Oleh: Markus Makur, Koordinator KKI Peduli Sehat Jiwa Manggarai Timur.
Di sebuah rumah di Kampung Urang, Desa Pong Umpu, Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai, NTT, kami duduk melingkar di ruang tengah, berdoa sebelum sarapan.
Saya hadir di tempat itu, Rabu pagi, 21 Juni, menemani Pater Avent Saur SVD, Ketua Kelompok Kasih Insanis [KKI] Peduli Sehat Jiwa NTT, bersama seorang rekannya, Bruder Armindo Melkianus Atok, SVD – biasa disapa Bruder Mindo.
Usai doa yang dipimpin bruder, kami sarapan, sembari minum kopi.
Rumah tempat kami menumpang itu adalah milik saudari Pater Avent. Sarapan sudah agak telat, pukul 10.00 Wita, dari yang kedua biarawan itu biasa lakukan di biara mereka.
Kami memang bangun telat setelah karena malam sebelumnya kami ngobrol lama tentang isu gangguan jiwa bersama beberapa warga di kampung itu.
Duduk bersama kami pagi itu seorang perempuan penyandang gangguan jiwa yang sudah tinggal sendiri setelah orang tuanya meninggal. Ia memang biasa bertamu di rumah tersebut.
Sejak malam, ia ikut ngobrol dengan kami. Pater Avent menyarankannya minum obat secara rutin, yang bisa didapat di Puskesmas, agar pulih dari deritanya.
Mengunjungi Pasien di Wae Bangka
Tepat pukul 12.00 wita, kami lalu bergegas menuju Wae Bangka, sebuah kampung di arah barat.
Sebelum berangkat, kami berdoa agar perjalanan hari itu lancar dan aman. Mobil yang dikendarai sopir Om Bone melaju dengan penuh kehati-hatian karena jalan yang berlubang dan cukup banyak jalur pendakian. Sebagian aspal jalan menuju kampung perbatasan Kabupaten Manggarai dengan Manggarai Barat itu juga sudah terkelupas.
Kami melewati beberapa kampung di kiri kanan jalan, sambil menikmati keindahan alam dan persawahan terasering di perbukitan.
Perjalanan kurang lebih satu setengah jam dari Urang ke Wae Bangka, kampung yang masuk wilayah Desa Racang Welak, Kecamatan Welak Kabupaten Manggarai Barat.
Saat tiba di kampung itu, kami langsung disambut dengan hangat di sebuah keluarga yang salah satu anggotanya menderita gangguan jiwa dan sementara dipasung.
Tuan rumah menyiapkan tikar (loce/lose), yang terbuat dari anyaman daun pandan, untuk menyambut kedatangan kami. Sebagaimana adat istiadat setempat, satu per satu anggota keluarga menyalami kami (reis/rei).
Setelah menikmati kopi, Pater Avent didampingi anggota keluarga, menyapa penderita yang sedang duduk di atas tempat tidur dalam kondisi terpasung. Dua kakinya dijepit dengan balok tebal, yang dikencangkan dengan mur.
Sebagaimana biasanya pelayanan kasih dari KKI, Pater Avent menyapa keluarga dan berbincang-bincang dengan pasien jika memungkinkan.
Pater Avent pun menggunakan kesempatan tersebut untuk memberikan pemahaman dan sosialisasi tentang apa itu sakit jiwa atau gangguan jiwa. Ia juga memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang proses pemulihan penderita gangguan jiwa dengan mengonsumsi obat.
Ia memberitahukan kepada anggota keluarga agar tidak mengobati penderita gangguan jiwa kepada dukun dan mereka yang sering diklaim sebagai pendoa.
Gangguan jiwa, kata Pater Avent, adalah jenis sakit yang sama dengan sakit stroke, kanker, jantung, tuberkulosis, diabetes dan penyakit lainnya.
“Kunci untuk memulihkan penderita gangguan jiwa hanya dengan minum obat. Tidak ada cara lain,” katanya.
Kurang lebih satu jam Pater Avent memberikan penyadaran, pengetahuan dan pemahaman kepada keluarga dan si penderita.
“Hal-hal kecil dan sederhana seperti ini yang dilakukan oleh para relawan KKI NTT,” katanya.
“Kita tetap berdoa dan kuncinya adalah minum obat,” tambahnya.
Sesudah itu, kami makan siang yang dihidangkan oleh keluarga tersebut.
Di sela-sela makan siang itu, satu anggota keluarga menginformasikan bahwa ada satu warga lain di kampung itu yang juga menderita gangguan jiwa dan dipasung pada dua tangannya. Pasien itu tinggal di pondok di sawah.
Informasi tersebut spontan kami respons dengan pernyataan akan ikut mengunjunginya.
Pasien di Sawah
Setelah makan siang, kami pun berjalan kaki bersama beberapa warga ke sawah itu.
Dari kejauhan, usai menyeberangi Kali Wae Mese, kami sudah bisa melihat pondok berdinding bambu itu, tempat pasien itu tinggal.
Tiba di sana, hati kami seperti teriris saat melihat dua tangannya dipasung dengan balok tebal.
Ia duduk diam di dalam pondok berlantai tanah itu, didampingi kakak iparnya yang sehari-hari datang ke sana memberi dia makan.
Sebagaimana penuturan kakak iparnya dan warga setempat, si penderita sudah menikah. Namun, istrinya sudah pulang ke rumah orang tuanya di salah satu kampung di Kabupaten Manggarai Barat.
Sebelum si penderita sakit, ia menjadi migran lokal di salah wilayah di Kabupaten Manggarai Barat.
Kurang lebih lima tahun terakhir, ia mengalami gangguan jiwa hingga akhirnya dipasung.
