Floresa.co – Seorang jurnalis meminta Floresa membatalkan penerbitan berita terkait kasus hakim yang menjadi pelaku calo tes Pegawai Negeri Sipil [PNS] dan menerima setoran puluhan hingga ratusan juta dari sejumlah warga.
Permintaan jurnalis itu disampaikan kepada jurnalis Floresa pada 20 Juni malam saat tengah mengerjakan berita lanjutan terkait kasus percaloan yang melibatkan hakim di Pengadilan Tinggi Agama Kupang, Irwahidah.
Berita terbaru tersebut mengangkat cerita korban lainnya dari praktik percaloan Irwahidah.
Fidelis Hardiman, seorang pedagang kecil di Carep, sekitar tiga kilometer arah timur Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, mengaku memberikan uang Rp60 juta pada 2021 kepada Irwahidah.
Fidelis mengaku Irwahidah ingkar janji mengembalikan uang itu usai anaknya gagal tes PNS di Kejaksaan Agung, sesuai kesepakatan yang diteken sebelum penyerahan uang. Irwahidah hanya mengembalikan Rp5 juta.
Jurnalis tersebut memberi tahu bahwa Irwahidah memintanya menghubungi jurnalis Floresa agar berita itu tidak dimuat, sehingga tidak membuat “orang-orang lain bisa ungkapkan kembali” kasus tersebut.
Kalaupun itu tetap dimuat, kata dia, Irwahidah meminta hanya menulis tentang pengembalian uang kepada seorang korban, warga di Manggarai Timur. Irwahidah memang telah mengembalikan uang milik Tadeus Melang, warga Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba yang melapornya ke polisi dan membuat kasus ini ramai dibicarakan.
“Hubungi redaksi supaya batalkan [berita terkait korban lain] yang di Ruteng itu,” kata jurnalis itu, mengutip pesan Irwahidah.
Ia berkata, kalaupun dimuat, narasinya diubah agar hanya menulis tentang pengembalian uang terhadap korban di Manggarai Timur.
Jika permintaan itu dikabulkan, katanya, urusan tersebut menjadi “hitungan” antara dia dan jurnalis Floresa.
Kendati tidak memerinci, kata dia, kalau memilih tidak menerbitkan berita, maka Floresa akan mendapatkan “sesuatu yang besar.”
Ia juga berkata Irwahidah “hebat karena dia lakukan pengembalian [uang warga di Manggarai Timur] supaya meleset dari pasal penggelapan.”
Merespons permintaan tersebut, jurnalis Floresa memberi tahunya bahwa redaksi tetap menerbitkan berita itu.
Jurnalis Floresa juga mengusulkan jurnalis itu agar meminta Irwahidah menghubungi redaksi, yang kemudian ditolaknya.
Dia juga menolak menghubungi jurnalis Floresa lainnya dengan alasan “belum terlalu kenal baik.”
Redaksi Floresa memutuskan tetap memuat berita tersebut pada 20 Juni malam.
Beberapa menit usai berita itu terbit, Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, menghubungi jurnalis tersebut, meminta penjelasan terkait maksud dan tujuan permintaannya.
Jurnalis itu mengakui diminta Irwahidah untuk mendiskusikan berita tersebut kepada jurnalis Floresa.
Herry memberi tahunya bahwa berita tersebut telah diterbitkan dan “kami tidak akan melayani permintaan Irwahidah.”
“Kami akan terus menulis kasus tersebut sampai para korban mendapatkan kembali haknya,” katanya.
Ia menambahkan, “kami juga tidak bisa hanya menulis tentang pengembalian uang bagi korban di Manggarai Timur karena kenyataannya ada korban lain yang uangnya belum dikembalikan secara utuh.”
Jurnalis itu mengklaim berbeda dengan jurnalis lain yang disebutnya “profesional.” Ia menyebut bekerja di media hanya untuk “kamuflase” dan terang-terangan mengakui menawarkan untuk menjadi penghubung untuk bernegosiasi dengan Irwahidah andai permintaannya dikabulkan.
Floresa menghubungi Irwahidah melalui WhatsApp pada 21 Mei.
Ia mengakui telah meminta jurnalis terseburt berdiskusi dengan Floresa terkait pembatalan penerbitan berita.
“Iya. Mohon dibantu,” katanya.
Pemimpin Umum dan Editor Floresa, Ryan Dagur berkata, Floresa memutuskan mempublikasi berita soal permintaan jurnalis itu dengan mempertimbangkan prinsip keberpihakan pada kepentingan publik.
“Hal ini menjadi prinsip utama yang dipertahankan Floresa, apalagi ketika itu menyangkut kepentingan mereka yang berada dalam posisi lemah dan berhadapan dengan orang-orang kuat,” katanya.
“Dalam kasus ini ada asimetri kekuasaan. Hakim yang jadi calo ini bisa menggunakan jabatannya, juga orang-orangnya, termasuk jurnalis, untuk membela kepentingannya. Ini berkebalikan dengan situasi para korban,” tambahnya.
Ia berkata, Floresa memilih teguh mengungkap data dan fakta serta berupaya agar setiap jurnalis menaati kode etik, bukannya berkamuflase sebagai jurnalis.
“Kita semua punya tanggung jawab untuk tetap sama-sama menjaga marwah jurnalisme,” katanya.
‘Makan’ Banyak Korban
Praktik percaloan Irwahidah dengan korban yang sudah terungkap di Manggarai dan Manggarai Timur berlangsung saat ia bertugas di Pengadilan Agama Ruteng sejak Mei 2019, dengan jabatan semula sebagai wakil ketua, lalu jadi ketua mulai Agustus 2020. Ia pindah ke Pengadilan Agama Labuan Bajo pada Januari 2022. Hingga kini ia bertugas sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Agama Kupang sejak Oktober 2022.
Pada awal Mei, Irwahidah dilaporkan kepada polisi oleh Tadeus Melang, warga di Manggarai Timur karena tidak mengembalikan uang Rp100 juta yang diberikan untuk meloloskan anaknya sebagai PNS di Kementerian Hukum dan HAM, sesuai kesepakatan mereka sebelumnya.
Irwahidah hanya mengembalikan Rp10 juta. Ia baru mengembalikan seluruh uang Tadeus pada 14 Juni, ketika kasus ini mulai diliput media.
Berita soal kasus ini memicu korban lainnya membuka suara.
Korban aksi Irwahidah, menurut informasi yang diperoleh Floresa dari para korban yang terkonfirmasi, bisa mencapai puluhan orang.
Di Manggarai Timur, selain Tadeus, korban lainnya adalah Datto Algadri, seorang anggota Satuan Polisi Pamong Praja.
Berbicara dengan Floresa, Datto Algadri mangaku ikut menyetorkan uang Rp100 juta kepada Irwahidah.
Ia mengatakan ada tujuh warga yang menyetorkan uang kepada Irwahidah, dua di antaranya sudah dikembalikan masing-masing Rp50 juta. Ia berkata, masih ada sekitar Rp600 juta yang dipegang Irwahidah.
Sementara menurut pengakuan Fidelis, ia pernah bergabung ke dalam grup WhatsApp beranggotakan para korban Irwahidah di Kabupaten Manggarai.
“Kelompok kami saja sekitar belasan orang,” katanya, sembari menyebut beberapa nama korban dalam kelompoknya.
Ia menyebut salah satu korbannya adalah Simprosa Rianasari Gandut, anggota DPRD Kabupaten Manggarai. Namun, kata Fidelis, Gandut bergabung dalam grup WhatsApp berbeda.
Floresa menghubungi Gandut pada 12 Juni. Namun, politisi Partai Golkar yang terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi NTT periode 2024-2029 itu tidak merespons hingga kini.
Floresa juga menghubungi korban lainnya yang disebut Fidelis, namun tidak merespons permintaan wawancara oleh Floresa.
Fidelis berkata ia tidak lagi bergabung di grup WhatsApp para korban sejak ponselnya rusak.
Sejumlah korban, katanya, memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dengan Irwahidah secara personal, bukan dengan kelompok.
“Bahkan ada korban lain terpaksa ke Kupang selama dua bulan untuk bertemu Irwahidah dan uangnya berhasil dikembalikan,” katanya.
Ia berkata, Irwahidah baru mau mengembalikan uang tersebut setelah didesak berkali-kali secara personal.
Irwahidah tidak bekerja sendiri menjalankan aksinya.
Fidelis mengaku sebelum ikut tergoda menggunakan jasa Irwahidah, ia ikut dalam sosialisasi yang digelar di kediaman Rian Mbaut di Redong, Kelurahan Wali.
