Floresa-co Anak muda di Kabupaten Lembata, NTT terlibat dalam kegiatan identifikasi bibit unggul tanaman Leye, bagian dari upaya budidaya dan pelestarian tanaman tersebut sebagai warisan budaya lokal yang bernilai ekonomi.
Berlangsung pada 23 November di Kantor Desa Hoelea II, Kecamatan Omesuri, pelatihan tersebut difasilitasi pegiat pangan lokal Lembata, Benediktus Kia Assan dari Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka [Yaspensel].
Desa Hoelea II berjarak sekitar 60 kilometer sebelah timur Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Mayoritas penduduknya adalah petani ladang.
Benediktus berkata, kegiatan yang melibatkan 25 perwakilan anak muda dan orang tua di desa itu bertujuan menggali keterampilan dan pengalaman warga dalam menyeleksi benih unggul Leye, makanan lokal yang tahan kering saat musim kemarau.
Ben, sapaannya, menambahkan bahwa dalam kegiatan itu para peserta terlibat aktif mendalami arti penting seleksi benih Leye sebagai persiapan awal sebelum melakukan penanaman.
“Benih Leye yang berkualitas harus memiliki beberapa indikator yakni corak warna kulit biji Leye yang cerah, mengkilap, keras dan berat,” katanya kepada Floresa.
Dalam pelatihan tersebut, lanjutnya, para peserta berhasil mengidentifikasi sejumlah tahapan seleksi untuk memastikan benih Leye yang berkualitas dan layak ditanam.
Koordinator Program Peningkatan Kapasitas Perempuan dan Orang Muda dalam Budidaya Leye di Desa Hoelea II, Yohanes Pulang berkata bersama anak muda lainnya ia “terlibat dalam program ini untuk mendukung pelestarian Leye sebagai tanaman pangan yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Hoelea.”
Menurut Yohan, sapaannya, identifikasi seleksi benih Leye membantu anak muda yang kini mulai berminat mengembangkan tanaman tersebut.
Anak muda dan perempuan aktif terlibat karena pelatihan itu “terkait dengan kehidupan dan budaya di Desa Hoelea”, selain “sudah mulai bermunculan minat warga yang ingin membudidayakan Leye sebagai inovasi pengolahan pangan lokal.”
“Kita harus perkuat pada tahapan pengenalan dan pengidentifikasian dahulu, untuk secara bersama mengetahui jenis benih yang unggul,” katanya kepada Floresa.
Pengembangan Leye oleh anak muda di desa itu, kata dia, sudah merambah ke berbagai produk olahan seperti kopi Leye, bose Leye, kue dan sereal Leye.
“Saya ingin agar ketertarikan soal Leye ini terus diperkuat, apalagi Leye telah menjadi salah satu tanaman sumber pangan di Desa Hoelea,” katanya.
Warga Desa Hoelea meyakini Leye merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang sudah dikembangkan secara turun-temurun oleh leluhur mereka yang menempati wilayah dekat Gunung Uyelewun, sebuah gunung api non-aktif di ujung timur Pulau Lembata yang berjarak sembilan kilometer dari desa itu.
Leye yang Menyejarah
Ben berkata Leye adalah sebutan warga dari Desa Hoelea untuk jali-jali [Coix lacryma-jobi] dan “tanaman lokal yang dipercaya warga setempat dekat dengan kebudayaan Hoelea.”
“Di Leuhoe, kampung lama orang Hoelea, ada hamparan yang khusus ditanami Leye setiap tahun,” katanya.
Penanaman itu, katanya, sekaligus untuk menjaga eksistensi Leye yang menjadi satu-satunya bahan makanan sumber karbohidrat untuk sejumlah perempuan, istri dari beberapa pria dari keturunan Suku Leuhoe.
Dalam keyakinan warga Desa Hoelea, kata Ben, setelah menikah dengan pria Suku Leuhoe, para perempuan harus menjalani ritual puting [pantang], di mana mereka hanya bisa mengonsumsi Leye sebagai sumber pemenuhan kebutuhan karbohidrat tubuh.
“Mereka tidak boleh mengkonsumsi nasi dari jagung atau padi,” kata Ben.
Ritual tersebut, lanjutnya, secara tidak langsung telah ikut menjaga kelestarian Leye hingga saat ini, meski masyarakat lain sudah mulai melirik ke pilihan pangan lain seperti ubi, jagung atau padi untuk olahan beras menjadi nasi.
“Saat ini, posisi Leye sudah mulai dipandang strategis oleh sejumlah komponen di desa,” kata Ben.
Masuk Program P-5 di Sekolah
Kepala SMP Negeri III Omesuri, Agustina Batis Biamnasi yang juga hadir dalam pelatihan itu menyebut budidaya Leye lewat kegiatan pengolahan produk seperti aneka makanan adalah langkah sekolah untuk mendorong para siswa mencintai makanan lokal.
Selain menghasilkan produk, kata Agustina, dalam pembelajaran juga diajarkan tentang cara menyeleksi benih dan membudidayakan tanaman tersebut.
Pada semester ganjil saat ini, kata dia, sekolah sudah mulai memasukkan Leye dalam proyek P5 khusus tema ‘Gaya Hidup Berkelanjutan’.
“Tanaman Leye kami pilih karena tanaman ini sangat dekat dan terkait dengan kebudayaan masyarakat di Desa Hoelea,” kata Agustina.
Ia juga berkata, kehadirannya dalam pelatihan tersebut menambah ide untuk menjadikan identifikasi bibit sebagai salah satu sub topik implementasi P5.
“Sebelumnya kami hanya bikin kue-kue dan olahan makanan lain dari Leye. Setelah ikut kegiatan identifikasi, pembelajaran tentang Leye bisa diperluas lagi. Kami akan lanjutkan lagi di semester berikut,” katanya.
Program pelatihan identifikasi benih unggul Leye mendapat dukungan pendanaan dari Lembaga Samdhana Institute, sebuah komunitas aktivis dan praktisi berbasis di Jawa Barat.
Lembaga ini bekerja bersama masyarakat adat dan komunitas lokal dan berkolaborasi dengan gerakan masyarakat sipil.
“Pelatihan ini merupakan salah satu kegiatan dari sejumlah kegiatan dalam program peningkatan kapasitas perempuan dan orang muda dalam membudayakan pangan lokal Leye,” kata Benediktus Kia Assan dari Yaspensel.
Editor: Anno Susabun