Floresa.co – Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Cabang Nusa Tenggara Timur [NTT] dan Nusa Tenggara Barat [NTB] menggelar diskusi publik yang membahas politik energi bersih dan ancaman perubahan iklim di Kepulauan Nusa Tenggara.
Berlangsung di Aula Hendrikus Universitas Katolik Widya Mandira [Unwira] Kupang pada 25 November, diskusi tersebut menghadirkan kalangan akademisi, lembaga-lembaga advokasi dan pihak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Provinsi NTT.
Panitia menyatakan diskusi ini bertujuan “untuk melakukan review dan membahas berbagai aspek terkait kebijakan energi, termasuk dampak buruk energi kotor di kawasan Nusa Tenggara.”
Topik yang dibahas meliputi implementasi Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi dan tantangan gerakan perubahan iklim pasca Conference of the Parties [COP 29] yang berlangsung di Baku, Azerbaijan hingga pekan lalu.
Topik lainnya adalah respons pemerintah daerah terhadap kebijakan di bidang proyek strategis nasional, termasuk bagaimana pemerintah daerah di kawasan Nusa Tenggara menyelaraskan agenda energi nasional dengan kebutuhan lokal, khususnya dalam transisi menuju energi bersih yang berkelanjutan.
“Tujuan tersebut berangkat dari fenomena global saat ini yang menghadapi ancaman perubahan iklim yang begitu masif,” kata panitia.
Kajian Walhi menyebut, tata kelola lingkungan yang mengabaikan aspek keberlanjutan menjadi faktor utama dalam mempercepat laju perubahan iklim.
Hal tersebut merujuk pada catatan Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC], organisasi non-pemerintah yang fokus pada kajian tentang perubahan iklim, yang menyebut pada 2023 suhu bumi diperkirakan meningkat lebih dari 1,5 derajat Celsius.
Angka ini merupakan batas suhu kritis yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015, yang telah diratifikasi oleh 195 negara.
Transisi Energi Abaikan Hak-hak Warga
Dalam konferensi pers yang digelar usai diskusi publik tersebut, Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTB, Amri Nuryadin mengatakan “Nusa Tenggara menjadi kepulauan yang sangat penting dalam konteks wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menghadapi transisi energi”.
Menurutnya, NTT dan NTB memiliki “tingkat kerentanan yang besar apabila energi kotor tetap dipertahankan sebagai pasokan sumber energi bagi sektor industri dan rumah tangga.”
“Pada era Prabowo-Gibran, persoalan ini menjadi tugas berat, sehingga dibutuhkan jaminan bahwa proses transisi energi dapat terlaksana secara baik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara”, katanya.
Hal tersebut, kata Amri, karena Nusa Tenggara “terpaksa memikul ambisi pemerintah” dalam dinamika “proyek strategis nasional dan investasi berskala besar.”
Ia mengambil dua contoh kasus, yakni pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus [KEK] Mandalika di NTB dan KEK Golo Mori di Labuan Bajo, NTT. Ia menyebut kedua proyek itu sebagai bentuk ambisi investasi pemerintah yang mengabaikan keselamatan warga dan kawasan pesisir.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi berkata “kepulauan Nusa Tenggara adalah korban dari ekspansi energi kotor yang digunakan secara luar biasa di dunia ini.”
Ia mengatakan pihaknya memandang proyek-proyek geotermal di NTT sebagai energi kotor karena “tidak berbasis kerakyatan”, kontras dari kampanye pemerintah yang menyebutnya bagian dari transisi menuju energi bersih.
“Tidak mungkin suatu energi dapat dikatakan bersih kalau dihasilkan dari penjarahan ruang penghidupan rakyat dan dilahirkan dari pemaksaan kehendak atas pelbagai penolakan dari warga,” katanya.
Karena itu, kata Umbu, pihaknya mendorong agar “Rencana Umum Energi Daerah, baik di NTT maupun NTB, harus direvisi dengan mempertimbangkan mimpi rakyat tentang energi masa depannya.”
“Dinas ESDM sebagai perwakilan pemerintah daerah harus memiliki posisi tawar dan hak untuk menolak program pemerintah pusat yang berkaitan dengan energi,” katanya.
Hal senada disampaikan Kepala Bidang Advokasi dan Pengorganisiran Rakyat Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga bahwa “transisi energi tidak hanya berbicara dari fosil ke non fosil, tetapi sistemnya itu perlu diubah secara penuh.”
Ia menyoroti alasan pemerintah bahwa geotermal adalah pemasok energi bersih untuk masyarakat, menyebutnya sebagai “isapan jempol belaka.”
“Penetapan Flores sebagai geothermal island adalah soal pemenuhan energi bagi pelbagai industri perhotelan, sebagaimana disebut dalam forum bisnis percepatan geothermal island,” katanya mengutip pernyataan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.
Debat Paslon Cagub-Cawagub Minim Bahas Lingkungan Hidup
Umbu Wulang juga menyoroti kegagalan Komisi Pemilihan Umum [KPU] dalam mengangkat isu-isu lingkungan hidup selama debat calon gubernur dan wakil gubernur di NTT.
Ia berkata, dalam tiga sesi debat, termasuk debat terakhir yang digelar pada 20 November, KPU abai terhadap berbagai persoalan krusial seperti krisis lingkungan, konflik agraria, kriminalisasi pejuang lingkungan, hingga krisis pangan, air, dan energi bersih.
“KPU menggelar debat tanpa memahami realitas bahwa pembangunan di NTT sangat bergantung pada daya dukung lingkungan,” kata Umbu.
Ia mencontohkan isu pariwisata yang tidak diiringi pembahasan tentang dampak negatif seperti limbah, konflik ruang penghidupan antara nelayan dan investor, serta berbagai persoalan lain yang berakar pada tata kelola sumber daya alam yang buruk.
“Dengan abainya KPU, rakyat NTT seperti memilih kucing dalam karung. Mereka tidak mendapat informasi jelas tentang program pemulihan ekologis yang akan dilakukan calon gubernur jika terpilih,” kata Umbu.
Padahal, kata dia, masa debat tersebut bersamaan dengan pelaksanaan COP 29, “namun momentum ini tidak dimanfaatkan untuk menggali komitmen para calon terhadap isu perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam.”
Editor: Anno Susabun