PDI Perjuangan di NTT Tidak Lagi Jadi ‘Partai Kader’

Jika akan tetap seperti ini, maka lambat laun partai ini akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat NTT

Oleh: Wilibrodus Nurdin

Hari-hari ini saya berada di Jakarta dalam rangka memperoleh rekomendasi PDI Perjuangan untuk maju Pilkada Manggarai Timur tahun ini.

Sebagai kader partai, saya paham betul bahwa partai punya “aturan main” dan pertimbangan tersendiri dalam menentukan kader yang akan memperoleh rekomendasi dan amanat untuk maju dalam pilkada.

Sebelumnya, pada 2013 saya ikut kontestasi pilkada sebagai calon bupati Manggarai Timur. Kala itu, saya hanya menjadi pemenang kedua dengan perolehan 45.000 suara.

Perjuangan kali ini terasa lebih berat, karena beberapa oknum elit PDI Perjuangan di NTT terkesan mengabaikan kader partai dan melangkahi rekomendasi dewan pimpinan cabang di daerah.

Formulir pendaftaran kami sebagai bakal calon sepertinya tidak pernah sampai ke Dewan Pimpinan Pusat di Jakarta atau sengaja diabaikan.

Buktinya, sampai saat ini tidak ada panggilan untuk uji kepatutan dan kelayakan.

Lalu, tiba-tiba muncul bakal calon tunggal yang bukan kader partai dan digadang-gadang akan mendapat rekomendasi partai tanpa melalui survei, adu gagasan, uji rekam jejak dan proses-proses ideal yang diatur dalam sistem kepartaian.

Saya pikir fenomena jalur ekspres alias instan semacam ini hanya terjadi dalam film-film fiksi bertema politik.

Ternyata, virus ini telah merambah sampai level kabupaten kota dan menyerang partai kader seperti PDI Perjuangan.

Situasi ini mengingatkan saya pada pesan Ibu Megawati Soekarnoputri tentang pentingnya berpolitik dengan memperjuangkan nilai, punya etika dan senantiasa mengedepankan kebenaran “Satyam Eva Jayate”.

Ingatan saya dibawa kembali ke masa menjelang kejatuhan Orde Baru, ketika kontrol negara begitu ketat dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI masa itu menjadi korban intervensi negara, yang mencoba menjegal laju Ibu Mega di pentas politik nasional.

Beliau sangat kritis, berani dan konsisten mengkritik kebijakan Orde Baru yang menimbulkan penderitaan rakyat.

Karena sikap politiknya itu, ia kerap dimusuhi. Puncaknya pada peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang kita kenal dengan Peristiwa Kudatuli.

Korban nyawa dan luka-luka pada tragedi tersebut kemudian menjadi awal kejatuhan Orde Baru.

Ibu Mega kemudian menjelma menjadi simbol perlawanan yang merepresentasikan suara penderitaan rakyat.

Maka, ketika beliau memutuskan mendirikan PDI Perjuangan, saya ikut serta bergabung menjadi kader pada 1998.

Pada awal masa keanggotaan, saya mulai dari pengurus ranting, kemudian dipercaya menjadi Wakil Ketua Pengurus Anak Cabang [PAC] Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.

Pilihan tersebut kemudian mengantar saya terpilih sebagai Anggota DPRD Manggarai pada Pemilu 1999.

Saya kembali terpilih pada pemilu 2004 dan 2009. Ketika Manggarai Timur terbentuk pada 2007, saya  sempat dipercaya menjabat Wakil Ketua DPRD pada 2008 sampai 2014.

Partai juga memberi saya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang [DPC] Kabupaten Manggarai Timur pada 2008 sampai 2019.

PDI Perjuangan telah menjadi rumah bagi saya. Di partai ini saya digembleng melalui serangkaian penanaman nilai, ideologi dan ajaran Bung Karno.

Proses itu kemudian membentuk karakter kepemimpinan, sekaligus menjadi pedomaan melaksanakan tugas saya sebagai wakil rakyat.

Jalan yang saya pilih adalah jalan perjuangan yang menjunjung tinggi integritas, kejujuran dan kesetiaan pada rakyat.

Karena pilihan ini, saya pun banyak dimusuhi, dibenci dan berusaha dijegal dalam panggung politik lokal.

Ide dan gagasan antikorupsi yang saya gaungkan sepertinya terlalu panas di telinga elit-elit lokal yang nyaman dengan berbagai praktik curang yang menimbulkan penderitaan rakyat.

Mereka bangga dengan predikat miskin ekstrem dan tertinggal yang diterima Manggarai Timur selama bertahun-tahun.

Pesan Para Mentor

Fredy Simon, salah satu mentor dan guru saya di PDI Perjuangan berpesan kepada saya dalam perjumpaan kami di Jakarta bahwa berpartai membutuhkan komitmen dan konsistensi.

Partai bukan semata-mata kuda tunggangan untuk memenuhi ambisi pribadi. Berpartai berarti memberi waktu, pikiran dan tenaga untuk berjuang mewujudkan cita-cita ideologis partai.

Perjuangan kaderisasi partai akan rusak dan sia-sia apabila mereka yang ikut berjuang diabaikan hanya demi kepentingan mereka yang datang belakangan, bermodal uang dan ambisi.

Kepada Fredy Simon saya menitipkan pesan, harapan dan keprihatinan tentang nasib partai di Manggarai Timur, agar disampaikan kepada Ibu Mega.

Sama seperti pesan Almarhum Frans Lebu Raya, mantan Gubernur NTT, pada saya beberapa tahun lalu, bahwa kader di PDI Perjuangan harus menyadari pentingnya menjaga eksistensi partai di level akar rumput.

Hal itu dilakukan dengan menjaga keberpihakan pada kelompok masyarakat kecil dari basis komunitas paling kecil.

Kesadaran itu sempat menginspirasi saya menyusun ide “membangun dari kampung,” yang akan menempatkan komunitas masyarakat kampung sebagai pusat pembangunan. 

Sayangnya, tidak semua kader di PDI Perjuangan berpikiran sama. Beberapa elit partai yang berusaha meredam perjuangan saya coba menghubungi dan menyampaikan banyak alasan.

Salah satunya bahwa pengalaman PDI Perjuangan dengan pemilihan langsung menunjukan apa yang dipikirkan partai tidak selalu sama dengan apa yang dipikirkan rakyat.

Gagasan mereka membatasi urusan berpartai ke hanya masalah pemilu semata. Seolah-olah mengambil orang luar partai adalah cara terbaik agar menang dalam pemilu.

Padahal, berpartai adalah adalah proses panjang kaderisasi dan pembentukan karakter PDI Perjuangan.

Memberi sembarang orang atribut PDI Perjuangan tidak serta merta memberi mereka pengetahuan dan nilai-nilai yang dianut partai.

Lebih parah lagi kalau orang yang diberikan atribut justru merepresentasikan hal-hal yang selama ini ditentang oleh PDI Perjuangan.

Masa Depan PDIP NTT

Dari kisah saya ini, publik akan belajar beberapa hal.

Pertama, bahwa PDI Perjuangan di NTT tidak ada bedanya dengan partai-partai lain. Istilah partai kader tidak berlaku bagi PDI Perjuangan di NTT.

Kedua, nilai-nilai yang digaungkan Ketua Umum Ibu Mega tidak dijalankan oleh kader-kadernya di akar rumput.

Ketiga, bahwa semua kritik yang dilayangkan PDI Perjuangan di Manggarai Timur selama ini sebagai oposisi ternyata hanya demi mencari suara.

Ketika tiba urusan pilkada, semua diabaikan dan dipaksa berdamai dengan kelompok yang selama ini menjadi sasaran kritik.

Jika pola seperti ini terus berlanjut dan partai tidak berbenah, maka yang bergabung dalam partai tidak lebih dari kumpulan pencari keuntungan, uang dan kekuasaan. Berkumpul menjadi satu dan mengabaikan nilai-nilai yang diwariskan oleh partai.

Bukan tidak mungkin PDI Perjuangan akan kehilangan ciri khas dan dukungan masyarakat NTT untuk waktu yang akan datang.

Saya berpesan kepada elite yang bermain-main: Anda mungkin mengejar kemenangan instan hari ini, tetapi Anda sedang mengabaikan nilai dan tujuan berpartai.

Anda mungkin menang pemilu hari ini atau duduk sebagai elit partai dan pejabat hari ini, tetapi ingat, tidak ada yang abadi.

Kali ini bisa jadi giliran saya yang pelan-pelan Anda buang dan abaikan. Suatu saat, akan tiba giliran Anda.  

Terima kasih, Salam Perjuangan. Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Wilibrodus Nurdin adalah Wakil Ketua DPC Bidang Kehormatan PDI Perjuangan Manggarai Timur 2024-2025. Ia pernah menjadi Ketua DPC pada 2008-2019

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya