Floresa.co – Polres Manggarai memutuskan menghentikan proses hukum kasus dugaan politik uang yang menyeret Caleg terpilih Partai Nasdem dengan alasan kasusnya kadaluarsa, hal yang memicu pertanyaan terkait efektivitas Satgas Gakkumdu dalam proses penegakan hukum dugaan tindak pidana Pemilu.
Sementara itu, pengacara pelapor menuding ‘ada kepentingan terselubung’ sehingga kasus ini dibiarkan berlarut-larut melewati batas waktu sesuai yang ditetapkan dalam undang-undang.
Dalam Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan [SP3] oleh polisi kepada Kejaksaan Negeri Manggarai pada 13 Mei dinyatakan bahwa terhitung mulai 9 Mei, “penyidikan dugaan tindak pidana Pemilu… yang terjadi di Rura, Desa Rura, Kecamatan Reok Barat dihentikan dengan alasan kasus tersebut sudah kadaluarsa.”
Surat itu juga melampirkan pencabutan status tersangka Yohanes Kenedi. Ia merupakan tim sukses Ferdinandus Purnawan Naur, Caleg Partai Nasdem, yang juga anggota DPRD Manggarai periode 2019 – 2024. Ferdinandus terpilih kembali pada periode 2024-2029 dari daerah pemilihan Kecamatan Cibal, Cibal Barat, Reok dan Reok Barat.
Kasat Reskrim Polres Manggarai, AKP Iputa Hendrika Arko Bahtera menyatakan dalam surat itu bahwa pencabutan status tersebut dilakukan karena pelimpahan kasus ini dan pembuatan laporan polisi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum [Bawaslu] lewat dari waktu yang ditentukan undang-undang.
Seharusnya, menurut polisi, kasus tersebut dilimpahkan paling lama lima hari sebelum Komisi Pemilihan Umum [KPU[ menetapkan hasil Pemilu secara nasional.
Penetapan hasil Pemilu secara nasional oleh KPU pada 20 Maret, sementara Bawaslu meneruskan laporan itu ke polisi pada 29 Maret, menurut surat itu.
Inkonsistensi
Kendati ujungnya menghentikan penyidikan dan menuding Bawaslu telat menyampaikan laporan, kasus ini sebetulnya sempat diproses Polres Manggarai dengan menetapkan Yohanes Kenedi sebagai tersangka pada 4 April.
Ia disangkakan dengan pasal 523 ayat (1) juncto pasal 280 ayat (1) huruf j Undang undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut mengatur soal pemberian uang atau materi lainnya, dengan ancaman pidana paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Polisi juga sempat melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi, termasuk Ferdinandus.
Berkas kasus itu pun sempat dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Manggarai, namun dikembalikan pada 7 Mei.
Kasus ini dilaporkan pada 1 Maret oleh Yeremias Guntur, warga Kampung Rura terkait dua warga yang diduga menerima uang dan babi agar bisa memilih Ferdinandus Purnawan Naur pada Pemilu 14 Februari.
Pemberian uang dan babi itu terungkap setelah Yohanes Kenedi meminta dua warga itu mengembalikannya, karena mencurigai mereka tidak mencoblos Ferdinandus.
Ferdinandus membantah melakukan politik uang, berdalih bantuan babi yang diberikan pada akhir Agustus 2023 itu dilakukan saat reses dan dalam kapasitasnya sebagai anggota DPRD, sementara pembagian uang pada 7-9 Februari 2024 bukan merupakan politik uang.
Cuci Tangan
Dalam proses penanganan kasus ini, kendati bergabung dalam Satgas Gakkumdu – Satuan Tugas Penegakan Hukum Terpadu – koordinasi Bawaslu dan polisi diduga tidak berjalan.
Dalam wawancara dengan Floresa pada 11 April, Ketua Bawaslu, Fortunatus Hamsah Manah sempat membantah polisi telah menetapkan tersangka, kendati penetapan tersangka Yohanes Kenedi sudah dilakukan pada 4 April.
Sementara itu pada 11 Mei, ketika Floresa menghubungi perwakilan masing lembaga dalam Satgas Gakkumdu – Bawaslu, Polres dan Kejaksaan – ketiganya saling lempar tanggung jawab untuk menjelaskan perkembangan penanganan kasus ini.
Ketua Bawaslu, Fortunatus berkata pihaknya sudah tidak punya kaitan dengan kasus itu.
“Silahkan teman-teman kontak kepolisian dan kejaksaan, karena kasusnya sudah tidak di Bawaslu,” katanya.
Sementara itu, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Manggarai, Muhammad Ridwan Ridho, justru meminta Floresa bertanya ke Bawaslu.
“Mungkin bisa langsung bertanya ke Bawaslu,” katanya.
Kasat Reskrim dan Humas Polres Manggarai – Hendrika Arko Bahtera dan Made Budiarsa tidak menjawab pertanyaan Floresa, kendati pesan yang dikirim melalui WhatsApp sudah bercentang dua, tanda telah sampai ke gawai keduanya.
Pertanyakan Kinerja Satgas Gakkumdu
Frido Sanir salah satu tim kuasa hukum pelapor Yeremias Guntur berkata kepada Floresa, tiga lembaga dalam Satgas Gakkumdu tampak tidak serius menangani kasus dugaan tindak pidana pemilu, termasuk laporan kliennya.
Ia berkata, kasus ini dilaporkan pada 1 Maret, namun baru diputuskan oleh Bawaslu sebagai dugaan pidana dalam rapat pleno pada 28 Maret di tengah jangka waktu proses penanganan dugaan tindak Pemilu yang terbatas.
“Saya melihat, kurang ada koordinasi dan komunikasi antara ketiga lembaga ini,” kata Fridolin, “masing-masing ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan terselubung.”
“Saya tidak mau mengatakan apakah mereka masuk angin atau apa, saya tidak tahu itu, tetapi yang saya temukan bahwa mereka kurang koordinasi,” katanya.
Ia juga menyebut “mereka tidak cukup pengetahuan hukum untuk meneliti, menyelidiki dan menyidik politik uang yang terjadi di Manggarai.”
Berdasarkan fakta selama melakukan proses pendampingan kasus tersebut, kata dia, dari penyelidikan atau klarifikasi di Satgas Gakkumdu terjadi perbedaan pemahaman untuk melanjutkan atau tidak kasus tersebut.
“Kejaksaan ngotot untuk memajukan kasus ini, sementara dua lembaga lainnya seperti Bawaslu dan kepolisian semacam berusaha tarik ulur kasusnya.”
Hal ini, kata dia, membuat kasus ini “terkesan lambat sekali untuk diselidiki dan diproses.”
Padahal, kata Frido, dari bukti awal, “kasus ini sangat layak untuk disebut sebagai sebuah tindak pidana karena unsur deliknya sudah mencukupi, termasuk keterangan saksi dan keterangan ahli.”
“Keterangan saksi mengakui secara nyata mereka menerima uang dan babi dari FPN – merujuk pada Ferdinandus Purnawan Naur – melalui tersangka Yohanes,” katanya.
Bahkan, kata dia, saksi ahli yang dihadirkan penyidik juga “telah menerangkan bahwa kasus ini memenuhi unsur tindak pidana.”
Ia menyoroti buruknya kinerja Satgas Gakkumdu sehingga sejumlah laporan terkait dugaan tindak pidana Pemilu dihentikan di tengah jalan.
Ia mencontohkan kasus dugaan pelanggaran Pemilu yang melibatkan Wakil Bupati Manggarai, Heribertus Ngabut yang menghadiri acara Partai Golkar dengan pakaian dinas. Kasus ini dihentikan oleh Bawaslu karena dinilai tidak memenuhi unsur pelanggaran pidana Pemilu.
“Satu-satunya kasus yang menurut saya selangkah lebih maju ya kasus dugaan politik uang di Desa Rura. Ada penetapan tersangkanya,” katanya.
Sementara itu, Ferdinansa Jufanlo Buba, kuasa hukum terlapor Yohanes Kenedi berkata kepada Floresa, kini pihaknya berpegang pada prinsip kasus ini kadaluarsa.
Ia berkata, sesuai pasal 480 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan pasal 29 ayat (4) Peraturan Bawaslu Nomor 3 Tahun 2023 tentang Satgas Gakkumdu, kepolisian melakukan penyidikan dugaan pidana Pemilu dalam waktu 14 hari.
“Berdasarkan norma-norma ini, jelas kasusnya sudah kadaluarsa karena sudah lewat dari 14 hari,” ujarnya.
Merujuk pelimpahan kasus dari Bawaslu pada 29 Maret, batas waktu penyidikan adalah pada 11 April.
“Jika mempertimbangkan hari libur Idul Fitri, sudah kedaluarsa pada 26 April,” kata Jufan.
Di sisi lain, ia juga mempertanyakan langkah polisi yang pada 29 April melakukan pemeriksaan terhadap dua saksi di Rura, berinisial MN dan YM.
“Pemeriksaan ini melampaui limitasi waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan,” katanya.
Ia juga mempertanyakan pernyataan Ketua Bawaslu, Fortunatus Hamsah Manah pada 11 April yang membantah ada penetapan tersangka dalam kasus ini.
Padahal, kliennya Yohanes Kenedi ditetapkan sebagai tersangka pada 4 April.
“Patut dipertanyakan, apakah benar tidak ada koordinasi antara Bawaslu dengan kepolisian mengenai informasi [penetapan tersangka] ini. Ataukah tugas Bawaslu hanya terbatas sampai tahapan pelimpahan di kepolisian?” katanya.
Padahal, kata dia, “Bawaslu yang merupakan bagian dari Gakkumdu mensyaratkan tugas pengawalan perkara sampai pada tahapan apapun dalam pemeriksaan pidana.”
Editor: Ryan Dagur