Floresa.co – Jeslin Jeharus menyusuri jalan bebatuan sambil menenteng tiga jeriken yang masing-masing bervolume lima liter.
Pada 11 November itu, ia menyusul seorang kakak sepupunya yang sedang menimba air di Wae Usang, kali yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya di Golo Borong, Desa Satar Lahing, Kecamatan Rana Mese.
Berada di selatan Pulau Flores, Golo Borong yang diapit perbukitan di sebelah utara dan pesisir yang terhubung dengan Laut Sawu terpaut sekitar 30 kilometer dari Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.
Sambil tersenyum, siswi kelas VI Sekolah Dasar itu berkata, “saya mampu mengangkut empat jeriken sekali jalan.”
Jeslin telah sekitar setahun belakangan saban hari naik-turun ngarai demi bisa mengambil air di Wae Usang.
Oleh neneknya, ia diajari tali-temali sederhana yang mengaitkan antarjeriken sehingga memungkinkannya membawa keempatnya sekali angkut. Meski sudah terbiasa melakukan itu, “tetap rasanya lelah juga.”
Dalam sebuah rumah yang berada di sekitar kebun yang didominasi kelapa dan kemiri, Jeslin tinggal bersama kakek, nenek dan dua sepupunya.
Ia dan kedua sepupunya yang bisa diharapkan kakek dan nenek mereka untuk mengangsu air dari Wae Usang. Orang tua mereka telah bertahun-tahun merantau ke Kalimantan.
Mereka merantau “setelah menyadari hasil ladang tak dapat menopang perekonomian keluarga,” katanya.
Kecuali Wae Usang, warga Golo Borong tak memiliki mata air lain dengan jarak terjangkau dan debit memadai.
Itulah mengapa peladang setempat akhirnya hanya mengandalkan hujan, yang dalam beberapa tahun belakangan malah kian tak menentu turunnya.
Ladang yang jarang terairi membuat pertumbuhan tanaman pangan jadi tak maksimal.
Tak hanya orang tua Jeslin, beberapa warga lain di Golo Borong akhirnya pergi mencari nafkah ke Kalimantan. Sebagian bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Sumber air yang jauh membuat anak-anak Golo Borong mesti menyisihkan waktu belajar guna mengangsu air dari telaga yang permukaan tertingginya tak pernah lebih tinggi dari mata kaki Jeslin.
“Kita harus [jalan] lebih cepat karena hari sudah sore,” kata Jeslin kepada Floresa yang menemaninya pergi ke Wae Usang.
Tawa anak-anak semakin jernih terdengar, tanda sungai kian dekat.
Di sungai itu terdapat sebilah bambu berdiameter 15 sentimeter. Diletakkan menyelip di antara bongkahan batu besar, bambu itu berfungsi sebagai pancuran yang mengalirkan air ke jeriken-jeriken warga.
Tanpa menunggu lama, Jeslin mengisi jerikennya.
Tak jauh dari Jeslin, tampak Lena Sanuk, juga warga Golo Borong.
Menurut Lena, Wae Usang tidak hanya dimanfaatkan oleh warga kampungnya, melainkan juga dari Lalang, desa tetangga mereka.
Namun, kata dia, jika kemarau berkepanjangan yang lumrahnya berlangsung pada Agustus sampai September, air di Wae Usang mengering.
Warga kemudian mencari air ke tempat lain, termasuk di Wae Nawu — kali di sebelah barat Golo Borong yang terpaut sekitar satu setengah kilometer dari rumahnya.
“Entah sampai kapan kami tidak susah air. Sudah jalannya rusak parah, airnya sedikit pula. Mana orang di hulu sudah pakai, kami di hilir timba saja. Mau ambil air di mana lagi,” katanya.
Kepala Desa Satar Lahing, Patrisius Ino Jalus berkata, “tidak hanya di Golo Borong, semua kampung di sini krisis air bersih.”
“Setiap tahun, kami menyampaikan masalah ini dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat kecamatan dan kabupaten, maupun saat tatap muka bersama anggota DPRD.”
“Namun, sampai saat ini, tidak ada respons terhadap penyampaian tersebut,” katanya kepada Floresa.
Patrisius bercerita, pada 1980-an seorang imam Katolik menyumbangkan pipa agar dapat mengalirkan air dari pegunungan yang berjarak sekitar delapan kilometer dari Satar Lahing.
Pada 2010, seorang politisi dari Kecamatan Rana Mese juga menyumbangkan pipa, “namun tidak sampai setahun sudah rusak.”
Ia berkata, pihaknya berencana membangun fasilitas air minum pada tahun depan, bekerja sama dengan salah satu perusahaan asal Jakarta.
Saat ini, “kami sedang meneken Nota Kesepahaman [Memorandum of Understanding, MoU] terkait pengadaan pompa air.”
“Kalau MoU tersebut nanti bisa [diteken], berarti fasilitasnya bisa dibuat. Namun, kalau tidak, warga akan kembali ke Wae Usang, sumber air kami selama ini,” katanya.
Patrius mengaku pegawai Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang telah beberapa kali mensurvei sumber air di desanya.
“Sampai saat ini belum juga ada tindak lanjut,” katanya.
Editor: Herry Kabut