Floresa.co – Membawa beragam poster berisi ungkapan hati mereka, sejumlah guru di SMK Negeri 1 Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai melakukan aksi unjuk rasa pada Senin, 13 Juli 2020.
Dalam aksi itu, mereka menuntur agar Kepala Sekolah, Yustin Maria Romas mundur dari jabatannya.
Beragam tudingan mereka alamatkan kepadanya, termasuk ketidakbecusan dalam urusan gaji guru komite selama pandemi Covid-19, dugaan korupsi dan model kepemimpinan yang otoriter.
Dalam beberapa dari poster yang mereka bawa, mereka menyampaikan pesan: “Guru komite membutuhkan penghargaan yang layak. Kami bukan babu,” “Stop kekerasan verbal terhadap guru,” “Kami juga berkontribusi terhadap kemajuan sekolah.”
Aksi itu, yang dikawal polisi, tidak hanya diikuti oleh guru komite, tetapi juga guru PNS.
Fransiskus Jehoda, koordinator lapangan aksi mengatakan, mereka “menyatakan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan kepala sekolah.”
“Demi kemajuan SMKN 1 Wae Ri’i dan demi keadilan guru dan pegawai SMKN 1 Wae Ri’i, kami minta kepada Bapak Gubernur NTT untuk segera memberhentikan Yustin Maria Romas sebagai kepala sekolah,” katanya.
“Apabila tuntutan kami ini tidak dipenuhi, maka kami akan melakukan mogok mengajar pada tahun ajaran 2020/20201 sampai kami mendapatkan keputusan yang adil dan bijak demi martabat guru, demi kemajuan lembaga ini,” tambahnya.
Litani Tudingan
Dalam aksi yang diikuti 37 guru itu, mereka manyampaikan sejumlah tudingan kepada kepala sekolah.
Salah satunya adalah soal gaji guru komite selama pandemi yang mereka sebut tidak wajar, tidak berperikemanusiaan.
Fransiskus mengatakan, ada guru komite yang mendapat gaji Rp 150.000, Rp 210.000, Rp 225.000, Rp 312.000, dan Rp 400.000 per bulan.
Padahal, kata mereka, para guru komite tersebut sudah melaksanakan pembelajaran daring yang dituntut pemerintah dan sekolah.
“Guru sebagai pendidik, pahlawan tanpa tanda jasa, diinjak-injak, direndahkan martabatnya, sementara yang lain boleh berleha-leha, boleh hidup mewah,” kata Fransiskus.
“Dengan Rp 150.000, dengan Rp 200.000, mereka harus menghidupi anak, istrin, keluarga,” tambahnya.
Fransiskus menegaskan, pada saat guru komite menjerit ketiadaan uang untuk biaya transportasi dan komunikasi daring untuk menjangkau siswa, Yustin malah tidak mengalokasikan satu rupiah pun dana BOS untuk pembelian pulsa paket bagi guru-guru demi kelancaran pembelajaran daring.
“Pertanyaannya, bagaimana guru-guru melakukan proses pembelajaran daring ketika mereka tidak mendapatkan gaji secara layak? Untuk bertahan hidup saja, itu belum cukup,” kata Fransiskus.
Dalam Permendikbud No. 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud No. 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, memang ada tambahan pasal 9A yang memberi ruang bagi sekolah untuk memanfaatkan dana BOS bagi pembiayaan langganan daya dan jasa, seperti pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/atau peserta didik dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dari rumah; dan pembiayaan administrasi kegiatan sekolah seperti pembelian cairan atau sabun pembersih tangan, pembasmi kuman, masker atau penunjang kebersihan lainnya.
Mereka juga menuding kepala sekolah mengintimidasi dan tak menggaji dua orang guru komite sehingga kedua guru tersebut akhirnya mencari pekerjaan di tempat lain.
Alih-alih memberi gaji layak bagi guru, kata mereka, Yustin malah mengutamakan pembangunan sumur bor dan merehab ruang laboratorium.
Selain memprotes masalah guru komite, mereka juga mengungkap pungutan tak wajar terhadap siswa dan pengelolaan keuangan yang tidak transparan, yang terindikasi korupsi dan kolusi.
Mereka menyebut Yustin memungut uang untuk pakaian seragam, sepatu, dan tas sekolah dari siswa baru, termasuk tahun ini, sebesar Rp 1 juta, yang menjadi syarat utama untuk diterima di sekolah itu, hal yang mereka sebut bertentangan dengan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam.
Dalam Permendikbud itu terkait pengadaan seragam, dinyatakan dua hal, yakni diusahakan sendiri oleh orangtua atau wali peserta didik dan tidak boleh dikaitkan dengan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau kenaikan kelas.
Mereka juga menyatakan, kebijakan pengadaan seragam ini pada tahun sebelumnya mengalami masalah.
“Siswa dikorbankan. Fakta yang kami temukan, masih banyak siswa yang sekarang sudah kelas XI dan XII belum mendapatkan seragam yang dimaksud seperti seragam pramuka dan sepatu,” kata mereka.
Pungutan itu, menurut mereka, dilakukan secara sepihak oleh kepala sekolah, yang mereka anggap sebagai bisnis pribadinya.
Dengan pungutan 1.600.000 bagi siswa baru, termasuk untuk uang komite, mereka menilai hal itu tidak peka dengan situasi orangtua yang saat ini terdampak pandemi.
“Masyarakat kita lagi mengalami kesusahan. Ada apa dengan bisnis seragam?” kata Fransiskus.
Pendemo juga menyinggung pembelian sepihak barang bekas berupa mesin foto copy dan pompa bensin mini yang kini sudah dalam kondisi rusak.
Mereka juga meminta agar mobil operasional milik sekolah harus diparkir di sekolah supaya tidak digunakan untuk kepentingan pribadi Yustin.
Para demonstran juga menilai, kepemimpinan Yustin sangat otoriter, bahkan seringkali memaksakan kehendak.
“Setiap memimpin rapat, selalu diawali dengan marah-marah. Konsekuensinya, guru dan pegawai tidak mau memberikan pendapat dan pikiran, apalagi guru komite,” demikian menurut pendemo dalam pernyataan tertulis.
“Kepala Sekolah selalu memaksakan keinginian dalam membuat kebijakan di sekolah,” tuding mereka.
Dalam aksi itu, salah satu tuntutan peserta aksi adalah meminta agar komite sekolah mengambil peran aktif.
“Kami minta kepada pengurus komite untuk segera minta pertanggungjwaban penggelolaan dana komite di sekolah ini. Kontrol penggunaaan dana seragam,” kata Fransiskus.
“Dan juga kalau ada guru yang ditindas, pengruus komite harus melaksanakan tugasnya.”
Tanggapan Yustin
Saat aksi ini, Yustin sempat menemui guru-gurunya di jalan masuk kompleks sekolah.
Namun, ia tak mengeluarkan sepatah kata pun di hadapan mereka.
Ia sempat mendengar tuntutan mereka, lalu kembali ke ruangannya untuk memberi keterangan kepada wartawan.
Dalam penjelasannya, Yustin bersikerasa tidak bersalah dan mengklaim “tuntutan guru-guru tersebut mengada-ada.”
Terkait gaji beberapa guru komite yang jumlahnya di bawah Rp 500 ribu, kata dia, disesuaikan dengan kinerja mereka.
“Besaran honor guru tergantung dari penilaian kinerja oleh kepala sekolah. Kalau angka-angka (soal gaji) yang mereka sampaikan di bawah, itu sesuai dengan kinerja mereka,” katanya.
Ia menyatatakan, yang ia cek adalah persentase siswa yang dilayani dalam pembelajaran daring selama pandemi, yang kemudian disesuaikan dengan gaji.
Ia menjelaskan, mengingat ada keringanan bagi orangtua untuk tidak membayar uang komite pada Mei-Juni, untuk mengantisipasi kekurangan gaji guru, Yustin memanfaatkan 15% dari Dana BOS.
Menurutmya, dalam petunjuk teknis BOS disebutkan, besaran honorarium para guru didasarkan pada kinerja mereka.
Ia juga mengklarifikasi terkait dua (2) guru perempuan yang mengalami tekanan psikologis dan mengundurkan diri.
Yustin menjelaskan, pihak sekolah menginstruksikan agar selama masa pandemi covid-19 para guru bekerja dari rumah dan melaksanakan pembelajaran secara daring, bukan berlibur.
Namun, kata dia, guru atas nama Yusta Manto justru pulang ke Labuan Bajo dan “tidak sedikitpun mengatasi masalah siswa yang terkendala dengan pembelajaran jarak jauh.”
Guru itu, kata dia, tidak memberikan laporan pembelajaran sejak April hingga Mei, bahkan tidak muncul untuk membawa laporan untuk disupervisi oleh kepala sekolah, “sehingga dalam penggajian, dia kosong, tetapi hak-hak lain tetap diberikan.”
“Pada bulan Juni, guru Yusta menyampaikan bahwa dia mau mengundurkan diri untuk program kehamilan karena selama ini ia tinggal terpisah dengan suaminya di Kupang,” katanya.
Sementara terkait guru bernama Ani, kata dia, sejak diberlakukan pembelajaran dari rumah hingga kini tidak pernah muncul di sekolah untuk berkoordinasi dengan pihak kepala sekolah.
“Laporan dia kirim dari jauh, bahkan tidak menyerahkan permohonan perpanjangan kontrak. Guru Ani juga tidak pernah hadir di sekolah untuk mengklarifikasi persoalan dirinya terkait uang sekolah siswa yang diserahkan kepadanya,” katanya.
Terkait uang pulsa para guru untuk melakukan pembelajaran secara daring, ia bersikeras, “seharusnya para guru bisa menyisihkan sedikit uang dari gajinya untuk pulsa,” meski dalam Permendikbud ketentuan soal uang pulsa selama pandemi ini diatur lain di luar gaji.
Perihal sumur bor dan renovasi sekolah di saat pandemi, kata dia, hal itu tidak melanggar ketentuan karena dilakukan pada saat “new normal.”
Yustin mengaku menggali sumu bor karena tiga meteran air PDAM yang mereka miliki sering mengalami kemacetan, bahkan hanya mengalir pada awal pemasangan meteran tahun 2019.
Memastikan ketersediaan air, jelasnya, penting karena siswa diwajibkan mengikuti protol kesehatan, yang satunya selalu mencuci tangan.
Kepsek Yustin membenarkan bahwa pihaknya telah membeli mesin fotokopi bekas pada 2018, yang kini rusak. Pihaknya juga melakukan pengadaan mesin pompa bensin mini tetapi saat ini tidak dimanfaatkan.
Namun, menurut dia, selama pandemi, mesin pompa bensin itu tidak digunakan karena sebagian besar guru dan karyawan bekerja dari rumah.
Sementara perihal pungutan uang seragam, sepatu dan tas, Yustin tak menampik hal itu. Namun, ia menjelaskan, uang itu ia teruskan kepada pihak penyedia yang dipercayakannya.
Ia juga mengatakan tak ingin ada yang berhutang uang pakaian seragam sehingga siswa wajib membayar saat awal mendaftar di sekolah tersebut.
Ia mengatakan, terkait dengan mobil sekolah yang diparkir di rumahnya, ia beralasan agar ia mudah mengangkut air dari rumahnya ke sekolah.
Ia mengaku, awalnya dirinya memakai kendaraan pribadi bermerek panther untuk mengangkut air setiap hari ke sekolah.
Dengan adanya mobil itu, yang dibeli dengan kredit atas kesepakatan dengan komite sekolah, ia bisa menggunakannya untuk mengangkut air.
“Apakah mereka tahu saya telah berkorban, bahkan jam 5 pagi saya sudah bangun untuk isi itu jerigen supaya jam 7 saya ada di sini,” katanya.
“Dubelas jerigen saya bawa dari rumah,” tambahnya.
Perihal model kepemimpinannya, ia beranggapan sebagai sebagai manajer utama sebuah lembaga, kepala sekolah tentu banyak berpikir untuk kemajuan sekolah.
Karena itu, jelasnya, banyak keputusan dapat diambil tanpa harus melibatkan dewan guru, selama keputusan itu untuk kemajuan sekolah.
“Sakit, Perih”
Saat aksi sedang berlangsung, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi NTT, Benyamin Lola sempat menelepon pendemo agar membubarkan diri.
Namun, Fransiskus yang berbicara dengan Benyamin mengatakan, mereka memilih bertahan dan berharap agar ada sikap tegas dari pemerintah.
“Aksi ini kami lakukan karena kami cinta SMK Negeri 1 Wae Ri’i dan kami ingin mengabdikan diri bagi siswa yang sedang merajut masa depannya di SMK Negeri 1 yang tercinta ini,” katanya.
Ia mengatakan, keterlibatan mereka adalah sebagai bentuk solidaritas.
“Sebagai sesama saudara seprofesi. menyaksikan teman kita dapat 150 ribu, merasa sakit, perih di dada. Di tengah wabah, guru komite harus menghidupi isteri, suami, anak-anak dan keluarganya dengan uang itu,” katanya.
Ia menjelaskan, dengan penghasilan seperti itu, mustahil kemudian guru bisa mengalokasikannya untuk memberi pulsa demi pembelajaran daring.
“Ibu setega ini kah, tidak punya rasa keadilan, tidak punya rasa kemanusiaan,” katanya.
Ia menjelaskan, dengan status sebagai PNS, jika kemudian dimutasi, diberhentikan karena ikut aksi ini, mereka siap.
“Ini tentang kemanusiaan, ini tenang harkat martabat manusia. Ini tentang generasi mudah bangsa. Kok tega-teganya negara ini memberi gaji Rp.150 ribu,” kata Fransiskus.
Ina Mustika, salah seorang guru komite yang membacakan puisi dalam aksi itu mengatakan, apa yang mereka lakukan didorong oleh kesulitan yang kini mereka rasakan.
“Perjuangan ini murni dan suci, bukan demi ambisi, bukan cari kursi. Hanya untuk sepiring nasi, pelepas lapar,” katanya sambil berusaha menahan tangis.
YOHANES/ARL/FLORESA