Sebenarnya kami tidak jual tanah itu. Tetapi, karena mereka bilang untuk kepentingan umum…makanya kami mau jual, sesuai dengan harga yang mereka tentukan.”

Sofia adalah istri dari Gregorius Jeramu (62), warga Kampung Kembur, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur.

Suaminya itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Manggarai dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Terminal Kembur.

Pada 2012, Gregorius menjual tanah seluas 7.000 meter persegi atau 0,7 hektar itu kepada Pemerintah Manggarai Timur, yang saat itu mencari lahan untuk pembangunan terminal angkutan darat.

Menurut Sofia, beberapa pegawai dari Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Manggarai Timur saat itu kerap ke rumah mereka untuk negosiasi lahan  tersebut.

“[Pegawai] dari dinas itu sering datang ke rumah, minta agar tanah itu dijual. Akhirnya saya bilang, kalau kalian mau, harganya 700 juta rupiah,” ceritanya.

“Mereka datang sekitar empat atau lima kali. Terakhir mereka datang kepok, bawa tuak dengan ayam satu ekor,” tambahnya.

Ia mengatakan, yang datang kepok adalah Gaspar Nanggar, yang kala itu menjadi Kepala Bidang Perhubungan Darat.

“Dia bilang, kalau ada terminal, kampung ini akan ramai. Anak-anak kami di Kembur ini bisa kerja di terminal, buka usaha warung kopi dan usaha jualan lainnya di sana.”

“Akhirnya saya luluh. Saya dengan Bapak setuju harga tanah itu sesuai dengan uang yang mereka siapkan, 400 juta lebih,” tambahnya.

Sambil mengusap air matanya, Sofia mengatakan, “kami dengan segala niat baik dan ketulusan hati telah merelakan tanah itu dijual untuk kepentingan umum.”

“Mengapa pemerintah membalas kebaikan kami dengan kejahatan? Apa salah suami saya?”

Floresa.co telah berusaha menghubungi Gaspar yang kini menjadi Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa untuk mengonfirmasi cerita Sofia. Saat mendatangi kantornya stafanya mengatakan Gaspar sedang di Jakarta. Semenara pesan yang dikirim lewat WhatsApp-nya hanya centang dua.

Gregorius ditetapkan sebagai tersangka pada 28 Oktober 2022 bersama Benediktus Aristo Moa, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dishubkominfo.

Bayu Sugiri, Kepala Kejari Manggarai mengatakan Gregorius menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai pemilik lahan yang tidak mengantongi alas hak berupa sertifikat saat menjualnya kepada pemerintah.

Gregorius, kata dia, hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) sebagai alas hak, sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.

Aristo Moa menjadi tersangka karena disebut tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.

Tanah itu dibeli pemerintah pada tahun 2012 dan 2013 dengan harga Rp 420 juta atau setelah dipotong pajak menjadi Rp 402.245.455.

Tindakan keduanya, kata Bayu, merugikan keuangan negara dengan nilai kerugian total (total loss) atau senilai yang telah dibayarkan kepada Gregorius.

Philipus Jehamat (53), adik Gregorius mempertanyakan argumen jaksa dan menyatakan kakaknya itu telah berpuluh-puluh tahun menguasai lahan tersebut.

“Seingat saya, sejak 1982 Bapak Gregorius menggarap tanah itu. Sampai saat dia jual bahkan sampai saat ini, kami sebagai saudara, maupun pihak lain, tidak pernah mengklaim tanah tersebut,” katanya.

“Mengapa Kejaksaan hari ini tidak mengakui itu, hanya karena tidak ada sertifikat?” ujarnya.

Leonardus Santosa, tokoh masyarakat yang juga pemerhati budaya yang menetap di Kembur menguatkan pernyataan Philipus.

Menurutnya, banyak masyarakat Kembur dan sekitarnya yang memproleh hak atas tanahnya dengan menguasainya puluhan tahun.

“Dan (tanah itu) tidak diklaim oleh masyarakat adat maupun pemerintah desa atau kecamatan, juga tidak pernah ada penetapan sebagai tanah negara,” ujarnya.

“Kami dan keluarga mendiami wilayah ini sejak 1975. Ayah saya mendapat pemberian tanah dari Tu’a Gendang Warat dan berbatasan langsung dengan tanah yang sudah dikuasai oleh ayah dari Bapak Gregorius.”

Ia mengatakan, Kejaksaan mestinya melakukan uji petik terhadap status kepemilikan tanah di Kembur sebelum menetapkan Gregorius sebagai tersangka.

“Hukum positif itu ada kemudian, tetap hukum adat, kearifan lokal masyarakat Manggarai itu sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Kejaksaan mestinya jangan tergesa-gesa menetapkan Bapak Gregorius sebagai tersangka,” ujarnya.

Di tengah proses hukum yang sedang berjalan terhadap Gregorius, solidaritas menuntut keadilan baginya terus mengalir.

Di beberapa grup WhatsApp dan Facebook, warga Manggarai diaspora dan yang menetap di wilayah itu intens mendiskusikan persoalan ini.

Di Borong, Aliansi Masyarakat Adat Kembur dan Masyarakat Peduli Keadilan menggelar aksi bakar lilin dan doa pada Selasa malam, 1 November dan demonstrasi damai di Borong di hari berikutnya.

Mereka mendesak Kejari Manggarai segera mencabut status tersangka Gregorius.

Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.

Untuk mengerjakan terminal tersebut, Pemkab Manggarai Timur melalui Dinas Hubkominfo menelan anggaran sebesar Rp 4 miliar, di mana Rp 3,6 miliar adalah untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015.

Jaksa sudah mengendus kasus terminal ini sejak Januari 2021, dengan memeriksa 25 orang saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote; hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Hubkominfo, seperti Kepala Dinas Jahang Fansialdus dan Kepala Bidang Perhubungan Darat, Gaspar Nanggar.

Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.

Sejauh ini, Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.

Pada hari penetapan tersangka Gregorius dan Aristo Moa, Kejaksaan sempat memeriksa kembali sejumlah saksi, termasuk Jahang Fansialdus, yang kini menjadi Sekretaris Daerah Manggarai.

Sementara suaminya kini mendekam di tahan, Sofia terus berharap agar suaminya bisa segera bebas.

“Wura agu Ceki, Mori agu Ngaran, condo taungs one ite tilir agu gesar daku. Sangen di’a agu da’at hitu ite ata baen,” katanya dalam bahasa daerah Manggarai: Leluhur dan Tuhan, kepada-Mu saya menyerahkan semua kegelisahan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.