Melihat Persoalan Nelayan di NTT Lewat Film “Angin Timur”

Film karya Tim Ekspedisi Indonesia Baru ini merekam situasi pelik para nelayan di Pulau Jawa. Soal serupa juga sedang mendera nelayan di NTT.

Judul film: Angin Timur, Genre: Dokumenter Lingkungan, Produksi: 2022, Durasi: 101 menit


Sebagian besar orang mungkin cenderung beranggapan bahwa nelayan lebih mudah mendapatkan uang ketimbang petani. Hitung-hitungannya sederhana. Dibandingkan petani padi misalnya, nelayan tidak perlu mengeluarkan banyak modal untuk biaya produksi. Mereka tinggal memanen apa yang telah ada di laut. Asal rajin ke laut saja, nelayan pasti mendapatkan uang.

Romantisme kehidupan nelayan seperti ini justeru tidak ada dalam cerita yang diangkat dalam film “Angin Timur.” Film dokumenter karya Tim Ekspedisi Indonesia Baru yang dirilis pada September 2022 ini justeru mengabarkan hal sebaliknya, yaitu paradoks kehidupan para nelayan di Indonesia yang dijuluki negeri bahari ini. Faktanya, kendati di pasar harga seafood terkenal sangat mahal, namun statistik nasional justeru secara dominan menempatkan rumah tangga nelayan berada di bawah garis kemiskinan.

Film ini menunjukkan bahwa situasi pelik ini tidak semata-mata dipicu oleh badai angin timur, gejala alam tahunan yang tak terhindarkan yang seringkali menghambat aktivitas melaut dari komunitas nelayan. Merekam kehidupan nelayan di pesisir selatan dan utara Pulau Jawa (Kulon Progo, Jogja; Karimun Jawa, Jawa Tengah; Trenggalek dan Banyuwangi, Jawa Timur), film ini menemukan hambatan yang lebih struktural, yaitu kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada hajat hidup nelayan.

Satu persatu persoalan nelayan diangkat. Kebijakan terkini pemerintah yang menaikkan harga BBM misalnya, membuat para nelayan kian berada dalam situasi yang serba sulit. Diperparah dengan berbelit-belitnya prosedur untuk mendapatkan layanan BBM, aktivitas produksi para nelayan makin tidak optimal. Sulitnya mengakses BBM menambah derita sebagian besar komunitas nelayan sebab mereka makin bersandar pada kekuatan modal para pengepul. Ibarat gali lubang tutup lubang, penghasilan sehari hanya pas untuk menutupi biaya BBM yang dibeli dengan harga yang mahal dari tangan para pengepul.

Selain itu, bayang-bayang akan kehancuran ruang hidup juga makin menganga di depan mata dengan kehadiran sederetan aktivitas industri ekstraktif. Di wilayah Karimun misalnya, film Angin Timur merekam dampak buruk tambak udang milik korporasi terhadap ekosistem mangrove sebagai habitat yang sangat penting bagi perkembangbiakan ikan. Di Trenggalek, Jawa Timur nelayan kini tengah khawatir akan rencana pembukaan tambang emas di wilayah perbukitan sekitar pantai. Warga bersama pemerintah daerah setempat tengah membangun gerakan melawan rencana penambangan tersebut sebab akan berdampak pada rusaknya ratusan hektar pemukiman, sumber air, hutan lindung, ribuan hutan produksi serta kawasan karst. Komunitas nelayan setempat sangat cemas bahwa jika pemerintah tetap ngotot memaksakan aktivitas penambangan ini, besar kemungkinan di hari-hari mendatang ekonomi nelayan akan diganti dengan ekonomi tambang, sebuah perubahan drastis yang tentu akan sangat merugikan mereka.

Film ini juga menyoroti masa depan komunitas nelayan tradisional yang kian terancam dengan pemberlakuan Undang-Undang Omnibus Law. Melalui produk regulasi yang banyak ditentang elemen sipil itu, pemerintah menghapus kriteria nelayan tradisional dan nelayan kecil. Imbasnya, kapal cantrang dengan alat tangkap raksasa bisa masuk dengan begitu bebas, saling berebut wilayah tangkapan dengan para nelayan kecil.

Apa yang dikabarkan dalam film Angin Timur penting untuk membaca soal serupa yang dihadapi nelayan dalam konteks di NTT di tengah gelihat pemerintah untuk memaksimalkan pembangunan pada sektor perikanan. Baru-baru ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP] menyatakan ada tiga program strategis untuk NTT, yakni penangkapan terukur berbasis kuota, pengembangan perikanan budi daya untuk komoditas unggulan ekspor, serta pembangunan kampung budi daya perikanan. Salah satu yang tampaknya sudah ada lampu hijau adalah proyek tambak Budidaya Udang Berbasis Kawasan [BUBK] di lahan 1.800 hektar di Kabupaten Sumba Timur, dengan target produksi 72.000 ton, demi mendukung target nasional 2 juta ton pada 2024.

Rangkaian kebijakan ini dilakukan di tengah sorotan selama ini terhadap minimnya perhatian terhadap sektor perikanan dibandingkan terhadap sektor pertanian dan peternakan. Sebagian akademisi di NTT menyebut situasi ini sebagai kondisi ironi di tengah potensi sektor perikanan yang begitu tinggi yang mencakup panjang garis pantai sekitar 5.700 km dan luas laut mencapai 15.141.773,10 hektar.

Tentu saja, langkah pemerintah ini perlu didukung. Kendati demikian, penting disadari bahwa  selain karena belum dijadikan sebagai prioritas dalam pembangunan, tantangan terhadap pengembangan sektor perikanan di NTT juga justeru banyak datang dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang salah arah, serupa yang telah diangkat dalam film Angin Timur.

Sama seperti yang diangkat dalam film itu, sulitnya mendapatkan BBM juga menjadi tantangan klasik yang melanda komunitas nelayan di NTT. Di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat misalnya, media berulang kali mengabarkan sulitnya akses bagi komunitas nelayan untuk mendapatkan BBM. Kuota BBM yang disediakan lebih mudah diakses oleh bisnis transportasi darat dan kapal-kapal wisata.

Sementara dalam film Angin Timur, industri ekstraktif menjadi momok yang amat menakutkan bagi para nelayan, akhir-akhir di NTT industri pariwisata yang sering diklaim sebagai model pembangunan yang lebih berkelanjutan justeru menjadi tantangan yang paling signifikan bagi komunitas nelayan. Dengan dalih demi konservasi, ruang tangkapan nelayan dipersempit, sementara di sisi lain, pemerintah membuka akses bagi masuknya korporasi yang menguasai wilayah pesisir dan laut. Hal ini misalnya ditemukan di wilayah Taman Nasional Komodo, di mana nelayan setempat terus mendapat pembatasan ruang gerak, termasuk dengan mengambil alih wilayah laut tangkapan tradisional mereka, lalu diserahkan kepada korporasi.

Maraknya privatisasi kawasan pantai akibat industri pariwisata juga menjadi masalah tersendiri bagi masa depan komunitas nelayan. Selain di Labuan Bajo yang pantai-pantainya telah lama diprivatisasi oleh pembangunan hotel-hotel, privatisasi pantai juga makin marak terjadi di Pulau Sumba yang tengah dibidik menjadi destinasi pariwisata unggulan. Di Kabupaten Sumba Barat Daya misalnya, Walhi NTT mencatat 80 persen wilayah pesisir pantainya sudah dikapling para pemodal. Di Kupang, ibukota provinsi, Walhi juga mengkritisi pembangunan hotel dan restoran di dekat Teluk Kupang yang berdampak pada tertumpuknya limbah yang dibuang ke laut, terjadinya sedimentasi hingga tertutupnya akses nelayan yang kehidupannya bersumber dari tempat tersebut.

Selain telah nyata merugikan komunitas-komunitas nelayan, jika tak segera disikapi, kebijakan-kebijakan ini akan menjadi tantangan serius bagi cita-cita pemerintah menjadikan NTT sebagai provinsi kepulauan yang bersandar pada sektor perikanan. Meski tidak menyoroti situasi di NTT, film Angin Timur – yang bisa disaksikan lewat Rangkai.id, sebuah platform film digital nasional -, bisa menjadi lensa untuk melihat situasi pelik para nelayan, yang diharapkan bisa menggugah berbagai pihak memikirkan model kebijakan sektor kelautan dan perikanan yang berkeadilan bagi mereka. 

Venan Haryanto adalah peneliti berbasis di Flores, ikut membantu tim Litbang Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.