Floresa.co – Sebastian Anggal [52] mulai merasa cemas ketika pada Juli tahun lalu melihat perubahan pada tanaman pisangnya di Bondei, kebun yang terletak di dekat pantai selatan Pulau Flores.
Daun-daun pisang yang semula hijau, berubah jadi kuning, diikuti dengan perubahan ukuran buah yang mengecil. Warnanya juga menjadi kehitam-hitaman.
“Kami kira hanya kena pisang marmi,” tutur warga Kampung Kambe – Kisol, Kelurahan Tanah Rata, Kabupaten Manggarai Timur itu, menyebut nama lokal untuk jenis pisang ambon.
“Sekarang tidak ada pengecualian, semua pisang kena,” katanya.
Kelurahan Tanah Rata, sekitar 20 kilometer ke arah timur dari Borong, ibukota kabupaten, dikenal sebagai salah satu daerah penghasil pisang di wilayah Flores bagian barat.
Sebastian mengatakan, penyakit itu mula-mula menyerang pisang yang sudah berbuah. Setelahnya, perlahan-lahan menjangkit anakan pisang.
“Kalau ujung [daunnya] sudah berwarna kuning, berarti sudah kena,” katanya kepada Floresa.
“Ketika kita potong, buahnya itu tidak ada isi. Di dalamnya penuh cairan seperti lendir. Kalau kena di badan [manusia], akan terasa gatal.”
Menyebar Luas
Dikutip dari situs Kementerian Pertanian, penyakit tersebut dikenal dengan nama penyakit darah pisang.
“Pemicunya adalah bakteri patogen tanaman yang disebut Ralstonia solanacearum ras 2, P. celebensis atau Banana Blood Disease (BDB),” demikian menurut situs itu.
Dijelaskan bahwa penyakit ini memiliki gejala luar seperti terjadinya penguningan daun pada daun yang telah membuka penuh.
“Pada tanaman dewasa, pangkal daun ini akan patah sehingga daun akan menggantung di sekitar batang. Pada anakan akan menunjukkan gejala layu, meskipun infeksinya tidak selalu sistemik,” tulis situs itu.
“Pada tanaman pisang yang sudah menghasilkan buah, jika jantung pisangnya masih ada, akan tampak mengering dan mengkerut serta menghitam.”
Penyakit ini menyebar melalui beberapa perantara, termasuk oleh manusia melalui bahan tanaman ataupun buah yang diperoleh dari tanaman yang terinfeksi.
Selain itu adalah melalui serangga penyerbuk yang singgah pada bunga yang sakit serta melalui bibit yang sakit, alat-alat pertanian, aliran air, dan alat-alat transportasi.
Penyakit ini sudah terdeteksi di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di beberapa tempat di NTT.
Di Kabupaten Manggarai Timur, menurut Dinas Pertanian, penyakit itu mulai terdeteksi pada pertengahan tahun lalu.
“Mulai diidentifikasi pertama kali di daerah Purang Mese dan Sok, Kecamatan Borong,” kata Jhon Sentis, Kepala Dinas Pertanian kepada Floresa.
Ia menjelaskan, luas lahan yang terserang penyakit ini di wilayah Manggarai Timur mencapai 155,85 hektar, sementara yang dikategorikan terancam mencapai sekitar 700 hektar.
“Yang terancam ini pasti sudah terserang. Kami masih menunggu laporan lanjutan dari POPT [Petugas Pengendali Organisme Tumbuhan],” tuturnya.
Selain di Manggarai Timur, penyakit tersebut juga sudah menyebar di wilayah Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, dua kabupaten lainnya yang berada di bagian barat Pulau Flores.
Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi sudah merilis data wilayah yang sudah diserang penyakit ini, yakni di Desa Repi dan Desa Watu Jawa di Kecamatan Lembor Selatan serta Desa Liang Sola di Kecamatan Lembor.
Penyakit tersebut juga sudah teridentifikasi di Desa Baru dan Nanga Kantor di Kecamatan Macang Pacar serta Desa Compang Longgo di Kecamatan Komodo.
Sementara di Kabupaten Manggarai, penyakit ini sudah terdeteksi di wilayah Kecamatan Satar Mese.
Minim Perhatian Pemerintah
Sebastian mengatakan sejak pertama kali pisang-pisang di kebunnya diserang penyakit itu, pemerintah belum memberikan solusi yang memadai.
Memang, kata dia, saat awal penyakit itu menyerang pisang-pisang di wilayah Kelurahan Tanah Rata, ada beberapa petugas lapangan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Manggarai Timur menemuinya dan menanyakan masalah tersebut.
“Saya bilang, kalau kamu mau cari tahu, cari tahu di kebun di sana. Lalu mereka minta, kalau boleh didata dan laporkan ke kelurahan.”
Kendati ia sudah mengikuti anjuran mereka dengan melaporkan masalah itu ke kelurahan setempat, tetapi, “sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya.”
Hal yang sama juga diutarakan oleh Maria Adat [39], warga Desa Lewu, Kecamatan Satar Mese.
Sampai saat ini, kata dia, belum ada upaya pendataan dan penyuluhan dari Pemerintah Manggarai terkait penyakit ini.
“Tidak ada sosialisasi atau apapun dari pemerintah,” ujarnya.
Padahal, kata Maria, penyakit itu sudah menyerang tanaman pisang miliknya dan petani-petani lain di wilayah Satar Mese sejak tahun lalu.
Langkah Pencegahan
Sementara itu, John Sentis mengklaim pihaknya sudah berupaya mengambil langkah antisipasi guna membendung penyebaran penyakit ini, mulai dari penyuluhan hingga tindakan teknis di lapangan.
“[Penyuluhan] itu seperti aplikasi trichoderma untuk pengendalian patogen penyebab penyakitnya, percontohan pemusnahan pohon pisang yang sudah terserang, penggunaan peralatan kerja seperti penggunaan parang yang sehat,” kata dia.
Pihaknya juga telah menyarankan petani di Manggarai Timur untuk melakukan rotasi tanaman, di mana pisang yang sudah terserang penyakit dimusnahkan dan diganti dengan jagung atau sorgum.
Lahan tersebut, kata dia, bisa kembali ditanami pisang setelah durasi waktu sekitar dua tahun.
“Setelah itu baru tanami lagi varietas yang tahan penyakit seperti pisang kepok varietas Tanjung dengan penerapan sistem budi daya dan sterilisasi tanah,” tutur John.
Sebagaimana yang disimak Floresa di situs Kementerian Pertanian, upaya lain untuk mencegahnya adalah menggunakan bibit tanaman pisang yang bebas penyakit dan mencegah serangga penular atau pembawa penyakit dengan cara membungkus segera jantung pisang segera setelah buahnya keluar.
Upaya lain adalah memotong sesegera mungkin jantung pisang begitu sisir buah terakhir sudah keluar.
Di tengah terbatasnya solusi yang ditawarkan sementara pisangnya sudah terinfeksi semua, Sebastian mengaku mengambil langkahnya sendiri.
Agar wabah itu tidak berefek ke mana-mana, ia berupaya agar buah dan dahan pisang tidak dijadikan pakan ternak, terutama babi, sebagaimana yang biasa dilakukan selama ini.
“Untuk babi, kita ambil anakan [batang] yang masih segar,” ujarnya.
Inisiatif Sebastian itu sebetulnya sesuai dengan isi salah satu poin dalam surat imbauan yang dikeluarkan pada 20 Januari 2023 oleh Pemerintah Manggarai Barat untuk membendung penyakit ini.
Dalam surat yang diteken oleh Wakil Bupati Yulianus Weng itu, warga dilarang menjual atau mengonsumsi buah pisang yang sudah teridentifikasi terserang penyakit darah.
“Melarang menjadikan tanaman pisang yang teridentifikasi [sudah diserang penyakit darah] sebagai pakan ternak.”
Rugi
Sebastian mengaku mengalami kerugian besar karena ribuan pohon pisang di atas lahan sekitar tiga hektar miliknya sudah tidak lagi menghasilkan buah yang baik.
Sebelum penyakit itu menyerang, kata dia, setiap bulan kebunnya memproduksi sekitar 400 hingga 500 tandan pisang, yang membuatnya bisa mendapat penghasilan antara 10-15 juta rupiah per bulan.
Ia menjelaskan, pisang-pisang itu biasanya diborong pengepul dengan harga 25 ribu rupiah per tandan untuk selanjutnya diangkut ke wilayah Jawa.
“Pembeli orang Kisol sendiri. Mereka potong di kebun, lalu nanti ditampung di mobil fuso besar,” ujarnya, menyebut nama mobil truk berukuran besar.
Sebastian mengatakan terakhir kali memanen pisang di kebunnya itu pada Juli dan Agustus 2022.
Hasilnya, kata dia, jauh di bawah rata-rata sebelum wabah tersebut menyerang, yakni 150 tandan.
“Sisanya isinya air semua. Kemudian, naik ke bulan Agustus, itu hanya bisa panen 50-an tandan.”
Mulai September hingga kini, katanya, tak ada satu pun pisang yang bisa dipanen.
“Sekarang sama sekali tidak mendapat pemasukan dari pertanian,” ujarnya.
Selain pisang, kata Sebastian, kakao dan beberapa komoditas pertanian lain yang menjadi andalan warga di wilayahnya itu sudah tidak lagi produktif karena serangan hama.
“Rata-rata petani sekarang mau harap ubi, tetapi sudah kena penyakit. Kemiri juga buahnya kurang. Kakao juga buahnya sudah membatu. Jadi, kita petani betul-betul hidup pas-pasan,” katanya.
Kata dia, cukup mudah mengukur dampak dari penyakit pisang terhadap ekonomi warga di wilayahnya.
Sebastian yang bekerja di salah satu petugas koperasi di wilayah itu sering mendapati fakta para petani kesulitan membayar cicilan pinjaman “karena pendapatan secara ekonomi sangat kurang.”
“Itu yang bisa diukur,” katanya.
Seperti Sebastian, Maria Adat juga mengaku kehilangan pos pendapatan dari menjual pisang.
Sebelumnya, kata dia, banyak pembeli yang datang ke kampungnya untuk memborong pisang.
Namun, “setelah [ada] penyakit, tidak ada lagi yang cari [pisang].”
Rindu Makan Pisang
Karel Jehaut, warga asal Sere, Kelurahan Tanah Rata yang kini berdomisili di Jakarta mengatakan ia ikut merasakan penderitaan saudara-saudaranya di kampung halaman.
“Kisol sadis, hancur semua pisang,” katanya.
“Saya mau cari pisang untuk buat kripik untuk dibawa pulang ke Jakarta, susah,” ceritanya kepada Floresa
Bagi Sebastian, selain penanganan teknis terhadap penyakit ini, ia berharap pemerintah bisa memberi bantuan kepada warga, termasuk untuk pangan sehari-hari.
“Petani sangat butuh. Walaupun sekarang hujan, tetapi hari ini kan jagung belum berisi,” ujarnya.
“Kalau boleh pemerintah bisa menolong petani-petani untuk keluar dari krisis ini,” katanya.
Penyakit ini telah membuat cerita tentang Kelurahan Tana Rata sebagai penghasil pisang, dengan truk besar yang saban hari datang mengangkut pisang dari petani, kini tinggal kenangan.
Jangankan untuk dijual, kata Sebastian, untuk dikonsumsi sehari-hari saja sangat sulit.
“Kami rindu makan pisang lagi.”