Floresa.co – Seorang mahasiswi di Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng, Kabupaten Manggarai meninggal di kosnya pada 19 November.
Polisi sedang mengusut pemicu kematian perempuan berusia 21 tahun itu. Namun, dugaan mencuat ia meninggal karena bunuh diri.
Mahasiswi semester tujuh pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar [PGSD] itu ditemukan meninggal pada 19 November pagi di kosnya di Gang Pustu Tenda Ruteng.
Jenazahnya kemudian dibawa ke RSUD Ruteng untuk visum.
Pantauan Floresa, sejumlah dosen dan rekannya sesama mahasiswa ikut berkumpul di RSUD itu, hingga jenazah dibawa ke kampungnya di Kecamatan Pacar, Kabupaten Manggarai Barat.
Kesaksian Rekan Kos
Akstrin Ekalauri Jemarut, mahasiswi yang kamarnya dekat dengan kos mahasiswi itu berkata, ia mengetahui rekannya meninggal setelah “kami mencium bau dan ada banyak lalat besar di depan pintunya.”
Ia pun langsung memanggil teman-teman lainnya di kos itu.
Mereka lalu mengetuk pintu kos pada pukul 09.30 Wita dan “tidak ada yang respons dari dalam.”
Karena mencurigai rekannya meninggal, mereka memberitahu ke tetangga yang kebetulan seorang polisi.
Polisi itu kemudian menghubungi rekan-rekannya di Polres Manggarai untuk mengevakuasi mahasiswi itu.
Akstrin mengaku terakhir kali melihat rekannya itu pada 15 November, saat ke kamarnya.
“Setelah dia buka pintu kamarnya, saya lihat dia baru saja menangis. Saya juga tidak tahu masalahnya apa dan saya tidak tanya,” katanya kepada Floresa.
Ia mengaku tidak terlalu tahu soal aktivitas rekannya, karena jarang berkomunikasi dengannya dan rekan lain di kos dengan penghuni 18 orang itu.
“Kamarnya dekat gerbang [kos]. Setiap sore kami sering kumpul,” katanya.
Namun “dia tidak pernah ikut bergabung, meskipun kami ada acara di kos, misalnya acara ulang tahun.”
Sementara itu, Oktavianus Sumardi, anggota Himpunan Mahasiswa Pacar Ruteng berkata, mahasiswi itu juga bergabung di organisasi tersebut.
Namun, dia jarang ikut kegiatan. “Kalau tidak salah hanya satu kali, pas ada kegiatan asistensi,” katanya.
Dugaan Bunuh Diri
Kasat Reskrim Polres Manggarai, Iptu Robbyanli Dewa Putra, berkata, pihaknya sedang mendalami kasus ini untuk mengungkap penyebab pasti kematian mahasiswi itu.
Sementara itu, dugaan bahwa mahasiswi itu bunuh diri mencuat dan ramai dibicarakan di media sosial dan aplikasi percakapan virtual.
Sebuah rekaman suara sempat beredar pada 19 November pagi.
Dalam rekaman itu yang diperoleh Floresa, terdengar suara seorang perempuan sedang menangis dan mengaku hamil, sembari meminta tanggung jawab pasangannya.
Polisi belum berkomentar soal rekaman itu, apakah milik mahasiswi itu.
Akstrin mengaku ikut mendapat rekaman suara itu.
Namun, katanya, ia bersama rekan-rekan di kos “yakin itu bukan suara mahasiswi itu.”
“Bukan berarti karena kami membela dia, karena memang itu bukan suaranya,” katanya.
“Kami tidak tahu siapa yang bagikan itu rekaman pertama kali,” tambahnya.
Ketua Program Studi PGSD Unika St. Paulus Ruteng, Alfonsus Sam berkata, “kami merasa sedih” dengan peristiwa ini.
Soal dugaan pemicunya karena bunuh diri, katanya, “kami turut prihatin.”
“Model pengambilan keputusan sepintas seperti ini sangat kita tidak harapkan,” katanya.
