Floresa.co – Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia [Kabar Bumi], organisasi yang fokus pada advokasi dan pendampingan kasus pekerja migran mendesak pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengambil langkah konkret dalam perlindungan perempuan buruh migran, bagian dari tuntutan dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan [16HAKTP] tahun ini.
Dalam pernyataan pers yang diterima Floresa, organisasi tersebut menyoroti masih adanya tindak kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan buruh migran, menyebutnya sebagai “kenyataan pahit ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia.”
Kekerasan dan pelecehan, kata organisasi itu, terjadi bahkan sebelum perempuan memutuskan menjadi buruh migran, yakni “situasi kekerasan yang dialaminya di keluarga, entah sebagai istri atau anak perempuan.”
“Bagi jutaan perempuan buruh migran keputusan bekerja di luar negeri dibayangi oleh keterpaksaan, lantaran kesempatan dan lapangan kerja yang terbatas di tanah air.”
Jumlah penempatan Pekerja Migran Indonesia pada Oktober 2024 adalah 22.566 orang, meningkat dari 21.968 pada Oktober tahun lalu, menurut data terbaru Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP2MI].
Dari jumlah tersebut, yang didominasi pekerja rumah tangga dan pengasuh atau babysitter, 84,1 persen berada di lima negara, yakni Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Jepang dan Singapura.
Bentuk-bentuk Kekerasan
Kabar Bumi menyebut beberapa bentuk kekerasan berbasis gender yang dihadapi perempuan pekerja migran, seperti kekerasan seksual di tempat kerja dan di komunitas asal buruh migran, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berbasis gender online [KBGO] dan penelantaran ekonomi.
Kekerasan berbasis gender tersebut “sering tersembunyi di tengah lapis-lapis persoalan pelanggaran hak ketenagakerjaan.”
Organisasi tersebut mengatakan dalam penanganan terhadap kasus-kasus pelanggaran hak ketenagakerjaan, misalnya penarikan biaya berlebih untuk penempatan [overcharging], penahanan dokumen dan pelanggaran kontrak kerja ditemukan pelecehan dan kekerasan berbasis gender terhadap korban.
“Praktik overcharging sejatinya melanggar prinsip murah yang diamanahkan Penjelasan Umum UU PPTKILN,” kata Karsiwen, Ketua Pusat Kabar Bumi, merujuk UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Ia berkata “pelanggaran atas prinsip pelayanan penempatan berbiaya murah justru memicu penempatan BMI ilegal yang berdampak minimnya perlindungan bagi BMI yang bersangkutan.”
Sementara itu, kata dia, banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual juga terjadi “dalam masa persiapan migrasi, tetapi tidak dilaporkan dan dianggap lumrah karena korban takut keberangkatannya bekerja dihambat oleh pelaku.”
Salah satu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang disoroti khusus oleh organisasi tersebut adalah praktik pemaksaan kontrasepsi yang hingga hari ini masih terjadi di kalangan perempuan buruh migran.
“Praktik pemaksaan kontrasepsi melalui suntik KB yang disyaratkan untuk bisa bekerja ke luar negeri dan cuti, dilakukan tanpa persetujuan dan tanpa pandang bulu, baik bagi perempuan buruh migran yang sudah menikah atau belum menikah, dan berbagai usia.”
Organisasi itu menyebut “tindakan tersebut merupakan bentuk tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UU TPKS].”
Karena itu, organisasi tersebut menuntut penghentian praktik penahanan dokumen, termasuk overcharging, dan mendesak agar para buruh bebas menentukan kontrak kerjanya secara mandiri.
Organisasi itu juga menuntut penghentian praktik “pemaksaan kontrasepsi dalam bentuk kewajiban suntik KB bagi perempuan buruh migran.”
Poin lainnya adalah sosialisasi UU TPKS kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia [P3MI], termasuk penindakan tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar atau melakukan kekerasan berbasis gender.
“Tidak cukup hanya dengan memiliki undang-undang, kami perlu memastikan bahwa perusahaan penempatan memahami dan menaati aturan ini. Pengawasan ketat dan tindakan hukum harus dilakukan terhadap pelanggar,” kata Karsiwen.
Ratifikasi Konvensi ILO dan Sahkan RUU Pelindungan PRT
Tuntutan lainnya dari Kabar Bumi adalah ratifikasi dua konvensi dari Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labor Organization [ILO], yakni Konvensi 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dan Konvensi 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.
Karsiwen berkata “ratifikasi konvensi ini sangat mendesak karena Konvensi 190 memberikan kerangka perlindungan terhadap kekerasan di tempat kerja, sementara Konvensi 189 memastikan hak-hak pekerja rumah tangga.”
Kedua dokumen tersebut, lanjutnya, memberikan hak dan kewajiban yang detail bagi setiap pihak yang terlibat dalam tripartit, yakni buruh, pengusaha, dan pemerintah dalam rangka menghapus kekerasan dan pelecehan berbasis gender.
“Misalnya, pengusaha diminta untuk memberikan cuti untuk pekerjanya, tempat aman, pendampingan dan advokasi,” katanya.
Selain dua konvensi internasional itu, Kabar Bumi juga menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga.
Karsiwen berkata “RUU ini sudah terlalu lama tertunda, padahal, perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, yang mayoritas adalah perempuan, sangat krusial untuk memastikan hak-hak mereka dihormati.”
RUU tersebut, yang sudah diajukan sejak 2004 mandek dibahas di DPR RI kendati pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisir Masalah [DIM] RUU PPRT pada Mei 2023.
Menurut pengusul RUU tersebut pada 2004, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga [JALA PRT], terdapat 3.308 kasus kekerasan menimpa pekerja rumah tangga sepanjang 2021 sampai Februari 2024.
Karsiwen berharap momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini “menjadi titik awal yang lebih kuat dalam memperjuangkan hak-hak buruh migran perempuan dan mencegah kekerasan dalam segala bentuk.”
16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence adalah sebuah kampanye internasional yang digalakkan sejak 1991 oleh Women’s Global Leadership Institute yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership, bagian dari UN Woman, lembaga PBB yang fokus pada advokasi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Tujuannya adalah “meningkatkan kesadaran publik tentang bentuk-bentuk kekerasan ini dan mengajak masyarakat untuk aktif terlibat dalam mencegah dan menghapus kekerasan terhadap perempuan”, menurut Komnas Perempuan.
Kampanye 16 HAKTP ini berlangsung tahunan, mulai tanggal 25 November, yaitu Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga Hari Hak Asasi Manusia tanggal 10 Desember.
Di antara dua peringatan itu, yang “dihubungkan secara simbolik” atas dasar kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran HAM, terdapat tujuh hari peringatan lainnya, yakni Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia pada 29 November, Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember dan Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan pada 2 Desember.
Peringatan lainnya adalah Hari Internasional bagi Penyandang Disabilitas pada 3 Desember, Hari Internasional bagi Sukarelawan pada 5 Desember, Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan pada 6 Desember dan Hari Pembela HAM Sedunia pada 9 Desember.
Editor: Anno Susabun