Oleh: Agustinus Rahmanto
Rapor Pendidikan tahun 2022 telah diluncurkan pada April 2022. Data-data pada rapor tersebut digunakan baik oleh daerah maupun satuan pendidikan untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan. Rapor itu merupakan data integrasi dari berbagai sumber data, seperti Asesmen Nasional, Data Pokok Pendidikan, Badan Pusat Statistik, Sistem Penilaian Akreditasi untuk Sekolah/Madrasah, Guru dan Tenaga Pendidikan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Untuk di Kabupaten Manggarai Timur tempat saya bekerja, meski secara umum sebagian besar indikator pada rapor itu menunjukkan perbaikan yang signifikan, terutama pada aspek pemerataan hasil belajar murid, indeks karakter dan iklim satuan pendidikan, namun masih terdapat sejumlah indikator esensial pada area input, proses dan output pembelajaran yang masih terbatas.
Pada area output yang mencakup indikator capaian hasil belajar siswa dan kualitas proses pembelajaran, terlihat kompetensi literasi, numerasi dan kepemimpinan pembelajaran masih rendah. Ini terjadi baik di jenjang SD maupun SMP.
Di jenjang SMP hanya terdapat 26,66 persen peserta didik yang mampu menemukan dan mengambil informasi eksplisit yang ada dalam teks ataupun membuat interpretasi sederhana. Kondisi serupa juga terjadi di SD di mana terdapat 80,87 persen peserta didik yang memerlukan intervensi khusus untuk meningkatkan kemampuan literasi.
Capaian indikator numerasi juga tidak jauh berbeda. Pada jenjang SMP dan SD, capaiannya masing-masing 14,72 persen dan 21,71 persen. Itu artinya sebagian besar peserta didik hanya memiliki pengetahuan matematika yang terbatas [penguasaan konsep yang parsial dan keterampilan komputasi yang terbatas].
Pada aspek proses pembelajaran, capaian indikator kepemimpinan pembelajaran juga masih terbatas, yaitu 1,79 untuk SMP dan 1,86 untuk SD dalam rentang nilai 1-3. Data ini menunjukkan bahwa kepemimpinan instruksional belum mengacu pada visi misi sekolah, belum mendorong perencanaan, praktik dan asesmen pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan hasil belajar peserta didik dan belum mengembangkan program, sistem insentif dan sumber daya yang mendukung guru melakukan refleksi dan perbaikan pembelajaran.
Pada area input yang mencakup kualitas sumber daya manusia dan sekolah, indikator partisipasi warga sekolah [orang tua dan peserta didik] dalam berbagai kegiatan di satuan pendidikan masih terbatas [restriktif] yaitu 1,68 untuk SD dan SMP dari rentang nilai 1-3.
Kondisi yang tidak berbeda juga terlihat pada capaian indikator proporsi pembelanjaan peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan yang rendah, yaitu 3,25 dan 4,27 persen masing-masing untuk SMP dan SD. Ini mengindikasikan masih rendahnya persentase pembelanjaan sekolah untuk peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan dari dana Bantuan Operasional Sekolah [BOS].
Program Guru Penggerak Menyiapkan Pemimpin Pembelajar
Indikator-indikator esensial seperti kompetensi literasi dan numerasi serta pengelolaan sumber daya manusia dan sekolah berkaitan erat dengan kompetensi kepemimpinan. Bacaan atas Rapor Pendidikan Manggarai Timur menunjukkan kontribusi kompetensi kepemimpinan sekolah yang terbatas terhadap rendahnya capaian kompetensi literasi, numerasi dan pengelolaan SDM dan sekolah.
Untuk itu, maka penguatan kompetensi kepemimpinan sekolah menjadi pintu masuk untuk memperbaiki kualitas literasi, numerasi dan pengelolaan SDM sekolah.
Sejalan dengan program yang dicanangkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi [Kemdikbud Ristek], salah satu upaya meningkatkan kualitas kepemimpinan di sekolah-sekolah di Manggarai Timur adalah melalui Program Guru Penggerak (PGP).
PGP secara khusus dirancang untuk menyiapkan para pemimpin pembelajar yang diharapkan dapat menumbuhkan budaya positif di sekolah serta mengembangkan dan mengomunikasikan visi sekolah kepada orang tua dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya serta menumbuhkan kultur pembelajaran berkelanjutan dan menjadikan sekolah sebagai komunitas belajar untuk mendorong perubahan positif di sekolah.
Saat ini, Manggarai Timur memiliki 75 guru penggerak dari jenjang PAUD, SD, SMP dan SMA. Mereka telah menyelesaikan pendidikan angkatan IV. Selain itu, terdapat 47 Calon Guru Penggerak (CGP) Angkatan 7 yang sedang menjalani pendidikan dan pelatihan serta ratusan guru yang sedang mengikuti seleksi CGP angkatan VIII, IX dan X. Mereka ini menyebar di sekolah-sekolah sebagai PNS, P3K dan non ASN.
Pendidikan dan pendampingan secara intensif yang telah mereka jalani selama 9 bulan telah mempersiapkan para pendidik muda nan energik ini untuk menjadi lokomotif transformasi pendidikan.
Agar cita-cita transformasi pendidikan melalui PGP terwujud, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan tersebut terutama adalah dari kepemimpinan di level sekolah dan daerah.
Dukungan Kepemimpinan di Tingkat Sekolah
Kepemimpinan di tingkat sekolah merupakan kunci keberhasilan PGP. Melalui Perdirjen GTK Nomor 6565/B/GT/2020 tentang Model Pengembangan Kompetensi Guru, Kemendikbud Ristek mendorong para kepala sekolah untuk menerapkan kepemimpinan pembelajaran.
Sebagai pemimpin pembelajar, tugas utama kepala sekolah adalah memimpin seluruh komponen di sekolah, terutama para guru untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi pada tiga komponen utama pengajaran yaitu konten kurikulum, pedagogi, dan asesmen.
Selain itu, kepemimpinan di sekolah harus mampu menumbuhkan dan memfasilitasi kreativitas dan inovasi para guru agar mampu ‘menginterpretasikan’ konten kurikulum dan merumuskan pendekatan pembelajaran dan asesmen yang relevan dengan konteks dan kebutuhan siswa.
Para guru juga perlu didorong untuk mengembangkan praktik dan kebiasaan belajar bersama di sekolah dalam aneka bentuk kegiatan seperti mentoring atau coaching sesama guru, observasi rekan sejawat, berhimpun dalam kelompok teman kritis (critical friend groups), menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran [RPP] secara bersama, belajar dari guru-guru yang lebih profesional, saling memberikan umpan balik, berbagi praktik baik (best practice), refleksi bersama, mendiskusikan materi-materi kunci untuk membangun pemahaman bersama atau menyusun rencana individual (individual development plan) untuk peningkatan kompetensi diri.
Untuk menggerakkan perubahan secara sistemik di sekolah, terdapat lima komponen teknologi yang perlu dimiliki para pemimpin sekolah, yaitu system thinking, personal mastery, mental models, shared vision, dan team learning (Senge, 1990).
Pertama, system thinking yaitu seorang kepala sekolah harus berpikir sistemik dalam menginisiasi perubahan-perubahan di sekolah. Dalam perspektif berpikir sistemik, perubahan di sekolah tidak berhenti pada perubahan atau peningkatan pengetahuan dan keterampilan para guru secara personal, tetapi mencakup perubahan sistem secara keseluruhan.
Kedua, personal mastery, yaitu kedisiplinan dan konsistensi kepala sekolah untuk secara terus-menerus memperluas dan memperdalam pengetahuan dan keterampilan sebagai pemimpin pembelajar untuk mendorong kultur pembelajaran berkelanjutan di sekolah dan menjadikan sekolah sebagai komunitas belajar profesional.
Ketiga, mental models yaitu asumsi atau generalisasi yang memengaruhi cara kita memahami sesuatu dan mengambil tindakan. Mental model yang dibutuhkan adalah terbuka terhadap perubahan dan melakukan penyesuaian-penyesuaian agar sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Termasuk dalam hal ini adalah menghilangkan cara berpikir senioritas versus yunioritas dalam praktik belajar bersama di sekolah.
Keempat, membangun shared vision untuk menumbuhkan identitas bersama dan senasib-sepenanggungan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip yang disepakati bersama. Dengan terbangunnya visi bersama, seluruh komponen di sekolah akan memiliki gambaran masa depan yang sama, yang akan memperkuat komitmen pada visi dan tujuan bersama tersebut.
Yang terakhir adalah team learning. Seorang pemimpin pembelajar harus mampu mendorong tumbuhnya kebiasaan atau budaya belajar bersama untuk meningkatkan kemampuan diri dan bekerja sama dengan sesama guru di sekolah. Tim merupakan unit pembelajaran utama dalam semua organisasi modern saat ini. Hampir semua aktivitas saling terkait yang tentu membutuhkan kemampuan untuk bekerja dalam tim.
Dukungan di Level Daerah
Selain dukungan di tingkat sekolah, para guru penggerak membutuhkan dukungan di level daerah. Sebagai otoritas pengambil kebijakan pendidikan di tingkat daerah kabupaten, Dinas Pendidikan diharapkan dapat memberikan dukungan kebijakan yang memungkinkan para guru penggerak melakukan transformasi pendidikan dengan mengimplementasikan kepemimpinan pembelajaran di sekolah.
Karena itu, sudah saatnya para guru penggerak yang memenuhi syarat diangkat menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah. Hal ini sesuai amanat Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 dan Permendikbudristek Nomor 26 Tahun 2022. Ketika diwawancarai Tim PSKP Kemendikbud Ristek, Bupati Manggarai Timur telah menyatakan komitmen menerbitkan Peraturan Bupati untuk mengangkat para guru penggerak sebagai kepala sekolah dan pengawas mulai 2023. Hal ini tentu patut diapresiasi.
Dukungan Dinas Pendidikan juga dapat diberikan dalam bentuk insentif finansial, misalnya dengan memprioritaskan para guru penggerak mendapatkan dana insentif daerah dan Tunjangan Khusus Daerah jika bertugas di wilayah sangat tertinggal.
Dinas Pendidikan juga dapat memberdayakan para guru penggerak untuk menjadi narasumber dalam kegiatan-kegiatan pengembangan profesionalisme guru di komunitas-komunitas belajar seperti MGMP, KKG, MKKS, K3S atau komunitas praktisi di masing-masing satuan pendidikan.
Kebijakan dan strategi yang dibuat di tingkat kabupaten harus berfokus pada tujuan-tujuan yang lebih substantif dan sebisa mungkin menghindari selebrasi artifisial yang kurang bermanfaat. Selain itu, struktur dan kontrol hierarkis harus diminimalisasi dan diganti dengan pembuatan norma, ekspektasi dan nilai-nilai yang mencirikan komunitas belajar profesional.
Komitmen Bersama
Untuk memastikan tersedianya dukungan-dukungan tersebut, para pemimpin di sektor pendidikan mesti memiliki komitmen moral dan etis terhadap relasi yang manusiawi, mengembangkan hubungan yang saling peduli dan menghargai, menumbuhkan sensibilitas yang dinamis dan relasional serta mengedepankan pengetahuan dan kebijaksanaan lokal (Gilles, 2018).
Kebutuhan sekolah dan para guru yang beragam tidak lagi dapat dipenuhi dengan kebijakan yang seragam dan generik (generic policies). Karena itu, perumusan kebijakan strategis pendidikan harus melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan agar lebih sensitif terhadap ketersediaan sumber daya, kebutuhan pengembangan profesional dan tuntutan kurikulum.
Karena begitu strategisnya peran kepemimpinan, baik di level sekolah maupun di tingkat daerah dalam mendukung tanggung jawab para guru penggerak, maka para aktor di sekolah dan Dinas Pendidikan harus melengkapi diri dengan pemahaman yang komprehensif tentang filosofi pendidikan Indonesia, nilai-nilai dan peran guru penggerak, strategi membangun visi sekolah dan budaya positif di sekolah serta menumbuhkan ekosistem pembelajaran berkelanjutan.
Tanpa dukungan baik di tingkat sekolah maupun kabupaten, guru-guru terlatih tersebut tidak dapat berperan maksimal. Mereka tidak akan mampu menjadi petarung tunggal (lone ranger) di belantara hiruk-pikuk persoalan pendidikan kita yang sangat kompleks.
Penulis adalah Analis Kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Manggarai Timur dan Fasilitator Nasional Program Sekolah Penggerak