Floresa.co – Apakah pendirian ratusan bangunan di Pulau Padar oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) tidak berdampak buruk bagi masa depan pulau itu? Apakah bangunan-bangunan itu, yang mencakup 448 vila, 67 kolam renang, kapel dan lainnya tidak mengganggu ekosistem kawasan Taman Nasional Komodo? Bukankah satu bangunan saja sudah mengganggu, apalagi dalam jumlah ratusan?
Satu-satunya alasan yang bisa menjawabnya adalah Kementerian Kehutanan, Tomy Winata dan keluarga Setya Novanto yang berada di balik PT KWE menganggap publik terlampau mudah dikibuli untuk percaya saja bahwa semua rencana itu bertujuan melindungi habitat alami komodo.
Dengan rencana pembangunan pusat bisnis itu yang mengubah bentang alam Pulau Padar, kita tidak hanya menyaksikan paradoks dalam praktik konservasi, tetapi juga sebuah praktik ugal-ugalan yang menguji batas kewarasan.
Selama bertahun-tahun, konservasi dijadikan landasan untuk membatasi akses, menindak secara represif, bahkan merelokasi masyarakat di dalam kawasan taman nasional.
Karena konservasi, tanah adat dirampas, mata pencaharian masyarakat dipaksa diubah. Karena konservasi, nelayan dipantau ketat dan pada awal 2000-an ada yang dipukuli, bahkan ditembak. Karena konservasi, tarif tiket masuk hingga izin menerbangkan drone terus dinaikkan. Karena konservasi pula, akses publik ke wilayah utara Pulau Padar ditutup.
Masyarakat telah lama menahan sakit hati, dihibur dengan mantera: demi konservasi, demi anak cucu kita, demi komodo kebanggaan bangsa.
Kini, mantra “konservasi” itu dipakai untuk membenarkan pembangunan pusat bisnis mewah.
Pembangunan 448 vila di Pulau Padar setara dengan membawa hotel-hotel paling mewah di daratan Labuan Bajo, seperti Marriott (70 kamar: 25 vila dan 45 suite), Ayana (205 kamar dan suite), Sudamala Resort (84 kamar: 68 suite dan 16 villa) dan Meruorah (145 kamar) masuk ke habitat komodo.
Ironisnya, sebagian lahan yang dulu dirampas dari masyarakat kini diberikan kepada korporasi melalui konsesi bisnis hingga ratusan hektare. Konsesi PT KWE adalah 274,13 hektare di Pulau Padar dan 154,6 hektare di Pulau Komodo, PT Segara Komodo Lestari menguasai 22,1 hektar di Pulau Rinca dan PT Sinergindo Niagatama menguasai 15,3 hektar di Pulau Tatawa.
Sementara itu, masyarakat di dalam kawasan hanya dibiarkan hidup di area sempit. Di Pulau Komodo, 2.000 warga dipaksa berdesak-desakan pada kawasan seluas 17 hektare.
Agar paradoks ini tampak samar, ditambahkan bumbu retorika bahwa pembangunan pusat bisnis korporasi untuk membuka lapangan kerja dan pembiayaan konservasi.
Pertanyaannya, bagaimana perhitungan bisnis yang membuat model pariwisata eksklusif ini dianggap lebih efektif menciptakan lapangan kerja dibanding model ekonomi komunitas yang inklusif? Bukankah eksklusivitas justru melahirkan monopoli dan gentrifikasi yang secara perlahan menghilangkan pekerjaan?
Kami juga meragukan alasan soal demi anggaran untuk program konservasi. Pada era Presiden Joko Widodo, sekitar Rp5 triliun digelontorkan untuk pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, namun hampir semuanya diarahkan pada infrastruktur pariwisata, bukan penguatan konservasi.
Kini, ketika tekanan publik meningkat, Kementerian Kehutanan mencoba cuci tangan dengan mengatakan bahwa UNESCO-pihak yang bertanggung jawab atas status Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia- yang akan memutuskan kelanjutan izin PT KWE setelah ada kajian tentang dokumen lingkungan.
Padahal, masalahnya bukan pada UNESCO. UNESCO tidak memiliki kekuasaan teritorial di Indonesia. Pemerintahlah yang pada 2012 mengubah zonasi kawasan itu, sebelum memberi karpet merah bagi korporasi. Dan, hal itu tidak dilaporkan ke UNESCO sehingga lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa itu berulang kali memberi sorotan pada pemerintah.
Kementerian itu yang sebelumnya bernama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup harus bertanggung jawab dan memenuhi tuntutan masyarakat sipil mencabut izin korporasi yang mencederai prinsip konservasi yang mereka sendiri ajarkan, sekaligus mengabaikan konteks sosial-historis kawasan.
Kementerian Kehutanan mestinya memahami bahwa konservasi dan pariwisata yang inklusif bagi komunitas bukanlah hasil sulapan semalam. Itu adalah buah dari kerja keras banyak pihak, agen travel, pemandu wisata dan penduduk lokal yang selama bertahun-tahun berjibaku mempromosikan pariwisata sekaligus menjaga kelestarian alam.
Memang masih ada kekurangan di sana-sini dan itu perlu untuk diakui. Namun, kekurangan tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk mengambil jalan pintas: menyerahkan seluruh kendali kepada korporasi sambil mengabaikan kepentingan berbagai pihak yang telah berkontribusi membangun sektor ini dari bawah.
Pesan kami kepada Kementerian Kehutanan: jika tidak bisa bekerja maksimal, setidaknya jangan merusak. Setya Novanto dan Tomy Winata jangan dijadikan “pahlawan konservasi” seolah mereka yang paling layak menjaga keberlanjutan komodo.
Ketidakwarasan ini harus ditentang. Keindahan alam di Taman Nasional Komodo perlu dijaga untuk anak cucu kita, bukan hanya untuk anak cucu Setya Novanto dan Tomy Winata.