Floresa.co – Mahasiswa dan akademisi pada tiga kampus di Kupang, ibukota NTT terlibat dalam dialog bersama warga dan jurnalis terkait proyek geotermal di Poco Leok, bersamaan dengan roadshow sebuah film dokumenter tentang proyek tersebut.
Rangkaian acara itu digelar di Universitas Muhammadiyah, Universitas Katolik Widya Mandira dan Universitas Nusa Cendana, masing-masing pada 18, 19, dan 21 Oktober.
Sebelum diskusi, mahasiswa dan para dosen menonton film dokumenter Sacrifice Geothermal? yang diproduksi oleh kolektif Rumah Baca Aksara – kelompok gerakan kaum muda berbasis di Ruteng – berkolaborasi dengan Kawan Muda Poco Leok.
Film tersebut masih berupa draft dan versi finalnya belum dirilis secara luas. Namun, penayangan terbatasnya dipercepat di tiga kampus saat tiga perwakilan warga Poco Leok dan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut sedang berada di Kupang untuk melapor kekerasan aparat keamanan dalam aksi “jaga kampung” pada 2 Oktober.
Salah satu warga, Agustinus Tuju dan Herry menjadi narasumber dalam rangkaian diskusi itu, bersama dengan aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] NTT, Yuvensius Stefanus Nonga.
Berbicara dalam diskusi di Universitas Katolik Widya Mandira, Agustinus berkata, sejak disosialisasikan pada 2017 oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai dan PT PLN, warga di 10 kampung adat di Poco Leok telah terlibat dalam aksi penolakan.
Gelombang penolakan mencuat ke publik, kata dia, pasca Bupati Manggarai, Herybertus G.L Nabit menerbitkan SK Penetapan Lokasi pada 1 Desember 2022, “tanpa ada diskusi dengan warga adat.”
Hingga 2 Oktober, warga telah 26 kali melakukan “aksi jaga kampung” untuk mencegah pemerintah dan PT PLN mengidentifikasi dan mendata tanah ulayat mereka menjadi tapak pengeboran atau wellpad.
Warga, katanya, juga menghadang Nabit saat berkunjung ke Poco Leok pada 27 Februari 2023.
Selama aksi, menurut Agustinus, warga seringkali menghadapi tindakan represif dari aparat keamanan gabungan polisi, TNI, dan Pol PP yang mengawal ketat pemerintah dan PT PLN.
“Kami menolak [proyek geotermal] karena ingin menjaga nilai adat dan budaya. Kami meyakini kalau sebuah proyek besar masuk ke sebuah wilayah, maka nilai adat dan budaya di situ akan hancur,” katanya.
Apalagi, kata dia, pemerintah dan PT PLN masuk ke Poco Leok “tanpa menghargai adat dan budaya kami.”
“Mereka masuk saja di kebun, tanpa ada pemberitahuan dengan tetua adat dan warga. Nilai adat dan budaya kami sudah diinjak-injak,” katanya.
Ia menjelaskan, “kehidupan kami dibentuk oleh adat dan budaya” dengan filosofi utamanya adalah “gendang onen, lingko peang.”
Filosofi itu menggambarkan kesatuan yang utuh antara gendang [rumah adat] lingko [tanah ulayat], compang [mezbah untuk persembahan], natas [halaman], wae bate teku [mata air], dan boa [kuburan].
“Kami menolak proyek geotermal karena ingin menjaga lingkungan hidup agar tetap indah dan lestari seperti yang sudah diwariskan para leluhur,” kata Agustinus.
Sementara Herry Kabut menjelaskan, dari pantauan Floresa selama meliput aksi-aksi warga, pemerintah dan PT PLN tidak hanya datang bersama aparat, tetapi juga bersama wartawan dari sejumlah media.
Wartawan atau media-media tersebut, kata dia, umumnya menyebarkan informasi tentang geotermal dan proyek di Poco Leok “sesuai dengan kepentingan pemerintah dan PLN.”
Suara-suara warga yang menolak, jelasnya, sering tidak mendapat ruang yang memadai dalam pemberitaan media.
Padahal, mereka terus “menyatakan protes dan bertahan di lahan.”
Kondisi inilah, menurut Herry, yang mendorong Floresa memberi ruang yang luas bagi warga dalam pemberitaan, bagian dari upaya memperjuangkan demokratisasi dan pembangunan yang berkeadilan.
Hal seperti itu, katanya, tidak hanya dilakukan Floresa dalam kasus Poco Leok, tetapi juga dalam berbagai isu publik lain yang menjadi fokus perhatian, demi mendorong partisipasi yang lebih luas dalam diskursus di ruang publik, termasuk media.
“Kehadiran Floresa di Poco Leok atau dalam kasus yang lain tidak dalam rangka menolak atau menerima proyek karena keputusan tersebut ada di tangan warga,” katanya.