Ia mengaku bertemu dengan anggota kelompok lainnya di rumah mantan anggota DPRD Kabupaten Manggarai periode 2009-2014 itu.
Selain jadi lokasi sosialisasi, katanya, rumah Rian juga tempat penandatanganan kesepakatan dengan Irwahidah.
Fidelis menandatangani kesepakatan di rumah Rian, sebelum mentransfer uang langsung ke rekening Irwahidah, katanya.
Ia dan korban lain menduga Rian Mbaut merupakan “kaki tangan Irwahidah.”
Fidelis berkata beberapa kali menghubungi Rian, menanyakan kapan uangnya itu dikembalikan.
Rian, katanya, selalu merespons: “Silakan urus sendiri.”
Sementara Irwahidah, kata dia, juga selalu berjanji untuk mengembalikan uang tersebut setiap kali dihubungi.
Floresa menghubungi Rian Mbaut pada 20 Juni. Ia mengakui bahwa penandatanganan surat kesepakatan antara Irwahidah dan Fidelis dilakukan di rumahnya.
Namun, ia mengklaim pertemuan di rumahnya itu atas permintaan Fidelis.
“Dia [Fidelis] datang ke rumah dan minta bantuan untuk menghubungi Irwahidah,” katanya. Ia lantas menelepon Irwahidah.
Ditanya soal keterlibatannya dalam kasus percaloan tersebut, Rian mengaku juga menjadi korban.
Ia mengatakan turut menyetorkan uang sebesar Rp60 juta kepada Irwahidah.
“Memang sebagiannya sudah dikembalikan,” klaimnya, namun ia menolak menyebut nominal pengembaliannya.
Beberapa menit usai berbicara dengan Floresa, Rian kembali menelepon, meminta pengakuannya sebagai korban diralat.
“Jangan tulis saya sebagai korban, tetapi tulis saja bahwa Fidelis datang ke rumah dan minta bantuan hubungi Irwahidah untuk bertemu,” katanya.
Ia berdalih tidak mengenal Fidelis kendati tidak membantah bahwa Fidelis beberapa kali mengunjungi rumahnya untuk mengikuti sosialisasi dan menandatangani kontrak dengan Irwahidah.
“Saya tidak tahu urusan mereka seperti apa, soal transfer uang juga saya tidak tahu,” katanya.
Sementara Irwahidah, ketika dikonfirmasi soal relasinya dengan Rian, hanya berkata masalahnya sudah dilimpahkah kepada kuasa hukumnya, Vitus Modestus Lugar dan Nestor Madi.
Vitus dan Nestor yang berbicara dengan Floresa pada 14 Juni sama-sama mengaku tidak mengetahui persoalan kliennya itu dengan Fidelis dan warga lain di Ruteng.
“Kalau yang itu, saya tidak tahu. Saya hanya terima kuasa untuk [kasus] yang di Borong,” kata Vitus, merujuk pada kasus Irwahidah dengan Tadeus.
Dalam wawancara pada 10 Juni, Irwahidah juga berkata kepada Floresa, praktik percaloan untuk membantu meloloskan seseorang saat tes PNS sebagai hal lumrah.
“Saya pikir di kepolisian [praktik seperti itu] juga ada,” klaimnya.
Ia sempat meminta Floresa tidak memberitakan kasus ini, beralasan “takut nama tercemar.”
Ia juga mengklaim hanya bertanggung jawab terhadap Tadeus dan tidak mengenal korban lainnya.
“Selain Tadeus, bukan urusan saya,” katanya.
Pengakuannya berseberangan dengan fakta saat Fidelis mencoba menghubunginya pada 12 Juni.
Berbicara via telepon yang disaksikan Floresa di rumah Fidelis, Irwahidah tak banyak berbicara, namun kembali berjanji bahwa “akhir bulan ini uangnya akan dikembalikan.”
“Insya Allah bulan ini dikembalikan, Pak,” jawab Irwahidah singkat.
Fidelis memberi tahu Floresa pada 20 Juni bahwa Irwahidah sudah meneleponnya, menjanjikan pengembalian uangnya ditunda ke 4 Juli.
“Ia meminta saya untuk menghubunginya pada 3 Juli. Saya berharap itu akan ditepati karena saya sudah kenyang dengan janji-janji,” katanya.
Editor: Anastasia Ika