Floresa.co – Keuskupan Ruteng menjelaskan sikap terkait proyek geothermal Wae Sano, menyusul ramainya pembicaraan terkait surat uskup yang merekomendasikan agar proyek itu dilanjutkan, sementara warga menyatakan tetap menolaknya.
Sikap itu dijelaskan dalam siaran pers pada 11 Juni yang ditandatangani oleh Vikaris Jenderal, Romo Alfons Segar.
Di dalamnya, ia menjelaskan alur proses yang ditempuh Keuskupan Ruteng, yang dimulai dengan surat Mgr. Siprianus Hormat pada 9 Juni 2020 untuk Presiden Joko Widodo yang menyuarakan sejumlah persoalan terkait proyek itu hingga kemudian surat kedua uskup kepada presiden pada 29 Mei yang meminta agar proyek itu dilanjutkan.
Romo Alfons menjelaskan bahwa keterlibatan sosial kritis-profetis gereja dalam proyek ini bertolak dari jati diri gereja seperti yang ditandaskan oleh Konsili Vatikan II yang bersolider dengan “suka dan duka, harapan dan kecemasan masyarakat,” merujuk pada dokumen Gaudium et Spes artikel 1.
Dalam 14 poin siaran pers itu, Romo Alfons menyinggung soal keresahan umat Wae Sano, lalu dialog antara Kantor Staf Presiden, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan dengan Uskup Sipri, yang berujung pada pembuatan MoU antara Keuskupan Ruteng dengan Dirjen EBTK Kementerian ESDM.
“Dialog dan kerja sama konstruktif Pemerintah (Negara) dan Gereja demikian sangatlah penting, karena dua institusi pada dasarnya melayani manusia yang sama (GS, 40) dan bersama-sama mengusahakan terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commnune) bagi masyarakat (GS, 26),” jelas Romo Alfons.
Dalam poin lain ia mengutarakan bahwa dalam MoU itu, pemerintah pusat menjawab keresahan masyarakat Wae Sano sementara Keuskupan Ruteng menegaskan sejumlah komitmen, antara lain untuk menjadi gembala yang mengayomi semua pihak, memperjuangkan prinsip dan nilai dalam pembangunan berkelanjutan, mengawasi proses sosial dan penyelesaian masalah secara komprehensif, bermartabat dan berkeadilan sosial.
Disebutkan bahwa sejumlah hal yang disampaikan pemerintah pusat terkait alasan perlunya proyek itu adalah geothermal merupakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan dan bagian dari upaya mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Selain itu adalah untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di Flores, khususnya di Kabupaten Manggarai Barat yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan aktifitas ekonomi, pembangunan, pertumbuhan industri, khususnya pariwisata, sementara rasio elektrifikasi Manggarai Barat 93,189 (Agustus 2020) dan berada di bawah rata-rata nasional.
Selanjutnya, kata Romo Alfons, pemerintah pusat melalui Tim Bersama Pengelolaan Sosial Proyek Panas Bumi Wae Sano telah mengadakan “kegiatan dialog intensif, klarifikasi transparan, hari studi dan sosialisasi (pencerahan) dengan pelbagai elemen dalam Gereja Katolik.”
Sejalan dengan itu telah dibentuk Tim Rencana Kerja Tindak Lanjut yang melibatkan Tim Sosial Pemerintah Pusat dan Keuskupan Ruteng yang dalam tugasnya mengadakan dialog secara transparan dan bermartabat dengan berbagai pihak masyarakat Wae Sano.
Selain itu, kata dia, ada juga sosialisasi dan pencerahan tentang proyek serta klarifikasi yang objektif dan kredibel atas persoalan-persoalan yang ada dan melakukan “groundchecking” bersama warga Wae Sano, di mana pihak pemerintah mengklarifikasi lokasi titik bor yang tepat, menjelaskan proses teknisnya dan menjamin keamanannya.
Hal lain adalah diskusi di berbagai kampung/desa untuk mendalami masalah kerentanan masyarakat serta mengkaji potensi pengembangan ekonomi komunitas dan regional.
Pihak keuskupan menegaskan pentingnya upaya meningkatkan kesejahteraan warga Wae Sano melalui pembangunan holistik yang meliputi bidang pertanian, peternakan, pariwisata, ekologi, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan modal usaha serta dilakukan secara partisipatif.
Ia juga menjelaskan bahwa pada 13 Desember 2020 Pemerintah Pusat melalui Sekretaris Komite Bersama Penyediaan Data dan Informasi Panas Bumi mengirimkan kepada Uskup Ruteng lembar fakta klarifikasi yang komprehensif atas berbagai isu dan persoalan masyarakat yang disampaikan dalam surat Uskup pada tanggal 9 Juni 2020.
Ia menjelaskan, pada tanggal 14 Desember 2020 surat lembar fakta klarifikasi pemerintah ini dibacakan dan dipresentasikan kepada masyarakat Wae Sano di Nunang.
Ia menambahkan, pada tanggal 20 Mei 2021, Tim Sosial Pemerintah Pusat menyampaikan kepada Uskup Ruteng hasil dialog, klarifikasi, sosialisasi dan pencerahan selama ini.
Berdasarkan identifikasi, kajian isu strategis, dan masukan dari Tim Rencana Kerja Tindak Lanjut, Tim tersebut telah merekomendasikan perubahan titik bor dari Welipad B yang dekat dengan kampung Nunang ke titik bor alternatif Welipad A.
“Titik bor alternatif ini berpindah jauh dari kampung Nunang. Akses jalan masuk tidak lagi melewati kampung Nunang tapi melingkari danau dari arah lain untuk mengurangi resiko sosial dari proyek geothermal tersebut sekaligus membuka isolasi wilayah serta meningkatkan potensi ekonomi dan pariwisatanya,” jelasnya.
Ia menyakan, Keuskupan Ruteng mengapresiasi jaminan pemerintah atas keamanan proyek geothermal tersebut, atas keselamatan warga dan ruang hidupnya, atas eksistensi kampung dan situs adat (tak ada relokasi permanen), atas pembentukan lembaga mekanisme pengaduan masyarakat, serta komitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat Wae Sano dan mengembangkan kehidupan ekonomi kawasan tersebut.
Ia menyebut bahwa “wewenang untuk memutuskan proyek geothermal Wae Sano dan tanggung jawab terhadapnya berada pada otoritas Pemerintah Pusat RI.”
Meskipun demikian, jelasnya, Keuskupan Ruteng berjuang semaksimal mungkin dan mendesak agar keputusan pemanfaatan panas bumi untuk menyediakan energi listrik terbarukan bersifat ramah lingkungan demi pembangunan bangsa dan wilayah Manggarai Barat, dan dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat lokal Wae Sano serta melindungi dan mengembangkan integritas ciptaan (ekologi) dan warisan kultural setempat.
“Atas pelbagai pertimbangan-pertimbangan itu, Keuskupan Ruteng merekomendasikan rencana tindak lanjut tahap kedua proses proyek geothermal Wae Sano. Hal ini dituangkan oleh Uskup Ruteng dalam suratnya kepada Bapak Presiden RI pada tanggal 29 Mei 2021,” jelas Romo Alfons.
Pada bagian akhir ia mengajak semua pihak untuk melihat dengan jernih kompleksitas persoalan yang ada, berdialog dan berdialektika secara transparan, jujur dan objektif untuk menemukan dan menerima dan menghargai solusi komprehensif dan putusan yang terbaik bagi semua pihak.
“Mari kita saling menghargai satu sama lain dan selanjutnya bersama-sama mengawasi proses eksplorasi dan eksploitasi panas bumi Wae Sano yang aman, adil, bermartabat dan bermanfaat bagi bangsa, masyarakat Mabar dan warga local Wae Sano,” demikian menurut Romo Alfons.
Protes Terhadap Surat Uskup
Siaran pers ini muncul setelah suara protes muncul atas surat Uskup Sipri kepada Presiden Joko Widodo, baik yang disampaikan langsung oleh warga Wae Sano maupun oleh sejumlah pihak lain.
Warga Wae Sano yang menggelar rapat pada 6 Juni mempertanyakan klaim Uskup dalam suratnya, yang tidak mengakomodasi fakta bahwa mereka masih tetap menolak proyek tersebut.
BACA: Surat Uskup Ruteng Terkait Geothermal Picu Protes Warga Wae Sano
Salah satu protes yang disuarakan warga misalnya pada 22 Mei, ketika Bupati Manggarai Barat dan wakil dari Keuskupan Ruteng datang ke wilayah mereka, di mana warga melakukan penghadangan.
Meski surat uskup dan siaran pers ini juga menyinggung soal adanya “kegiatan dialog intensif, klarifikasi transparan,” namun tidak dijelaskan rinci bagaimana itu dilakukan, siapa saja yang terlibat, di mana diadakan dan sejauhamana dinamikanya.
MoU antara Keuskupan Ruteng dengan Pemerintah juga tidak melibatkan warga, hal yang membuat warga menulis surat pada 21 Desember 2020 kepada Uskup Sipri dan Dirjen EBTKE, di mana mereka menyebut MoU itu “tidak menjawab permasalahan yang ada.”
Tentang Proyek Wae Sano
Proyek di Wae Sano merupakan bagian dari upaya pemerintah memaksimalkan potensi geothermal. Menurut Badan Geologi, potensi geothermal di Indonesia sebesar 23,9 Giga Watt (GW) dan baru 2.130,6 MW (8,9%) yang dimanfaatkan.
Sejumlah pulau menjadi sasaran proyek ini, termasuk Flores, yang melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 ditetapkan sebagai Pulau Geothermal, di mana ada sekitar 20-an titik yang sedang dan akan dieskplorasi.
Di Wae Sano, proyek ini dikabarkan dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur dan belakangan muncul lagi nama perusahan baru PT Geo Dipa Energy.
Penolakan warga selain karena lokasi yang berdekatan dengan ruang hidup mereka, baik kampung maupun kebun mereka, juga dipicu kekhawatiran terkait potensi bencana.
Wilayah Wae Sano sudah lama ditetapkan sebagai titik merah oleh Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Daerah Manggarai Barat karena menjadi sumber bahaya gempa bumi.
FLORESA