Floresa.co – Aksi unjuk rasa yang melibatkan sejumlah elemen sipil mewarnai sidang lanjutan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] di Sikka dengan terdakwa salah satu anggota DPRD yang dilantik bulan lalu.
Kelompok aktivis yang terdiri dari para biarawan dan biarawati Katolik serta mahasiswa yang bergabung dalam Jarian HAM Sikka itu menuntut agar Yuvinus Solo atau Joker “segera diseret ke penjara.”
Dalam aksi pada 24 September itu di depan gedung Pengadilan Negeri Maumere, mereka membentangkan beberapa poster bertuliskan desakan dan kritikan terhadap penegak hukum.
Beberapa di antaranya bertuliskan “Adili Joker dengan Pasal TPPO” “Manusia Bukan Kambing,” “Penegak Hukum itu Aparat Negara, bukan Keparat Negara,” Polisi Tidur, Keadilan Jangan” dan “DPR, Dewan Perdagangan Rakyat.”
“Hari ini kami datang untuk memastikan bahwa para penegak hukum, khususnya para penegak hukum di Kabupaten Sikka ini tidak terkooptasi dengan para penjahat kemanusiaan, sehingga mereka bisa menegakkan keadilan secara objektif,” kata Frater Sian, SVD dari Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero.
Sementara Heni Hungan, koordinator aksi yang juga bekerja pada Tim Relawan Kemanusiaan Flores [TRUK-F] berkata, mereka sedang memberi peringatan kepada kepada penegak hukum agar “penanganan kasus ini berjalan dengan adil.”
Ia menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses hukum kasus ini, termasuk soal Joker yang tidak ditahan usai menjadi tersangka pada Mei, hingga melenggang ke kursi DPRD Sikka pada 26 Agustus.
“Apakah ada kongkalikong antara aparat penegak hukum?” katanya.
“Bagaimana mungkin polisi mengatakan dia sakit, sedangkan dia bisa dilantik, bisa ikut sidang dan bisa kesana kemari,” kata Heni.
Joker, anggota DPRD dari Partai Demokrat, dilaporkan merekrut 72 warga Sikka ke Kalimantan Timur pada Maret, tanpa mengikuti prosedur legal. Mereka juga ditelantarkan.
Yodimus Moan Kaka atau Jodi, warga Likot, Desa Hoder, Kecamatan Waigete yang termasuk dalam rombongan itu kemudian meninggal pada 28 Maret setelah sakit karena kelaparan.
Kasus ini dilaporkan ke Polres Sikka oleh istri Jodi, Maria Herlina Mbani pada awal April.
Joker kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei. Namun, polisi tidak menahannya, mengklaim ia sakit.
Frater Sian mewanti-wanti dalam aksi itu agar penegak hukum menyelesaikan perkara ini dengan hati nurani serta menghadirkan keadilan di Sikka.
Ia meminta mereka “tidak membiarkan penjahat menggadaikan keadilan dengan cara apapun, termasuk dengan uang.”
“Menggadaikan keadilan dengan uang hanya memperpanjang usia kejahatan kemanusiaan di negeri ini,” katanya.
Jalannya Sidang
Pantauan Floresa, sidang kedua ini dimulai pukul 09.30 Wita, yang menghadirkan para korban dan saksi.
Mereka memberikan keterangan dan menjawab sejumlah pertanyaan hakim dan pengacara terdakwa terkait proses perekrutan hingga penelantaran.
Petrus Arifin yang menjadi saksi kunci lantang menjawab setiap pertanyaan.
Namun empat korban lainnya, Maria Herlina Mbani, istri almarhum Yodimus Moan Kaka, Engkis Kurniawan, Hendra dan Andi cukup terbata-bata.
Bahkan, dalam beberapa kesempatan mereka tidak bisa menjawab hakim maupun pengacara.
Suster Fransiska Imakulata, SSpS, koordinator TRUK-F berkata, Maria Herlina Mbani memang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik.
“Dia juga tidak begitu memahami percakapan dalam bahasa Indonesia,” katanya.
“Sementara Hendra bermasalah dengan pendengaran sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan. Kalau Engkis dan Andi mungkin gugup dan kurang memahami bahasa Indonesia, jadi agak terkendala,” tambahnya.
Meski demikian, katanya, “kami tetap bersyukur,” karena “dalam keadaan sulit dan terbatas, kami bisa melewati hari ini dengan baik.”
“Semoga hasilnya tidak mengecewakan,” kata biarawati itu.
Sementara itu, Joker membantah keterlibatannya dalam perekrutan para korban. Ia menyebut dua nama, Vilius dan Senut, yang merekrut mereka. Ia juga mengklaim tidak mengenal korban.
“Saya tidak mengenal mereka dan mereka tidak termasuk dalam rombongan yang pergi ke Kalimantan pada Maret lalu,” kata Yuvinus.
Klaim Yuvinus berbeda dengan kesaksian para korba, seperti Petrus Arifin yang sebelumnya mengaku direkrut Joker.
Isteri Jodi juga mengaku berulang kali didekati Joker agar menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan usai ia ditetapkan sebagai tersangka.
Dugaan Upaya Hindari Pasal TPPO
Suster Fransiska menyoroti proses sidang yang diduga berusaha mengarahkan kasus ini pada soal pelanggaran terhadap aturan ketenagakerjaan.
Ia menyatakan, unsur-unsur TPPO memang sudah terungkap, namun upaya jaksa dalam persidangan untuk untuk mempertajam dakwaan itu “tidak kelihatan.”
Ia juga menyinggung pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak menggunakan istilah tenaga kerja.
Beruntung, kata dia, “korban tetap menjawab bahwa mereka direkrut, dijanjikan dan ditelantarkan.”
Ia hanya berharap penegak hukum “menilai semua fakta persidangan dengan baik sesuai dengan undang-undang yang berlaku.”
Heni Hungan juga menyoroti hal serupa, bahwa “pengacara [terdakwa] lebih banyak bertanya seputar kontrak kerja dan situasi kerja.”
Bahkan, dalam dakwaan “lebih banyak pasal-pasal mengenai ketenagakerjaan yang muncul.”
Selain itu, Heni juga mempersoalkan Berita Acara Pemeriksaan yang hingga hari ini belum diterima pihaknya.
Ia menduga, jangan sampai pihak yang diduga terlibat, seperti istri Joker yang membantu keberangkatan para korban dari Maumere ke Kalimantan Timur, pihak perusahaan perekrut, Yanto – orang yang menyambut korban di Kalimantan, dan dua perekrut lainnya – Vilius dan Senut – tidak dihadirkan dalam persidangan.
“Apalagi Senut dan Vilius hingga hari ini tidak tahu keberadaannya,” katanya.
Sementara itu, Frater Sian berharap saksi-saksi yang diminta keterangan dalam persidangan tidak ditekan atau diancam secara psikologis.
“Biarkan mereka memberikan keterangan sesuai yang mereka alami. Biarkan mereka bicara dengan bebas, tanpa tekanan,” katanya.
Ia mengingatkan agar keadilan tidak digadaikan sehingga Joker lolos dari kasus ini.
“Mari kita putuskan rantai kejahatan dengan menangkap dan mengadili para pelaku TPPO,” katanya.
Editor: Ryan Dagur