Floresa, kata dia, hanya bertujuan menyerap segala keresahan, kekhawatiran dan kegetiran warga.
“Kami melihat ada relasi kuasa yang timpang dalam kasus ini. Hal itulah yang menjadi dasar keberpihakan kami pada warga yang berada dalam posisi rentan,” katanya.
Pemerintah Daerah Cuci Tangan
Yuvensius Stefanus Nonga dari Walhi NTT mengatakan konflik agraria dan ancaman kerusakan lingkungan hidup kian masif di NTT sejak Presiden Joko Widodo menetapkan beberapa Proyek Strategis Nasional, termasuk geotermal.
Berbicara dalam diskusi di Universitas Nusa Cendana, ia menyoroti beberapa proyek geotermal yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan mengancam ruang hidup masyarakat adat, seperti yang terjadi di Sokoria, Kabupaten Ende dan Mataloko, Kabupaten Ngada.
Ia berkata, proyek geotermal di Mataloko menyebabkan penurunan produktivitas pertanian dan perkebunan, selain memicu munculnya lubang-lubang panas bumi di lahan bahkan hingga rumah warga.
“Fakta-fakta ini sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam membangun proyek-proyek ini,” katanya.
Yuvensius berkata, dalam situasi seperti itu, pemerintah daerah “sama sekali tidak punya taring” untuk menolak keinginan pemerintah pusat.
Pemerintah daerah sama sekali tidak punya daya untuk sekadar mengatakan “kebijakan ini tidak cocok dengan kondisi wilayah kami, tolong direvisi.”
Ia berkata, semua proyek berskala besar ini juga hampir tidak melibatkan pemerintah daerah sehingga pelaksanaan otonomi daerah tidak jelas.
Pemerintah daerah, katanya, hanya dijadikan “perpanjangan tangan” pemerintah pusat dan mereka kerap “mencuci tangan” ketika berhadapan dengan perlawanan masyarakat adat.
“Untuk apa kita bicara tentang otonomi daerah kalau semua kebijakan strategis di daerah diambil alih oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat?” katanya.
“Pemerintah daerah mestinya harus menyadari bahwa dia juga merupakan perpanjangan tangan dari masyarakat adat, perpanjangan suara-suara rakyat yang memilih mereka menjadi pemimpin di daerah,” tambah Yuven.
Apa Kata Akademisi?
Andi Irfan, dosen dari Universitas Muhammadiyah Kupang mengatakan pemerintah harus memahami bahwa kehidupan masyarakat adat di NTT terikat dengan hukum adat dan tradisi luhur yang telah dijaga secara turun temurun.
Ia berkata, “hubungan antara tanah dengan masyarakat adat berbeda dengan hubungan antara tanah dengan masyarakat urban.”
Hubungan masyarakat urban dengan tanah hanya hubungan tunggal yang hanya dilihat dari sisi ekonomi, sementara hubungan tanah dengan masyarakat adat bermakna jamak karena berkaitan dengan dimensi filosofis, sosial dan ekonomi.
Norbert Jegalus, dosen dari Universitas Katolik Widya Mandira menyoroti polisi yang “cenderung membenarkan diri setiap kali melakukan kekerasan kepada masyarakat.”
“Kita berharap pengamanan ala Orde Baru tidak terjadi di era reformasi ini,” katanya dalam diskusi di Aula Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira pada 19 Oktober.
Ia berkata “polisi atau pemerintah mengklaim langkah-langkah mereka sudah sesuai peraturan skala nasional tanpa memperhatikan hukum adat.”
Norbert mengatakan dalam hukum adat Manggarai, tanah ulayat atau lingko dengan rumah adat atau gendang itu sebagai satu kesatuan kosmologi masyarakat.
Dalam kosmologi itu, manusia adalah satu kesatuan dengan sesama manusia, satu kesatuan dengan alam atau lingkungan, tanah ulayat serta satu kesatuan dengan Tuhan [Mori Kraeng].
“Hal itulah yang seringkali tidak dihiraukan oleh pemerintah dalam mendekati masyarakat adat. Yang mereka lakukan itu ialah hukum positif, hukum nasional,” katanya.
Sementara itu, Ernestus Holivil, dosen dari Universitas Nusa Cendana Kupang menilai “proyek geotermal bukan merupakan solusi dalam mengentaskan kemiskinan ekstrem di NTT.”
Sebaliknya, kata dia, proyek geotermal hanya akan memperpanjang masalah ekologis, sosial dan kemiskinan di NTT.
Ia menduga “ada kepentingan individu atau kelompok di balik pembangunan geotermal yang mendorong pemerintah bersikeras memaksakan proyek itu untuk tetap berjalan.”
Ernestus menyebut pemerintah memakai logika developmentalism dalam pembangunan geotermal karena “hanya melihat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat” dengan dalil bahwa “kalau proyek jadi, warga Poco Leok bisa bekerja di situ.”
“Tetapi, sebetulnya bukan pekerjaan yang dipersoalkan, melainkan ruang hidup. Itu yang mereka jaga,” katanya.
“Logika ekonomi sebetulnya bukan yang diinginkan masyarakat di situ,” tetapi “sosial kultural budaya yang menjadi alasan utama sehingga masyarakat menolak proyek tersebut.”
Ernestus mengatakan pekerjaan utama mayoritas masyarakat NTT adalah bertani dan berkebun sehingga “saya tidak menemukan jawaban bahwa geotermal dapat menyelesaikan kemiskinan.”
Jika proyek geotermal dipaksakan, kata dia, petani akan kehilangan pekerjaannya karena “mereka tidak bisa berkebun atau bercocok tanam lagi akibat kehilangan akses atas lahan.”
“Mereka akan beralih ke profesi yang lain karena lahannya diambil. Ketika itu terjadi, maka secara otomatis mereka menjadi masyarakat yang miskin karena mereka tidak lagi bisa bekerja,” katanya.
“Logika seperti ini yang tidak pernah dipakai oleh pemerintah dalam proyek ini. Proyek geotermal justru membawa petaka bagi masyarakat,” tambahnya.
Ernestus juga mengatakan dari perspektif kebijakan publik, “proyek ini tidak layak untuk diimplementasikan karena sudah berkali-kali mendapatkan penolakan dari warga Poco Leok, aktivis dan mahasiswa.”
Bagian dari Proyek Strategis Nasional
Proyek geotermal Poco Leok merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional, perluasan PLTP Ulumbu yang telah beroperasi sejak 2011. PLTP Ulumbu berada sekitar tiga kilometer arah barat Poco Leok.
Proyek PLTP Ulumbu Unit 5-6 tersebut, yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030 menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Berbagai cara telah dilakukan warga dari belasan kampung adat di Poco Leok untuk menyatakan penolakan, termasuk menyurati Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] dari Jerman yang mendanai proyek tersebut.
Pada 3 September, dua orang anggota tim independen yang dibentuk Bank KfW mengunjungi Poco Leok dan beraudiensi dengan warga.
Pada 2 Oktober, terjadi aksi represif di Poco Leok, berujung penganiayaan terhadap warga dan Herry, membuat mereka melaporkan kasus ini ke Polda NTT di Kupang.
Mereka melaporkan dugaan pelanggaran etik dan kekerasan oleh anggota Polres Manggarai.
Herry yang sedang meliput aksi protes warga dianiaya aparat, ponselnya ikut dirampas dan dicek isinya oleh polisi.
TJ, seorang wartawan yang ikut dalam mobil polisi saat kembali dari Poco Leok juga ikut menganiaya Herry. TJ telah ikut dilaporkan ke Polda NTT.
Saat penganiayaan, menurut pengakuan warga, aparat melarang dan mengejar mereka yang berusaha mendokumentasikannya.
Laporan Herry diajukan pada 11 Oktober, baik untuk tindak pidana umum di bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu maupun etik di Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam].
Sedangkan laporan warga Poco Leok diajukan pada 11 Oktober untuk etik dan 14 Oktober terkait tindak pidana umum.
Penyidik dari Propam sudah memeriksa para saksi dan aparat di Polres Manggarai pada 24-25 Oktober, sementara penyidik untuk laporan pidana berencana ke Manggarai pada pekan depan.
Dikonfirmasi Floresa soal responnya terhadap langkah Herry dan warga melapor kasus ini ke Polda NTT, Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh menolak berkomentar.
“Kita tunggu hasil tim yang turun berdasarkan laporan yang sudah dibuat,” katanya.
Edwin sempat menggelar konferensi pers pada 5 Oktober, membantah anggotanya melakukan kekerasan terhadap warga dan jurnalis.
Sebaliknya, ia menyebut anggotanya bertindak sesuai SOP pengamanan di lokasi proyek.
Edwin juga mengklaim institusinya melakukan pengamanan terhadap masyarakat yang dinilai melakukan provokasi.
Dalam pernyataan pada 7 Oktober merespons Edwin, Floresa menilai pengakuan Edwin bahwa tindakan pengamanan sudah sesuai SOP menunjukkan tanggung jawab dan garis komando dalam seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di Poco Leok.
Selain itu, Floresa memandang keseluruhan pernyataan Kapolres menunjukkan institusinya tidak saja menyangkal kebenaran di lapangan, tetapi juga sedang berusaha mengkriminalisasi korban.
Boni Jehadin di Kupang berkontribusi dalam penulisan laporan ini
Editor: Ryan Dagur