Oleh: YOHANES IRFANDI ASAM
Refleksi atas tragedi Rabu Berdarah 10 Maret 2004
SYAIR tandak (sanda), “Ea ngae le/ le Colol/ le Colol Ea ngae/ le Colol manga kopi/manga doi.” Meski samar bergetar dalam bilik hati, syair itu mau mengatakan bahwa Colol adalah kampung penghasil kopi. Ingat Colol berarti ingat kopi. Ada kopi, ada uang. Demikian terjemahan bebas syair sanda ini
Secara geografis, Colol terletak di Kecamatan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Topografi berbukit-bukit dengan diapiti gunung-gunung serta iklim yang dingin, menjadikan daerah ini cocok bagi pengembangan tanaman kopi. Saat ini, Colol merupakan penghasil kopi terbesar untuk Manggarai Raya dan menjadi trade mark-nya kopi Manggarai.
Sebagai contoh, pada tahun 2010, dari 6000 ton hasil kopi di Manggarai, 3000 ton disumbang dari kebun kopi di kawasan Colol. Sementara itu, pada tahun 2013, Kepala Perwakilan PT. Incocom Citra Persada Surabaya, salah satu eksportir kopi Flores mengatakan, 400 ton kopi Colol berhasil diekspor ke luar negeri.
Colol sudah dikenal sebagai penghasil kopi sejak zaman kolonial Belanda. Aroma kopi Colol telah menarik simpati Pemerintah Belanda sehingga pada tahun 1937 mengadakan perlombaan kebun kopi dimana pertandingan itu dimenangkan oleh Bernardus Ojong, salah satu petani asal Colol.
Hingga kini penghargaan berupa bendera Belanda itu masih tersimpan rapi di rumah Rudolf Ronco, salah seorang anak Bernadus Ojong. Pada bendera ukuran 160×200 sentimeter itu tertulis “Pertandingan Keboen 1937 Mangggarai. Angka 1937 ditulis di atas gambar pucuk kopi, dalam bentuk setengah lingkaran.
Rabu Berdarah
Memasuki Oktober 2003, Colol seperti kembali ke titik nadir. Kebijakan pemerintah Manggarai membabat kopi rakyat melahirkan derita dan nestapa bagi masyarakat Colol. Tanaman kopi rata dengan tanah. Ratap tangis warga saat itu membela kesunyian Colol bersama deru mesin ‘Chain Saw’ yang meraung di atas langit-langit kampung Colol.
Kebijakan Bupati Manggarai (saat itu), Drs. Anthony Bagul Dagur ibarat petir di siang bolong. Pembabatan di Welu, Desa Rendenao mengakibatkan 42 KK kehilangan kebun kopi. Pembabatan di Biting, Desa Uluwae, 35 KK kehilangan kebun kopi, di Colol, Desa Ulu Wae 32 KK. Total warga tiga desa korban pembabatan tanaman kopi 162 KK. Sedikitnya 1.000 ha kopi ludes. Warga hanya bisa menarik napas panjang. Tali gantungan hidup terasa hampir putus. Dicap perambah hutan pula. Sungguh menyakitkan.
Melihat situasi ini, warga tak tinggal diam. Berbagai perlawanan pun dilakukan hingga hampir terjadi pertumpahan darah di lingko Colol. Untungnya, tokoh adat, tokoh masyarakat dan agama bisa mendamaikan suasana sehingga pada akhirnya tim terpadu yang terdiri dari tentara, polisi, preman dan tenaga harian kembali ke Ruteng. Berbagai peristiwa aneh seperti beberapa anggota tim yang dicengkram babi hutan juga memaksa mereka pulang sambil mencari waktu untuk negosiasi.
Harapan hidup akhirnya kembali ada. Namun hanya untuk sesaat. Tepat tanggal 10 Maret 2004, sekelompok petani kopi asal Colol datang ke Mapolres Manggarai untuk meminta polisi membebaskan beberapa warga yang ditahan gara-gara mencari ubi kayu di lahan yang sedang bersengketa. Penculikan petani itu terjadi pada tanggal 9 Marer 2004 dan dinilai sebagai strategi provokasi pemerintah untuk membalas dendam atas pengusiran paksa tim pembabat kopi dari kampung Colol.
Namun aksi protes ini justru memicu bentrok fisik antar warga versus polisi. Enam warga tewas, puluhan lainnya terluka, termasuk 7 di antaranya menderita cacat seumur hidup. Sejumlah anggota Polres Manggarai juga terluka. Kaca pintu dan jendela, juga beberapa bagian gedung Mapolres rusak dalam insiden ini. Tragedi Rabu, 10 Maret 2004 ini di kenal dengan sebutan “Rabu Berdarah”.
Bagaimana ending-nya? Beberapa warga ditangkap dan diproses hukum karena merusak sarana di Mapolres Manggarai. Namun tidak ada pihak yang dihukum untuk menebus kelalaian yang mengakibatkan enam warga tewas itu. Kapolres Manggarai saat itu yang dijabat oleh AKBP Boni Tampoi divonis bebas oleh pengadilan. Ketidakadilan ini jelas menimbulkan luka yang sulit disembuhkan.
Upaya membabi buta dari pemerintah mencaplok wilayah kekuasaan masyarakat adat, menjelaskan kepada kita bahwa negara dalam hal ini pemerintah tidak menghormati bahkan tidak ingin mengakui hak masyarakat adat. Hal tersebut terlihat dari tindakan Pemerintah Daerah Manggarai yang tak berprikemanusiaan.
Sikap tidak menghormati ini jelas sebuah pembangkangan terhadap eksistensi masyarakat adat yang tertuang dalam UUD 1945 amandemen ke Dua Pasal 18B ayat (2) yang mengatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang-Undang.”
Kekuasaan dan kewenangan yang ada pada negara, telah menjadi alat legitimasi untuk bertindak sewenang-wenang dengan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atau bahkan dengan kekuasaan yang ada egara telah memarjinalkan masyarakat adat.
Kondisi Hari Ini
Tragedi ini masih menyisakan luka yang mendalam bagi keluarga dan masyarakat Colol secara keseluruhan. Kopi adalah alasan mengapa daerah ini kerap disebut sebagai “Surga yang jatuh dari langit”. Kopi pula yang menjadi alasan mengapa sampai hari ini banyak anak-anak yang bersekolah dari daerah ini. Perjuangan masyarakat Colol adalah jembatan emas yang dapat menghubungkan mereka dengan kesejahteraan.
Namun kondisi akhir-akhir ini rupanya belum berubah. Jika dulu masyarakat colol berjuang melawan keangkuhan pemerintah secara fisik, sekarang mereka harus berjuang dengan sistem ekonomi yang monopolistik. Ada segelintir tangan-tangan jail (invisible hand) yang mengatur sistem harga kopi sehingga terus mencekik petani.
Harga komoditi kembang kempis seturut salera pemilik modal. Sistemnya, ketika produksi naik, harga turun dan ketika produksi merosot harga dinaikkan. Petani pasrah dan mengikuti grafik harga komoditi itu walaupun secara internasional harga kopi melambung.
Selain itu, rantai penjualan kopi biji dari petani ke eksportir seringkali terlalu panjang, hal ini tentu akan menekan harga di tingakt petani karena biaya ongkos mulai dari pengumpulan di tingkat desa, kecamatan sampai ke kabupaten baru akhirnya dijual ke distributor di Ruteng untuk kemudian dikirim ke Surabaya.
Belum lagi tradisi ijon yang beranak pinak di tengah masyarakat akibat belitan ekonomi. Para petani biasanya melakukan ijon saat paceklik, yaitu antara Januari-April. Pada bulan-bulan itu kopi belum dapat dipanen, sehingga harus berutang ke tengkulak, menggadaikan kopinya dengan harga yang sangat murah. Saat musim panen, kopi itu dijual dengan menggunakan harga sesuai perjanjian ijon, bukan harga pasar.
Lebih tragis ketika jaminan pinjaman petani ke pengijon biasanya adalah kebun kopi atau sawah. Jika petani gagal panen dan tidak bisa membayar pinjaman tepat waktu, pengijon bisa memberi denda dua kali lipat pinjaman, bahkan menahan dan mengambil kebun atau sawah penjamin itu.
Menebus Darah Petani
Inilah tantangan bagi masyarakat maupun pemerintah daerah. Pemda Matim harus memiliki BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang dapat memudahkan petani mengatasi rantai distribusi yang berbelit-belit dan mahal ongkos. Melalui BUMD, Pemda dapat membeli dan menampung kopi dari masyarakat dengan menggunakan harga yang layak, setidaknya mendekati harga di Surabaya. Sebagai Badan Usaha non-profit, tentu ini akan menguntungkan petani kecil dalam hal pemasaran hasil tanpa melalui sistem yang rumit dan mahal. Melalui dinas terkait, pemda dapat menjadikan BUMD sebagai media pendongkrak PAD sekaligus menjadi Badan Usaha yang dapat memberikan pinjaman kepada petani jika musim paceklik tiba. Dana pinjaman itu bisa didapat dari hasil penjualan kopi dari Kabupaten dengan eksportir di Surabaya. Tentunya dengan bunga yang rendah, tidak seperti bunga ijon yang mencekik petani.
Selain itu perlu adanya pemberdayaan petani kopi Manggarai lewat program pelatihan dan pengolahan dengan memperbanyak petugas penyuluh pertanian dan perkebunan dengan sistem tinggal di Desa (live in) sehingga meningkatkan produktivitas dan pengolahan kopi yang lebih canggih dan modern. Alat produksi petani pun bisa diadakan oleh pemerintah agar bisa menggenjot hasil yang maksimal.
Keberhasilan kopi arabica dan robusta asal colol Kabupaten Manggarai Timur menjuarai kompetisi uji rasa kopi nasional di Banyuwangi, Jawa Timur, menjadi momentum mengembalikan kejayaan kopi Colol yang memudar sejak 1990-an. Prestasi itu harus menjadi pemicu semangat para petani dan pemerintah untuk kembali menekuni budidaya kopi secara benar dan berorientasi ekspor. Jika dibenah dengan baik, tidak menutup kemungkinan Colol akan dijadikan sebagai daerah perkebunan kopi yang juga akan berpotensi menjadi daerah wisata kopi. Dengan demikian, perjuangan berdarah petani-petani kopi Manggarai tidak tekubur bersama kenangan pahit 12 tahun silam, tetapi ditebus dengan harga dan system yang sehat bagi anak cucu mereka.
Penulisa adalah Anggota Komunitas Kopi Colol, Kupang