Tren Kasus Kasus Bunuh Diri yang Meningkat
Kasus ini terjadi di tengah tren kasus bunuh diri di Manggarai Raya – sebutan bagi kesatuan wilayah Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur – yang terus mencatat peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Memang, tidak ada data pasti yang merekam keseluruhan kasus setiap tahun.
Namun, merujuk pada data Badan Pusat Statistik [BPS] pada 2021, atau tahun terakhir publikasinya, terdapat kasus bunuh diri di 11 desa di Kabupaten Manggarai Timur, lima desa di Manggarai dan tiga desa di Manggarai Barat.
BPS hanya merilis banyaknya desa per kabupaten menurut keberadaan orang yang meninggal karena bunuh diri, bukan jumlah kejadiannya.
Di Kabupaten Manggarai, dari data yang dihimpun Floresa, tercatat 11 kasus pada 2018, naik menjadi 26 kasus pada 2019.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan di Manggarai terjadi pada 17 Februari 2023, ketika seorang imam Katolik, kepala sekolah salah satu SMA yang juga pernah mengajar di Unika St. Paulus Ruteng, meninggal karena bunuh diri.
Sementara Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Manggarai Timur mencatat 31 kasus pada 2020-2022, dengan kecenderungan meningkat per tahun.
Peristiwa seperti ini terus menjadi perhatian pelbagai komunitas, tak hanya pada tingkat lokal, melainkan juga nasional dan global.
Di Indonesia, meski dibandingkan dengan negara Asia lain prevalensi kasusnya terbilang rendah, yaitu 3,7 per 100.000 penduduk, namun dengan jumlah total penduduk 270 juta, berarti ada lebih dari 10 ribu orang yang bunuh diri setiap tahun.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (World Heath Organization, WHO) mencatat hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun atau satu orang setiap 40 detik.
Dalam laporannya, WHO menemukan indikasi bahwa untuk setiap orang yang meninggal karena bunuh diri, kemungkinan ada lebih dari 20 orang lain yang melakukan upaya percobaan serupa.
WHO juga mencatat bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019.
Bersama rekan-rekannya, Angelina Roida Eka, perawat spesialis jiwa dan dosen keperawatan jiwa pada Program Studi Keperawatan Unika St. Paulus Ruteng pernah melakukan riset soal kejadian bunuh diri Manggarai.
Dalam salah satu tulisannya yang dipublikasi Floresa pada Juli tahun ini, ia menyatakan, dari hasil penelitian itu, “kami menemukan dua orang atau 2,1% dari total responden memiliki dorongan untuk bunuh diri, sedangkan faktor yang paling memengaruhinya adalah depresi.”
“Penelitian kami juga menemukan seseorang yang mengalami depresi kemungkinan 4,1 kali lebih kuat terdorong untuk bunuh diri.”
Bagaimana Mencegahnya?
Menurut Angelina, bunuh diri erat kaitannya dengan kesehatan jiwa, yang ditopang oleh tiga pilar utama yaitu perasaan, pikiran, dan perilaku.
“Ketiganya terhubung satu sama lain. Lantas, upaya paling utama yang dapat kita usahakan untuk mencegah depresi adalah merawat perasaan, pikiran dan perilaku,” tulisnya.
Selain itu, jelasnya, adalah menjaga perasaan dengan membangun pola hidup yang sehat seperti menghargai diri, menetapkan batasan, membangun kehidupan spiritualitas yang baik, manajemen keuangan dengan baik serta menjaga kesehatan fisik.
Soal menghargai diri, kata dia, “kadang kita kurang memperhatikan diri sendiri dan hanya fokus pada orang lain.”
Padahal, “penting untuk mengelola kesalahan atau pengalaman kegagalan sebagai bahan pembelajaran dalam hidup.”
Kepala Program Studi PGSD Unika St. Paulus Ruteng, Alfonsus Sam berkata, kampusnya telah berupaya memberi perhatian pada masalah ini lewat pendidikan moral, spiritualitas yang mengingatkan bahwa setiap manusia bermartabat.
Selain itu, katanya, dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, seperti rekoleksi, retret dan sharing pengalaman, tema-tema tentang menghargai kehidupan juga dibicarakan.
Editor: Anastasia Ika