Keluarga Tempuh Denda Adat, Proses Hukum Kasus Pemerkosaan Siswi SD di Manggarai Barat Dihentikan, Aktivis Pertanyakan Sikap Polisi

Komnas Perempuan mengingatkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur kasus kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan di luar proses peradilan

Baca Juga

Floresa.co – Pemerhati perempuan dan anak mempertanyakan penghentian proses hukum dalam kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur di Manggarai Barat.

Kasus ini terungkap setelah kepada orang tuanya, seorang siswi kelas III Sekolah Dasar di Kecamatan Boleng mengaku diperkosa pelajar Sekolah Menengah Atas berusia 17 tahun.

Mershinta Ramadhani dari Puanitas Indonesia, organisasi pemberdayaan perempuan berbasis Manggarai menekankan “korban masih di bawah umur” dan semestinya “masuk dalam delik umum.”

Delik umum yang disebutkannya mengacu pada Undang-Undang [UU] Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak [UU Perlindungan Anak].

UU turut mengatur polisi supaya memproses informasi atas kasus kekerasan seksual terhadap anak, tanpa harus menunggu laporan dari pelapor atau korban kepada polisi.

Sekalipun keluarga korban tidak melapor, “sudah menjadi kewajiban polisi untuk menindak tegas pelaku.” 

Apalagi, kata Mershinta, “publik sudah tahu kasus ini. Tidak mungkin polisi tidak dengar.”

Selain UU Perlindungan Anak, pelaku juga “bisa sekali dijerat” dengan UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UU TPKS].

Mershinta juga menyoroti upaya berdamai yang disepakati pelaku dan keluarga korban. 

“Dasar logika kemanusiaan seperti apa yang bisa mendamaikan kejadian pemerkosaan terhadap anak di bawah umur?” katanya.

Berdamai, Lantas Tak ada Pendampingan Psikologis?

Pernyataan Mershinta terkait dengan upaya berdamai antarpihak terkait yang akhirnya menghentikan proses hukum terhadap pelaku. 

Kepala Kepolisian Subsektor Boleng, Dominikus Hetom mengaku telah mendapat informasi dari keluarga korban bahwa kasus tersebut “sudah diurus secara kekeluargaan.” 

Keluarga korban pertama kali melaporkan kasus tersebut ke kantor Dominikus pada 13 Januari.

Menurut Dominikus, keluarga korban meminta keluarga pelaku membayar denda adat berupa uang senilai Rp50 juta, serta kerbau dan babi yang masing-masing seekor. 

Keluarga pelaku menyatakan hanya sanggup membayar denda berupa uang Rp5 juta. Sementara kerbau diganti uang sebesar Rp9 juta. Mereka menyanggupi denda seekor babi.

“Saya juga barusan dapat informasi bahwa tadi malam kedua belah pihak sudah lakukan perdamaian. Tadi malam dendanya sudah dikasih ke keluarga korban,” kata Dominikus pada 19 Januari.

Ditanya soal kondisi terkini korban, Dominikus mengatakan, “sudah agak sehat.”

Kendati begitu, ia menyebut “tak ada pendampingan untuk memulihkan psikologi karena mereka sudah berdamai. Kecuali jika proses hukumnya dilanjutkan.”

“Kami hanya melakukan penanganan awal. Selanjutnya, kami serahkan kepada unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Polres Manggarai Barat,” katanya.

Sementara itu, Humas Polres Manggarai Barat, Eka Dharma Yuda menyatakan kantornya “belum menerima laporan dari keluarga korban.”

Sebaliknya, “kami justru menerima pemberitahuan dari keluarga yang berkaitan dengan peristiwa ini bahwa para pihak terkait tidak mau membuat laporan polisi untuk memproses hukum masalah tersebut,” katanya kepada Floresa pada 19 Januari.

Lantaran masih ada hubungan kekerabatan, “mereka akan menyelesaikan masalah tersebut lewat denda adat.”

Ia menjelaskan hal ini terjadi “mengingat kedua belah pihak masih mempunyai hubungan keluarga yang sangat dekat.”

Orang tua terduga pelaku dan korban, kata dia, adalah saudara kandung.

Komnas Perempuan: Kekerasan Seksual Tidak Boleh Diselesaikan di Luar Pengadilan

Pemerkosaan yang menimpa anak di bawah umur saat sendirian di rumah itu menjadi perhatian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan].

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriani mengingatkan UU TPKS mengatur “kasus kekerasan seksual, termasuk dugaan pencabulan tidak boleh diselesaikan di luar proses peradilan.” 

Apalagi, katanya, korban adalah anak, sehingga hak-haknya dilindungi UU Perlindungan Anak.

“Dari informasi yang kami peroleh, apa yang dialami oleh anak itu bukan pencabulan, tetapi pemerkosaan,” katanya kepada Floresa.

Andy “meminta media agar lebih cermat menggunakan istilah ‘tindak kekerasan seksual,’ terutama menyangkut konsekuensi hukum tertentu terhadap pelaku dan proses peradilannya.”

“Penting dipahami bahwa dalam kasus tindak kekerasan seksual dengan pelaku adalah anak, diversi juga tidak boleh dilakukan pada tindakan dengan ancaman penjara lebih dari tujuh tahun,” ungkapnya.

Andy mengatakan meski pelaku masih berusia anak [karena pelajar SMA], tetapi dalam kasus ini tidak dapat menggunakan penyelesaian diversi. Sebab, kata dia, ancaman pidananya bisa lebih dari tujuh tahun.

Diversi merupakan pengalihan penyelesaian pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses peradilan di luar pidana.

Ia mengatakan meskipun tidak ada pernyataan dari keluarga korban, “polisi tetap perlu memproses pelaku secara hukum dengan pola pembinaan yang disesuaikan dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.” 

Andy juga menekankan pentingnya semua pihak terkait “berkoordinasi guna memastikan pemulihan korban.”

Editor: Anastasia Ika

Terkini