Mendengarkan cerita itu, Pater Avent memberi sosialisasi tentang isu kesehatan jiwa dan peneguhan iman.
Ia juga meminta kakak iparnya agar pasien itu bisa minum obat. Proses pemulihan bagi pasien itu, kata Pater Avent, hanya dengan minum obat rutin.
Kami duduk kurang lebih satu jam di tempat itu, merasakan penderitaan yang dialami pasien itu bersama kakak iparnya yang setia memberikan makanan pagi, siang dan malam.
Kami melihat pasien dan kakak iparnya berlinang air mata. Ia berbicara dengan terbata-bata saat menjawab beberapa pertanyaan Pater Avent.
Dari sawah itu, kami kemudian kembali ke Kampung Urang, lalu melanjutkan perjalanan ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Kami tiba pukul 22.00 Wita di Biara Bruder Caritas, tempat kami menginap.
Menemui Pasien yang Sudah Pulih
Hari berikutnya, Kamis, 22 Juni pukul 12.15 Wita, perjalanan kami mengarah ke timur ke Kecamatan Kota Komba di Kabupaten Manggarai Timur.
Kami menuju Kampung Sola, Desa Persiapan Ruan Selatan. Kami tiba pukul di sana pada pukul 14.00 Wita.
Kedatangan kami terjadi tanpa pemberitahuan sebelumnya ke warga di kampung itu. Mereka lantas amat kaget saat melihat kami.
Kami memang sengaja mengatur jadwal ke kampung itu untuk menemui seorang pasien yang sebelumnya juga didampingi KKI.
Kami ingin melihat perkembangannya terkini setelah beberapa waktu sebelumnya Pater Avent diinformasikan oleh salah satu anggota keluarga pasien itu bahwa sekarang kondisinya terus membaik.
Pasien itu, yang sudah tiga tahun pulih usai minum obat rutin dan dirawat keluarganya iktu menyambut kami hari itu.
Karena ia belum mandi dan rambutnya sudah panjang, Pater Avent meminta agar rambutnya dipangkas sebelum mandi.
Pasien itu mengiyakan. Pater Avent lalu memangkasnya, disaksikan oleh keluarganya. Setelah itu, ia mandi.
Pater Avent kembali memberikan sosialisasi tentang kesehatan jiwa dan pentingnya keterlibatan keluarga untuk memulihkan penderita gangguan jiwa.
“Terima kasih kepada keluarga yang terus memperhatikan pasien ini. Penting sekali peran keluarga dalam memulihkan penderita gangguan jiwa,” katanya.
Setelah sejam di kampung itu, kami mengunjungi salah satu pasien, remaja tamatan Sekolah Menengah Pertama asal Kampung Wae Anggong, dekat Kampung Sola.
Pasien itu tinggal untuk sementara waktu bersama kakaknya di kampung tersebut.
Bersyukur perawat kesehatan Jiwa dari Puskesmas Kisol sudah memberikan pelayanan medis dengan memberikan obat-obatan.
Dari situ, kami bergerak ke rumah keluarga di Kampung Peot untuk makan malam, sebelum kemudian mengakhiri perjalana.
Usai makan lama, kami kemudian kembali. Saya di Waelengga, tempat saya tinggal, pukul 21.00 Wita, sementara Pater Avent bersama Bruder Mindo yang meneruskan perjalanan ke biara mereka di Ende dan tiba keesokan harinya pukul 03.00 Wita.
KKI dan Gerakan Peduli Gangguan Jiwa di NTT
Kunjungan selama dua hari itu berlangsung setelah pada 20 Juni, Pater Avent dan Bruder Mindo mengikuti lokakarya (workshop) di Ruteng atas undangan Yayasan Ayo Indonesia Manggarai bersama Yayasan Jaringan Peduli Masyarakat (JPM) Kupang dan CMB Global Disabilitas Inclusion Indonesia.
Dalam lokakarya terkait Perencanaan Proyek Community-based Mental Health itu, keduanya ikut membagikan pengalaman perjalanan penanganan dan advokasi penyandang gangguan jiwa di Flores.
Workshop itu dibuka secara resmi oleh Bupati Manggarai, Heribertus GL Nabit dengan peserta dari Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Manggarai dan Kabupaten Sikka, Panti Dymphna Maumere, Panti Renceng Mose Ruteng, relawan KKI dan Komisi Caritas Keuskupan Ruteng.
KKI merupakan kelompok sukarelawan yang dibentuk atas inisiatif Pater Avent pada 2016. Dari anggota awal 11 orang, kini sukarelawan kelompok ini mencapai 200 orang yang tersebar di 17 kabupaten di NTT.
Anggota KKI terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan, baik edukasi maupun sosial karitatif bagi penyandang gangguan jiwa.
Salah satu program lainnya adalah membebaskan penyandang ganggung jiwa dari pasungan – cara yang masih umum dilakukan warga di NTT untuk menangani penyandang gangguan jiwa.
Bebas pasung biasanya dilakukan setelah melewati proses edukasi terhadap keluarga pasien dan pengobatan untuk pasien.
Layanan seperti ini ditempuh di tengah keterbatasan perhatian terhadap penyandang kesehatan jiwa.
Meski di NTT, masalah kesehatan jiwa diperkirakan mempengaruhi sekitar 7,4% penduduk – lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 6,2% – dan menempati urutan ketiga dengan jumlah kasus depresi terbanyak di Indonesia, namun fasilitas kesehatan jiwa amat terbatas.
Puskesmas yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa di NTT hanya 31,8 persen, sementara Rumah Sakit Jiwa hanya satu, yang berlokasi di Kupang.
Di sisi lain, belum ada program intensif dan komprehensif dari pemerintah daerah untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa karena kurangnya staf terlatih serta fasilitas dan anggaran yang terbatas.