Respons Proses Hukum oleh Pemkab Manggarai, Warga Poco Leok Luncurkan Aksi Pengumpulan Koin untuk Perbaik Pagar Kantor Bupati

“Dengan mengumpulkan donasi ini, kami menyatakan perlawanan terhadap cara-cara pemerintah di Kabupaten Manggarai yang menggunakan kekuasaannya untuk terus menekan kami, termasuk upaya pembungkaman melalui proses hukum,” kata warga

Floresa.co – Warga Poco Leok meluncurkan kampanye pengumpulan dana untuk memperbaiki pagar kantor Bupati Manggarai yang rusak saat unjuk rasa awal bulan ini, merespons proses hukum oleh Polres Manggarai terhadap beberapa pemuda koordinator aksi

Pagar itu rusak buntut dari aksi saling dorong antara pihak keamanan dan massa pada tanggal 3 Maret saat mereka menuntut Bupati Herybertus G.L Nabit mencabut Surat Keputusan Penetapan Lokasi [SK Penlok] proyek geotermal.

Dalam pernyataan yang diperoleh Floresa pada 19 Maret, warga menyatakan, usai unjuk rasa itu mereka kembali ke kampung masing-masing dan melakukan pertemuan untuk evaluasi. 

Setelahnya, mereka mendengar kabar dari sejumlah media bahwa Nabit melaporkan pengrusakan pagar ke Polres Manggarai.

Merespons informasi tersebut, warga yang berasal dari 10 kampung adat menggelar rapat pada 9 Maret.

Dalam pertemuan itu, mereka mencetuskan ide penggalangan uang receh di masing-masing kampung di Poco Leok untuk menggantikan sekaligus memperbaiki pagar kantor bupati.

Maria Teme, ibu dari Gendang Lungar yang ikut dalam aksi unjuk rasa berkata, peristiwa yang memicu kerusakan pagar itu tentu di luar kendali karena tujuan paling utama warga adalah menuntut pencabutan SK Penlok.  

“Anak-anak kami tidak punya niat untuk merobohkan pagar bupati. Mereka pergi aksi bukan untuk itu. Mereka hanya mau sampaikan keberatan soal SK yang bupati keluarkan tanpa minta persetujuan masyarakat Poco Leok. Itu saja,” katanya.

Senada dengan itu, Akateus Akur, tetua adat di Gendang Mucu berkata, “karena pemerintah menuding bahwa yang melakukan pengrusakan adalah anak-anak kami, maka selayaknya juga sebagai warga masyarakat yang baik berupaya mengajarkan rasa tanggung jawab dengan mengumpulkan uang receh per orang.”

“Ini kami lakukan biar bupati Manggarai bisa bekerja benar dan nyaman di kantornya,” imbuhnya.

Sementara itu, Ponsi Nogol, tokoh adat Gendang Tere berkata, pengumpulan koin merupakan aksi simbolik terkait peristiwa yang menurut banyak orang sebagai persoalan receh atau kecil. 

“Ada persoalan lain yang lebih serius dan lebih penting. Dan itu yang sedang disuarakan oleh anak-anak kami waktu aksi,” katanya.

Pelaporan Atas Disposisi Bupati

Pelaporan terhadap pemuda Poco Leok dilakukan oleh Kepala Bagian Umum Sekretariat Daerah, Fransiskus Makarius Beka pada hari kejadian.  

Fansy Aldus Jahang, Sekretaris Daerah mengonfirmasi kepada Floresa bahwa ada “disposisi” bupati kepadanya, yang dilanjutkan dengan operasionalisasi “melalui pengguna barang yang bertanggung jawab terhadap aset kantor bupati Manggarai”, merujuk pada Kepala Bagian Umum.

Pada hari yang sama, Polres Manggarai langsung memasang garis polisi di lokasi sekitar pagar itu. Beberapa hari kemudian, polisi juga menerbitkan surat pemanggilan kepada beberapa pemuda.

Pemeriksaan terhadap dua pemuda-Kristianus ‘Tino’ Jaret dan Maximilianus ‘Milin’ Neter-telah dilakukan pada 17 Maret, sementara tiga lainnya-Servasius Masyudi Onggal, Ferdiandus Parles dan Anus Sandur-akan dilakukan pada 20 Maret.

Berbagai elemen masyarakat, termasuk kuasa hukum warga dari Koalisi Advokasi Poco Leok menilai proses hukum yang cepat oleh Polres Manggarai merupakan upaya kriminalisasi untuk membungkam suara kritis dan melemahkan perjuangan warga.

Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menilai respons cepat Polres Manggarai membuktikan lembaga itu berada di bawah kendali Nabit.

“Respons polisi ini bisa dilihat sebagai by attention, justru karena ada intervensi. Atas nama penegakan hukum, mengkriminalisasi warga yang berjuang untuk hak atas tanahnya,” katanya.

Dandhy Dwi Laksono, aktivis dan produser sejumlah film dokumenter terkait masyarakat adat menilai langkah cepat Polres Manggarai karena yang diproses adalah “masyarakat yang lebih lemah” dan “urusan yang tidak menguntungkan polisi.”

“Saya tidak tahu berapa jumlah koruptor, pelaku judi online atau gembong narkoba yang tahun ini sudah dikandangi Polres Manggarai. Tapi untuk urusan pagar, gerak cepat sekali,” katanya.

Sinung Karto, kuasa hukum warga Poco Leok dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara  menyatakan, pemanggilan terhadap para pemuda jelas “merupakan tindakan kriminalisasi” oleh Polres Manggarai.

“Ini merupakan salah satu bentuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia untuk menyampaikan pendapat secara bebas di muka umum yang dilindungi oleh UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 dan Instrumen HAM Internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia,” katanya.

Padahal, kata Sinung, dalam rekaman video aksi yang mereka kantongi, “terlihat gerbang jatuh ke arah peserta aksi.”

“Otomatis ada pihak yang mendorong dengan kuat sehingga gerbang jatuh ke peserta aksi,” katanya.

Warga Poco Leok dari berbagai latar belakang ikut dalam aksi unjuk rasa pada 3 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

Berharap Ada Solidaritas Publik

Arkadeus Trisno Anggur, pemuda Poco Leok berkata, aksi pengumpulan koin ini hendak meminta solidaritas dari siapapun yang peduli pada perjuangan mereka.

“Dengan mengumpulkan donasi ini, kami menyatakan perlawanan terhadap cara-cara pemerintah di Kabupaten Manggarai yang menggunakan kekuasaannya untuk terus menekan kami, termasuk upaya pembungkaman melalui proses hukum,” katanya.

Ia berkata, penggalangan dana ini disalurkan melalui akun Gopay atau Dana pada nomor 081284829850.

“Semua dana yang masuk akan dikonversi ke dalam bentuk uang koin, yang akan diserahkan ke Bupati Manggarai,” kata Trisno. 

Ia menjelaskan, gerakan ini berlangsung hingga 26 Maret 2025 dan setelahnya “kami akan menyerahkannya secara langsung ke bupati.”

Ia  menambahkan, warga juga telah berbagi informasi terkait aksi donasi  ini kepada Koalisi Advokasi Poco Leok untuk ikut membantu menyebarluaskannya.

Gerakan Perlawanan

Dalam aksi pada 3 Maret, selain mendatangi kantor bupati, ratusan warga Poco Leok juga meminta perhatian DPRD Manggarai terhadap persoalan ini.

Dalam audiensi dengan warga, Nabit menolak pencabutan SK Penlok.

Insiden kerusakan pagar terjadinya setelahnya saat massa aksi terlibat saling dorong dengan petugas  Satpol PP yang berjaga di depan kantor bupati.

Unjuk rasa pada 3 Maret adalah satu dari sekian banyak upaya warga Poco Leok menolak proyek geotermal di wilayah mereka, yang merupakan pengembangan dari PLTP Ulumbu, sekitar tiga kilometer di sebelah barat.

Proyek di Poco Leok ditargetkan menghasilkan energi listrik 2 x 20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang sudah dihasilkan PLTP Ulumbu sejak 2012.

Ratusan warga menggelar demonstrasi di depan kantor Bupati Manggarai pada 3 Maret 2025. (Dokumentasi Arivin Dangkar)

Unjuk rasa juga dilakukan ratusan warga dari sepuluh kampung adat di Ruteng  pada 9 Agustus 2023, di mana mereka tidak bertemu dengan Nabit yang dikabarkan sedang bertugas keluar daerah.

Selain unjuk rasa di Ruteng, berbagai upaya juga telah dilakukan oleh warga, termasuk mengadang Nabit saat mengunjungi wilayah itu pada Februari 2023.

Upaya penolakan warga juga telah direspons oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek, yang mengirim tim independen untuk memantau pelaksanaan proyek itu.

Tim tersebut kemudian menyatakan proyek itu melanggar standar sosial dan ekologi internasional, dan merekomendasikan pemerintah serta PT PLN mengulang seluruh proses proyek dari awal.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA