Tanggapi Rencana Budi Daya Udang di Sumba Timur, Walhi NTT Ingatkan Pemerintah Perhatikan Kelestarian Lingkungan dan Libatkan Warga 

Walhi NTT juga juga mendesak pemerintah memperhatikan keberlanjutan proyek seperti ini mengingat sejumlah proyek serupa sebelumnya di wilayah lain di NTT gagal.

Floresa.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang Nusa Tenggara Timur [Walhi NTT] mengingatkan pemerintah untuk benar-benar memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan dan hak warga dalam pelaksanaan proyek di sektor perikanan dan kelautan, merespons rencana proyek budi daya udang di Kabupaten Sumba Timur.

Lembaga itu juga mendesak pemerintah mempertimbangkan krisis iklim yang sedang menjadi ancaman global saat ini dan keberlanjutan proyek seperti itu mengingat sejumlah proyek serupa sebelumnya di wilayah lain di NTT yang kemudian gagal.

“Sektor perikanan dan kelautan memang merupakan potensi yang perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, namun pembangunan tersebut tidak boleh abai terhadap daya dukung lingkungan,” kata Deddy Febrianto Holo dari Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan Walhi NTT, Kamis, 26 Januari 2023.

Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP] berencana membangun tambak Budidaya Udang Berbasis Kawasan [BUBK] di Desa Palakahembi, Kabupaten Sumba Timur.

Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono mengunjungi desa itu pada 22 Januari 2023. Bersama Bupati Sumba Timur, Khristopel Praing, Trenggono memantau lahan potensial seluas 1.800 hektar yang menurutnya akan mendukung capaian target produksi udang nasional sebanyak 2 juta ton pada 2024. 

Proyek itu, dengan target produksi 72.000 ton, diklaim untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat dan menghadirkan distribusi ekonomi di wilayah Indonesia timur.

Ia menambahkan bahwa proyek itu strategis karena udang memiliki peluang ekspor yang sangat besar dengan nilai pasar dunia sekitar 28 miliar dolar AS pada 2021.

Deddy mengingatkan bahwa pemerintah perlu menyiapkan peta jalan atau road map yang tepat dalam merencanakan proyek tersebut “demi memastikan keberlangsungan lingkungan di wilayah pesisir sehingga tetap lestari dan tidak mengabaikan hak-hak rakyat.”

Apalagi, kata dia, pembangunan tambak udang berada di wilayah pesisir, dekat dengan ekosistem mangrove serta pemukiman masyarakat yang selama ini sering mendapatkan ancaman kerusakan akibat pembangunan yang kurang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Salah satu langkah konkretnya, kata dia, adalah penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan [Amdal] yang benar-benar komprehensif dan partisipatif, melibatkan masyarakat secara penuh.

Pemenuhan syarat Amdal atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) tersebut adalah perintah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Amdal harus melibatkan masyarakat, LSM, tokoh adat, serta Organisasi Perangkat Daerah [OPD] terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sangat berperan penting mengawal proses pembangunan tambak udang,” kata Deddy.

Keterlibatan para pihak tersebut juga menjadi penting sebab “ada kecenderungan produk Amdal yang ada justru diambil dari daerah lain yang jenis usahanya sama dan seringkali tidak sesuai dengan karakteristik wilayah” yang akan menjadi lokasi implementasi proyek. 

Peringatan demikian, kata Deddy, menjadi penting dengan berkaca pada beberapa proyek lain di sektor kelautan dan perikanan di wilayah NTT yang kemudian menjadi gagal.

Ia menyebut contoh tambak udang di Desa Merdeka Kabupaten Lembata, yang dibangun tahun 2019 gagal karena perusahaan tidak mengantongi Amdal. Warga setempat menolak tambak tersebut karena dibangun di hutan mangrove milik mereka dan tempat mereka mencari kepiting, ikan dan membuat garam.

Kasus lainnya adalah budidaya ikan kerapu milik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT di Teluk Waekalabu, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 7,8 Miliar dan berakhir gagal.

Walhi menegaskan, pemerintah perlu berkaca dari pengalaman kegagalan seperti ini agar benar-benar memperhatikan dampak lingkungan dan melibatkan masyarakat dalam menyusun perencanaan pembangunan.

Selain itu, “pemerintah juga harus memastikan status lahan yang digunakan sehingga tidak menuai konflik agraria, sebagaimana terjadi di banyak tempat proyek pembangunan di wilayah NTT.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini