Kepala Desa di Flores Tolak Diperalat untuk Dukung Prabowo-Gibran

Mereka menyatakan, netralitas kepala desa sudah diatur jelas dalam undang-undang

Baca Juga

Floresa.co – Kepala desa di Flores, Nusa Tenggara Timur berkomitmen untuk tetap netral dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden 2024.

Selain karena regulasi mewajibkan mereka tak berpihak, kata kepala desa yang berbicara dengan Floresa, netralitas mereka juga diperlukan untuk menjaga kondusivitas politik di level desa di tengah beragamnya pilihan masyarakat.

Mereka merespons langkah sebuah kelompok yang menamakan diri “Desa Besatu,” yang pada 19 November memberikan sinyal dukungan terhadap pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.

Dukungan tersebut disampaikan dalam acara silaturahmi nasional di Gelora Bung Karno, Jakarta, yang dihadiri oleh Gibran dan Tim Kampanye Nasional Prabowo – Gibran.

Muhammad Asri Anas, koordinator kelompok itu mengklaim “Desa Bersatu” terdiri atas beberapa organisasi, yaitu Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia [Apdesi], Persatuan Perangkat Desa Indonesia [PPDI], Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional [ABPEDNAS], Asosiasi Kepala Desa Indonesia [AKSI], Komunitas Purnabakti Kepala Desa Seluruh Indonesia [KOMPAKDESI], Persatuan Anggota BPD Seluruh Indonesia [PABPDSI] dan Persatuan Masyarakat Desa Nusantara.

Saverius Banskoan, Kepala Desa Golo Sepang, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat mengatakan sejauh yang diketahuinya, para kepala desa dan perangkat desa di wilayah Manggarai Barat belum pernah menyatakan dukungan kepada pasangan calon manapun.

Ia berpandangan, memang sudah seharusnya demikian, “karena kepala desa dilarang oleh Undang-Undang [UU] melakukan mobilisasi atau deklarasi secara terbuka.”

Save, demikian sapaannya, mengacu pada pasal 29 huruf g dan j  UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Pada huruf g dinyatakan bahwa kepala desa dilarang untuk menjadi pengurus partai politik.

Sementara huruf j juga tegas melarang kepala desa ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.

Tak hanya bagi kepala desa, UU Desa juga melarang perangkat desa untuk menjadi pengurus partai politik dan ikut dalam kampanye, seperti diatur dalam pasal 51 huruf g dan j.

Karena itu, menurut Save, bila benar Apdesi menyatakan dukungan terhadap Prabowo-Gibran, maka “itu mereka menabrak undang-undang desa.”

Perwakilan Apdesi yang hadir dalam acara silaturahmi nasional di Jakarta adalah Surta Wijaya, yang pada acara itu diperkenalkan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Apdesi.

Pria yang menjabat sebagai Kepala Desa Babakan Asem, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten ini pernah mendukung Presiden Joko Widodo – ayah Gibran – untuk memimpin Indonesia selama tiga periode.

Marten Don, Kepala Desa Mata Wae, Kecamatan Satar Mese Utara, Kabupaten Manggarai, mengatakan selain UU Desa, larangan bagi kepala desa untuk terlibat dalam kampanye politik juga diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal 280 ayat 2 huruf h, kata dia, tegas menyebutkan bahwa pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan kepala desa.

Kepala desa juga dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu selama masa kampanye, sesuai pasal 282 UU Pemilu.

“Menurut saya, secara konstitusi sudah jelas, bahwa Pemerintah Desa memiliki regulasi khusus sebagai rambu-rambu yang harus dilalui dan ditaati dalam menjalankan tugas,” katanya kepada Floresa.

“Terlepas diterima atau tidak, suka atau tidak suka, tetapi sebagai pemerintah, dalam hal ini Kepala Desa dan Perangkat Desa, wajib melaksanakan tugas sesuai regulasi yang ada,” katanya.

Marten yang juga menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang Apdesi Kabupaten Manggarai menegaskan mereka “sampai saat ini tidak pernah melakukan deklarasi salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden serta tidak sedang merapat ke pasangan manapun.”

Marten juga mengatakan DPC Apdesi Manggarai tidak pernah mendapatkan undangan untuk melakukan deklarasi, baik lisan maupun tertulis.

“Apdesi bukanlah sebuah organisasi politik ataupun lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi sosial lainnya, tetapi murni Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia yang membawahi para kepala desa dan seluruh perangkat desa,” ujarnya.

Apdesi DPC Kabupaten Manggarai, tambahnya, menginduk pada Apdesi yang dipimpin oleh Arifin Abdul Majid, sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat.

Apdesi yang dipimpin oleh Arifin ini, menurut Marten telah disahkan secara hukum oleh Kemenkumham dengan SK No: AHU-0001295-AH.01.08 Tahun 2021 tanggal 20 September 2021.

Dalam sebuah acara dialog di sebuah televisi swasta, Arifin Abdul Majid membantah organisasi yang dipimpinnya mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Arifin mengatakan dukungan kepada salah satu pasangan calon pada acara “Desa Bersatu” tidak berhubungan dengan Apdesi.

“Kami tidak tahu menahu [kegiatan Desa Bersatu], karena kami baru tahu dari teman-teman media yang menelepon, meminta tanggapan mengapa Apeksi hadir untuk melakukan deklarasikan dukungan untuk paslon capres dan cawapres di Senayan,” ujarnya.

Arifin mengatakan Apdesi “tidak turut serta” dan “tidak dilibatkan” dalam acara “Desa Bersatu.”

“Apabila dilibatkan pun kami tidak akan hadir. Itu akan menuai polemik karena di dalamnya ada kepala desa dan perangkat desa dan semuanya juga pada tahu aparatur desa tidak diperkenankan untuk ikut dalam kampanye Pemilu,” ujarnya.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Demokratis menyebut deklarasi “Desa Bersatu” menyebut mobilisasi dukungan politik dari perangkat desa “memperburuk kondisi dan dinamika elektoral saat ini, khususnya di tengah kuatnya persepsi publik terhadap potensi dan indikasi ketidaknetralan aparatur negara dalam Pemilu.”

“Jika situasi ini terus dibiarkan, hal ini menjadi berbahaya karena tidak hanya mencederai prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilu, tapi juga legitimasi hasilnya dipertanyakan,” kata mereka.

Mereka juga menyebut UU Pemilu dan UU Pemerintahan Desa secaras jelas dan tegas telah menegaskan larangan bagi perangkat desa untuk dilibatkan atau terlibat dalam kegiatan kampanye Pemilu.

“Keterlibatan mereka tidak hanya berpotensi melanggar UU, tapi juga membuat perangkat desa tidak fokus dengan fungsi dan tugasnya dan yang jauh lebih berbahaya adalah berpotensi mendorong polarisasi politik yang mengancam kohesi sosial masyarakat desa,” kata mereka.

Mereka juga mendesak agar aparat penegak hukum tidak menggunakan “politik mengancam” kepada kepala desa untuk dimobilisasi pemenangan salah satu kandidat capres dan cawapres.

“Para kepala desa harus berani untuk melaporkan jika terdapat politik mengancam kepada mereka untuk memenangkan salah satu kandidat. Praktik politik mengancam kepada kepala desa diduga kuat pernah terjadi dalam pemilihan kepala daerah,” kata mereka.

Posisi Kepala dan Perangkat Desa yang Strategis

Sebagai pemimpin pemerintahan level terbawah, kepala desa dan perangkat desa memiliki posisi strategis dalam kontestasi politik elektoral secara langsung baik pemilihan presiden, pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah.

Karena itu, Saverius Banskoan memahami bila organisasi seperti Apdesi kemudian didekati oleh politisi.

Ia tak menampik selalu ada tawaran dari para politisi kepada kepala desa untuk memberikan dukungan politik.

“Apalagi kepala desa itu dipandang sebagai objek yang sangat seksi. Karena bagaimanapun kita punya massa. Dan kita ini kontak langsung dengan akar rumput dan hidup bersama [dengan masyarakat], sehingga kita tahu betul bagaimana karakter pemilih di wilayah pedesaan itu dan kemana arahnya,” katanya.

Karena kedekatan dengan masyarakat itulah, menurut dia, kepala desa pun bisa “bangun isu di tingkat desa untuk mempengaruhi pandangan  masyarakat desa”.

Namun, ia mengatakan, regulasi desa dan Pemilu sudah tegas melarang keterlibatan aparatur desa dalam politik. 

“Sebagai aparatur pemerintah di tingkat desa, kita punya pilihan [politik] juga, tetapi untuk kita kampanyekan, untuk kita deklarasikan, ya tidaklah,” ujar Save.

Menurut Save, dalam konteks politik, kepala desa adalah “pembina politik di tingkat desa.”

Karena itu, apabila kepala desa mendeklarasikan diri untuk mendukung kontestan tertentu, maka ia tak bisa lagi menjalankan fungsinya sebagai pembina politik.

“Kalau kita deklarasi dukungan untuk salah satu calon, berarti kita bukan dikategorikan sebagai pembina politik di tingkat desa,” ujarnya.

Karena, menurutnya, bila ada polemik di masyarakat terkait politik, kepala desa yang tidak netral tidak bisa lagi menjadi penengah untuk menyelesaikan masalah.

Hal senada disampaikan Marten Don. Menurutnya, kepala desa bisa memiliki pengaruh besar dalam mempengaruhi masyarakat pemilih jika ia menempatkan diri sebagai tim sukses.

“Sebaiknya kepala desa bersama perangkat desa tetap netral berdiri tegak di tengah agar situasi tetap kondusif dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan,” ujarnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini