Laporan Kolaborasi Floresa dan Project Multatuli Ungkap Dugaan ‘Permainan’ Jaksa di Manggarai dalam Kasus Terminal Kembur

Salah satu jaksa di Manggarai disebut sempat membujuk keluarga Benediktus Aristo Moa untuk menandatangani dokumen pengembalian uang kerugian negara. Uang itu disebut disediakan 'hamba Allah.'

Floresa – Laporan Kolaborasi Floresa dan Project Multatuli mengungkap dugaan ‘permainan’ jaksa dalam proses hukum kasus korupsi pengadaan lahan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, perkara yang kini tengah diproses di tingkat kasasi.

Dalam laporan yang diterbitkan pada Rabu, 20 September itu Floresa dan Project Multatuli menyoroti peran seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Manggarai yang ‘melobi’ Benediktus Aristo Moa, salah satu terdakwa — yang kini sudah menjadi terpidana dalam kasus itu — untuk membayar dana ganti rugi dengan iming-iming dituntut dengan hukuman minimal.

Selain Aristo, 45 tahun, terdakwa lain dalam kasus itu adalah Gregorius Jeramu, 63 tahun, warga adat asal Kampung Kembur, sebagai pemilik lahan. 

Gregorius menjual lahan warisannya itu lewat Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alas hak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, surat pajak bukanlah bukti sah kepemilikan tanah. 

Sementara Aristo dinyatakan bertanggung jawab saat proses pengadaan lahan terminal. Ia dituduh tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan dan menetapkan harganya.

Tindakan mereka dianggap merugikan negara setara harga tanah Rp402 juta.

Floresa dan Project Multatuli menulis dalam laporan itu bahwa Aristo dihubungi oleh Daniel Merdeka Sitorus, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Manggarai, beberapa hari menjelang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Kupang, tempat perkara itu disidangkan.

Aristo kemudian berulang kali menghubungi istrinya, Skolastika Setiman Marut pada Sabtu, 11 Maret 2023.

Menggunakan ponsel petugas Rutan Kelas IIB Kupang, tempat ia ditahan, Aristo meminta istrinya segera bertemu jaksa di kantor Kejaksaan Negeri Manggarai. 

Permintaan itu disampaikan Aristo sehari sebelum rencana persidangan pembacaan tuntutan terhadapnya, 12 Maret.

“Sepertinya suami saya dalam tekanan waktu itu,” cerita Skolastika.

Pada 12 Maret, Skolastika mendatangi Kejaksaan Negeri Manggarai, ditemani dua kerabatnya. Di kantor Kejaksaan, Skolastika bertemu Daniel, yang ditemani dua orang; satu perempuan dan satu laki-laki.

“Sebelum kami masuk ke dalam ruangan, semua ponsel ditinggalkan di luar,” cerita Skolastika soal pertemuan di sebuah ruangan lantai tiga. Dua orang yang menemani Daniel tidak memasuki ruangan sehingga “diskusi hanya kami berempat.” 

Dalam pembicaraan itu, Daniel menawarkan bahwa ada orang yang mau “membantu untuk mengembalikan kerugian uang negara,” cerita Skolastika. Untuk itu, ia diminta menandatangani sebuah dokumen yang isinya tidak diperlihatkan. Jika menerima, iming-imingnya, suaminya akan dituntut pasal minimal, yakni hanya satu tahun penjara. Daniel tidak memberitahu siapa yang menyiapkan uang itu, tambah Skolastika. 

“Atas pertimbangan keluarga bersama pengacara waktu itu, kami tidak mau melakukan tanda tangan karena kami merasa janggal,” kata Skolastika.

Cerita Skolastika dikuatkan oleh AJ, kerabat Aristo yang ikut dalam pertemuan dengan Daniel pada 12 Maret itu.

Valens Dulmin, salah satu pengacara dari Aristo juga membenarkan terkait permintaan tanda tangan “dokumen” itu.

Ia dan rekan pengacaranya menolak jika Skolastika menandatanganinya karena “tidak masuk akal kalau kerugian negara dibayar Aristo.” 

Merujuk dakwaan dan kemudian vonis, kerugian negara itu dibebankan kepada Gregorius, katanya.

Seperti yang disampaikan dalam laporan kolaborasi itu, Daniel mengakui pertemuan itu, kendati ia membantah terkait permintaan mengembalikan kerugian negara kepada Aristo atas inisiatifnya.

Katanya, “‘Pak Aristo, tolong ceritakan sama Pak Gregorius terkait dengan pengembalian [kerugian negara] itu, apakah memang ada atau tidak?’” ujar Daniel mengulangi pembicaraannya kepada Aristo.

Aristo kemudian bertanya apakah bisa jika keluarganya yang mengembalikan dana kerugian negara itu, klaim Daniel.

“Ya, silakan, Pak Aristo, tolong keluarga dibilang untuk bertemu.”

Apa yang dibicarakan saat pertemuan itu, klaim Daniel, “Cuman sekadar apakah ada atau tidak” dana untuk pembayaran kerugian negara. “Kami cuma memastikan itu aja, tidak ada yang lain,” ujarnya.

Ia juga menampik terkait cerita Skolastika tentang permintaan tanda tangan dokumen pengembalian uang negara. Alasannya, di dalam tuntutan pun kerugian negara dibebankan kepada Gregorius karena berdasarkan “data, bukti yang kami terima terkait transfer uang itu, memang di rekening Bapak Gregorius,” katanya.

Floresa mengkonfirmasi cerita Daniel kepada Aristo melalui panggilan video WhatsApp pada 14 Agustus. Aristo membantah penjelasan Daniel.

Ia mengatakan, beberapa hari sebelum sidang pembacaan tuntutan, Daniel menghubunginya melalui nomor ponsel seorang petugas rutan dan membicarakan tentang pengembalian uang pengganti kerugian negara. Saat itu Aristo belum mengetahui apakah dalam dakwaan ia dituntut atau tidak untuk membayar uang pengganti.

“Saya bilang begini, ‘Saya tidak ada uang.’ Dia bilang, ‘Ada yang bantu.’ “Saya bilang, ‘Siapa [yang bantu]?’ “Dia bilang lagi, ‘Ada yang bantu, bapak tidak perlu tahu. Hamba Allah yang mau bantu,’” cerita Aristo mengulangi pembicaraan dengan Daniel.

Dugaan permainan dalam kasus ini jadi sorotan sejak penetapan tersangka terhadap Benediktus Aristo Moa dan Gregorius Jeramu. 

Saat Kejaksaan Negeri Manggarai mulai menyelidikinya pada Februari 2021, sasarannya memang pada dugaan korupsi pembangunan terminal.

Terminal yang direncanakan menjadi penghubung angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur, dengan angkutan khusus menuju kota di pesisir pantai selatan Flores ini dibangun bertahap pada 2013-2015. Proyek ini menelan Rp3,6 miliar. Namun, selesai dibangun, terminal ternyata tidak dimanfaatkan. Kondisinya saat ini terlantar.

Setidaknya 25 orang diperiksa sebagai saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Perhubungan dan Informatika seperti Kepala Dinas Fansialdus Jahang dan Kepala Bidang Perhubungan Darat Gaspar Nanggar.

Kontraktor yang mengerjakan pembangunan fisik terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John, dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E. Go.

Namun, pada Oktober 2022, Kejaksaan Negeri Manggarai mengumumkan kasus itu diarahkan kepada pengadaan lahan, dengan tersangka Gregorius dan Aristo.

Hal itu memicu aksi protes dari berbagai elemen masyarakat, yang melakukan rangkaian unjuk rasa di Borong, Ruteng, Kupang, hingga Jakarta. Kelompok aktivis juga menggalang dana publik. Dana terkumpul diharapkan dapat membantu keluarga Aristo dan Gregorius menghadapi proses hukum.

Kini, Aristo dan Gregorius mendekam di penjara setelah kalah banding di Pengadilan Tinggi Kupang.

Aristo divonis 2 tahun dan membayar denda 100 juta. Sedangkan Gregorius dihukum 4 tahun, membayar denda 200 juta, serta mengganti kerugian negara senilai Rp402  juta.

Keduanya telah mengajukan kasasi, di mana prosesnya kini sedang berlangsung di Mahkamah Agung.

Baca laporan lengkap hasil kolaborasi Floresa dan Project Multatuli, dengan klik di sini.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA