Anggota DPRD Sikka Tersangka Kasus Perdagangan Orang Dilantik, Aktivis HAM dan Korban Unjuk Rasa, Ungkap Kegeraman terhadap Penegak Hukum

Mereka mengkritisi penegak hukum yang lamban memproses Yuvinus Solo atau Joker

Floresa.co – Para aktivis kemanusiaan di Kabupaten Sikka, NTT menggelar unjuk rasa untuk mengecam pelantikan salah satu anggota DPRD tersangka kasus perdagangan orang.

Aksi pada 26 Agustus itu memprotes pelantikan Yuvinus Solo atau Joker, anggota DPRD dari Partai Demokrat yang menjadi tersangka kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] sejak Mei lalu.

Pantauan Floresa, para aktivis, termasuk pastor dan biarawati Katolik membawa sejumlah poster dan berorasi di depan gedung DPRD.

Mereka mengecam penegak hukum, baik Polres Sikka maupun Kejaksaan Negeri Maumere, yang tidak kunjung menindaklanjuti kasus Joker, membuatnya melenggang ke kursi dewan.

“Hari ini kami berada di depan kantor DPRD Sikka, ingin memberitahu Bapak Kapolres Sikka dan Kejari Sikka bahwa mereka turut merestui seorang penjahat TPPO dilantik menjadi anggota DPRD,” kata Pater Vande Raring, SVD dalam orasinya.

“Kedatangan kami mungkin tidak berdampak bagi Kapolres dan Kejari Sikka, namun di tangan mereka, banyak yang menjadi korban,” tambahnya.

Ia menyatakan, dalam kasus ini, ada pihak yang “telah melacurkan diri dengan menghambat dan memperlambat proses penemuan keadilan bagi para korban.” 

“Kenapa sampai Yuvinus Solo tidak ditahan? Kami sudah berjuang secara maksimal mendukung dan menolong mereka [penegak hukum] untuk menyediakan barang bukti, mendatangkan saksi-saksi,” katanya.

Pater Vande Raring, SVD dari Jaringan HAM Sikka sedang berorasi menuntut DPRD terpilih Yuvinus Solo tersangka kasus TPPO agar segera ditahan (Maria Margaretha Holo)

“Penjangkauan korban pun telah kita lakukan untuk membantu polisi, tetapi kok sampai tidak ditahan,” katanya.

Pernyataan Vande merujuk pada upaya Tim Relawan Kemanusiaan untuk Flores [RUK-F] dan elemen lainnya di Sikka yang membantu memulangkan sejumlah korban Yuvinus dari Kalimantan agar mereka bisa memberi kesaksian selama proses penanganan kasus ini.

Sementara Suster Fransiska Imakulata, SSpS, Ketua TRUK-F berkata, “sekali lagi saya katakan, TPPO itu kejahatan luar biasa.”

“Tidak ada toleransi bagi siapapun yang melakukan kejahatan ini. Mau dia orang yang memiliki uang atau tidak, dia harus tetap mengikuti proses hukum,” katanya.

Melihat Joker yang akhirnya dilantik, katanya “ini rasanya tidak adil, terjadi pembiaran dan ada konspirasi antara polisi, jaksa dan pemerintah daerah.”

“Sejak awal kasus ini, pemerintah daerah tahu. Namun, hingga saat ini tidak ada satu suara pun yang berpihak pada rakyat yang seharusnya mereka lindungi dan mereka perjuangkan hak-haknya,” katanya.

Ia berkata, seharusnya “tidak ada tebang pilih dalam proses hukum.”

“Jika proses hukum tebang pilih, maka wajarlah rakyat menduga-duga, ada apa di balik itu,” katanya.

Ia juga mempertanyakan langkah Polres Sikka, yang tidak sejalan dengan komitmen Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk menindak tegas kasus TPPO.

“Dia [Kapolri] berikan atensi yang sangat tinggi, tetapi kita di daerah itu sangat lambat dan juga ada tawar-menawar,” katanya.

“Aparat ini mengerti sekali dengan pelaku, tetapi apakah mereka juga mengerti terhadap keadaan korban,” tambahnya.

Sementara itu Heni Hungan, yang juga dari TRUK-F “meminta Kapolri turun dan periksa oknum-oknum aparat yang terlibat dalam seluruh proses ini.”

“Mulai dari Kapolres Sikka sampai ke Reskrimnya,” katanya.

Ia mempertanyakan alasan polisi tidak menahan Joker karena dia sakit.

“Kita bisa membuktikan bahwa dia gagah sekali tadi masuk ke dalam gedung DPRD. Berarti kami ditipu oleh Kapolres, ditipu oleh pihak kejaksaan dan semua orang-orang yang terlibat dalam penanganan kasus ini,” katanya.

Yuvinus Solo atau Joker tersangka TPPO yang dilantik menjadi anggota DPRD Kabupaten Sikka, Senin, 26 Agustus 2024 (Foto : Maria Margaretha Holo/ Floresa)

Ia mengkritisi Kapolres Sikka yang layak dicopot dari jabatannya “karena tidak tuntas dalam menangani kasus ini.”

“Dia tidak layak menjadi Kapolres Sikka dengan kasus TPPO yang setiap tahun meningkat,” katanya.

Ia berkata, dilantiknya tersangka kasus TPPO menunjukkan bahwa Kapolres tidak mampu menangani masalah ini. 

“Setiap kali kami bertanya sejauh mana proses hukum, mereka menjawab, proses hukum sedang berjalan. Apakah memang berjalan atau terjadi pembiaran terhadap pelaku ini? Sangat tidak masuk akal,” katanya.

Joker dilaporkan mengirim puluhan warga Sikka ke Kalimantan pada 13 Maret 2024, tanpa mengikuti prosedur legal.

Salah satunya adalah Yodimus Moan Kaka alias Jodi, warga Likot, Desa Hoder, Kecamatan Waigete yang kemudian meninggal karena kelaparan.

Selama di Kalimantan, Jodi bersama delapan pekerja lainnya ditelantarkan, sebagaimana pengakuan korban yang kemudian dipulangkan ke Sikka.

Mereka hanya diberi makan pada hari-hari pertama, selanjutnya diberi nasi basi sampai akhirnya tidak diberi makan sama sekali.

Jodi meninggal pada 28 Maret di atas mobil saat ditemani anaknya hendak berobat dan membeli tiket untuk kembali ke Maumere. Karena ketiadaan biaya untuk membawa jenazahnya ke Maumere, keluarga bersepakat menguburkannya di Kalimantan sehari setelahnya.

Pada awal April, isteri Jodi, Meri Herlina Mbani, melapor Joker ke Polres Sikka. Pada 17 Mei, Polres Sikka menetapkannya sebagai tersangka.

Joker, mantan Kepala Desa Hebing periode 2020-2023 itu, dijerat dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO juncto pasal 55 ayat 1 KUHP atau pasal 186 ayat 1 UU TPPO  juncto pasal 35 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.

Pasal 2 ayat 1 UU TPPO mengatur antara lain perekrutan seseorang dengan pemalsuan, penipuan untuk tujuan eksploitasi di wilayah negara Indonesia. Ancaman hukumannya antara 3-15 tahun dan denda antara Rp120.000.000 – Rp600.000.000.

Sementara pasal 35 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur ketentuan kewajiban memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.

Pasal 55 ayat 1 KUHP berbicara soal mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, penyesatan.

Menurut KUHAP, tersangka dengan ancaman hukuman penjara lebih dari lima tahun seharusnya ditahan. Namun, polisi tidak menahan Joker karena alasan kesehatannya.

Aktivis HAM di Sikka berulangkali mempertanyakan alasan polisi, karena Joker aktif mendekati istri Jodi agar mencabut laporan dan meminta kasus ini diselesaikan dengan mekanisme kekeluargaan. 

Namun, polisi tetap membiarkannya bebas hingga dilantik hari ini.

Polres Sikka telah menyerahkan berkas kasus ini ke kejaksaan pada 13 Juni, namun dikembalikan untuk dilengkapi. Kepala Seksi Humas Polres Sikka, AKP Susanto berkata kepada Floresa pada 21 Agustus, penyidik sudah melengkapi berkas sesuai petunjuk jaksa dan sudah mengirimnya kembali.

Pastor Otto Gusti Madung, SVD, Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero berkata, lambannya proses hukum kasus ini dan tidak adanya penahanan terhadap Joker menunjukkan “ketidakberpihakan penegak hukum kepada korban.”

“Padahal, gaji para penegak hukum diambil dari uang pajak rakyat agar mereka bekerja untuk menegakkan keadilan,” katanya.

“Yang terjadi justru sebaliknya. Penegak hukum memakai hukum untuk membela kepentingan penguasa yang melanggar hukum,” tambahnya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA