Oleh: RD BENNY DENAR
Gara-gara terlibat dalam aksi demontrasi menolak privatisasi Pantai Pede, Bupati Manggarai Barat (Mabar), Agustinus Ch Dula menuding dua imam Keuskupan Ruteng sebagai Yudas Iskariot, tokoh antagonis dalam kisah penderaan Yesus Kristus.
Kedua pastor itu, Romo Robert Pelita, Vikep Labuan Bajo dan Romo Rikard Manggu, Pastor Paroki Roh Kudus Labuan Bajo memang ikut dalam aksi unjuk rasa pada 29 Maret 2017 lalu itu, yang dihadiri para aktivis, mahasiswa dan warga lainnya.
Bupati Dula dalam pernyataannya yang dilansir media online, Floresindependen.com mempersoalkan tindakan para demonstran yang selama aksi menggotong keranda jenazah dan salib, di mana di keduanya tertulis nama Dula dan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya.
Dula mengatakan, “Soal peti mayat itu, saya merasa disakiti terutama oleh para pastor, khususnya dua pastor itu, Romo Rikard dan Romo Robert Pelita yang seharusnya mereka bermitra dengan pemerintah. Apa gunanya kalau sehari-hari kita bertemu dan saling bersapa ria sepertinya kita ini bersaudara, tahu-tahunya di hati tidak. Bukankah ini gambaran Yudas Iskariot?”
Tudingan Dula ini sontak menimbulkan beragam tanggapan, termasuk yang meluber di media sosial.
Saya ikut tertarik menanggapi tudingan itu melalui media ini. Pertama, perihal peti mayat yang dibawa oleh peserta demo, hemat saya, kita biasa menyaksikan hal serupa dalam demonstrasi di mana-mana. Pesannya selalu sama, bahwa peti mati itu bukan merupakan gambaran kematian fisik (lahiriah), tetapi lebih merupakan simbol kematian nurani, kebutaan dan ketulian untuk melihat dan mendengar suara rakyat.
Dalam konteks kasus Pantai Pede yang berlarut-larut, dimana kini karyawan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) – investor yang diberi wewenang untuk mengelolah Pantai Pede – mulai bekerja walau Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sudah meminta Gubernur Lebu Raya meninjau lagi kebijakannya dan protes masyarakat terus muncul, peserta demonstrasi tentu merasa bahwa Gubernur Lebu Raya perlu diingatkan dengan cara luar biasa, termasuk dengan membawa peti mati itu.
Sementara Bupati Dula, dalam konteks demo itu, tentu ikut menjadi sasaran kekecewaan, karena alih-alih memperjuangkan agar Pantai Pede menjadi milik Mabar sebagaimana mandat UU No 8 Tahun 2003, malah ia mengikuti begitu saja kebijakan Lebu Raya.
Sebenarnya, saya tidak tertarik memperdebatkan apa yang dibawa peserta demo tersebut, karena apa yang mereka bawa selalu hanya merupakan cara/metode dalam menyampaikan aspirasi.
Agak mengherankan apabila fokus perhatian/tanggapan hanya pada cara penyampaian, dan bukan pada subtansi apsiprasi yang disampaikan. Saya menjadi curiga, jangan-jangan Bupati Dula sedang berusaha mengaburkan substansi persolan dengan mempersolkan cara massa menyampaikan aspirasi. Ini merupa suatu trend yang biasa dipakai para pejabat negeri ini. Tetapi mudah-mudahan tidak berlaku bagi Bupati Dula.
Kedua, perihal tudingan Yudas Iskariot kepada Pastor Robert Pelita dan Pastor Rikard Manggu. Bupati Dula mengatakan, “Apa gunanya kalau sehari-hari kita bertemu dan saling bersapa ria sepertinya kita ini bersaudara, tahu-tahunya di hati tidak. Bukankah ini gambaran Yudas Iskariot?”
Rupanya Bupati Dula terinpirasi dengan kisah pengkianatan yang dilakukan seorang murid bernama Yudas Iskariot terhadap Yesus Kristus. Hanya dengan 30 keping perak, Yudas tega menjual Yesus yang adalah gurunya kepada para penguasa dan pembenci Tuhan Yesus.
Bupati Dula rupanya langsung menarik kisah pengkianatan Yudas terhadap Yesus ini untuk kemudian disematkan dalam konteks hubungan Pastor Robert dan Pastor Rikard dengan dirinya.
Pertama-tama, saya coba mengikuti saja analogi yang dibuat oleh Bupati Dula ini. Bupati Dula rupanya mengharapkan pastor yang sering bertemu dengan dia dan saling bersapa ria bagai saudara, tidak boleh mengkritik dia. Justru, di sinilah letak kekeliruan Bupati Dula. Bupati Dula mesti tahu bahwa karena imamatnya, semua pastor terikat untuk melakukan pewartaan dan gerakan kenabian. Pewartaan dan perjuangan profetis para pastor, termasuk Pastor Rikard dan Pastor Robert, tidak terikat atau berorientasi pada figur atau rezim tertentu termasuk uang (harta), tetapi pada skala prioritas nilai.
Kalaupun ada pastor yang dekat dengan penguasa atau pejabat tertentu, namun kedekatannya itu tidak pernah boleh menutup mulutnya untuk tetap mengkritik penguasa bersangkutan jika ada nilai-nilai kemanusian yang hakiki yang dilanggar sang penguasa.
Banyak nabi dalam Kitab Suci bisa menjadi refrensi. Yesaya misalnya, walaupun ia dikenal sebagai nabi istana, namun daya kritisnya terhadap Raja Ahas tidak pernah luntur. Demikian juga Nabi Nathan yang tidak segan mengeritik Raja Daud. Yesus Kristus, sebagai Guru dan Tuhan yang diikuti para pastor, juga oleh Bupati Dula sendiri, melakukan gerakan kenabian secara lebih sempurna, bahkan sampai menyerahkan nyawa-Nya sendiri. Demi pewartaan kebenaran, Yesus bahkan ditolak oleh orang-orang seasalnya termasuk pada akhirnya disiksa dan dihukum mati para penguasa.
Inilah dasar gerakan kenabian kaum berjubah, termasuk yang dilakukan Pastor Robert dan Pastor Rikard. Kedekatan dalam hubungan personal mereka (sebagaimana diakui Bupati Dula) dengan Bupati Dula tidak menjadi halangan untuk tetap mengkritiknya.
Pastor Robert dan Pastor Rikard lebih memilih mengikuti Yesus yang setia dengan gerakan kenabian-Nya dibandingkan harus tutup mulut berhadapan dengan Bupati Dula yang nyata-nyata telah ikut mendukung memprivatisasi Pantai Pede. Pastor Robert dan Pastor Rikard tidak mau begitu saja dibelenggu atas nama kedekatan personal (sering bertemu, bercanda ria bagai saudara dan lain-lain) dengan Bupati Dula, lantas mengorbankan kepentingan publik yang jauh lebih besar dan penting.
Pastor Robert dan Pastor Rikard telah benar-benar mengikuti nasihat Kitab Suci perihal gerakan profetis (Kleden:2003). Pertama, pewartaan dan tindakan profetis itu bukan pesanan dari kekuatan/kekuasaan tertentu. Kedua, pewartaan dan tindakan profetis tersebut dilakukan tidak mengindahkan konstelasi kekuasaan yang ada. Singkatnya, tindakan profetis hanya dilakukan semata-mata untuk membela kebaikan, kebenaran dan keutuhan ciptaan.
Dengan penjelasan seperti ini, kiranya Bupati Dula tahu bahwa yang dikritik dan ditentang oleh para pastor bukan Bupati Dula sebagai pribadi, tetapi Bupati Dula sebagai pejabat publik yang mengambil kebijakan yang menurut para pastor melenceng dari kebenaran. Dengan pendasaran seperti ini, kiranya Bupati Dula sadar bahwa tudingannya yang menyebut Pastor Robert dan Pastor Rikard sebagai Yudas Iskariot adalah keliru dan salah alamat.
Kalau demikian, siapa sesungguhnya Yudas Iskariot?
Tafsiran yang dekat perihal Yudas Iskariot selalu ingin mengatakan perihal hubungan manusia dengan Tuhan pemilik kebenaran. Catatan kritis dari naskah perihal pengkinatan Yudas Iskariot terhadap Yesus adalah bahwa manusia seringkali menggadaikan Tuhan, menggadaikan agama, menggadaikan hati nurani, menggadaikan kebenaran, menggadaikan martabat diri, dan bahkan menggadaikan guru dan sahabat sendiri untuk memperoleh harta dan jabatan.
Dalam konteks masalah di Pantai Pede, pantaskah Pastor Rikard dan Pastor Robert dianggap sebagai Yudas Iskariot? Pantaskah penilaian itu disematkan kepada mereka padahal mereka gigih mengobankan segalanya (bahkan sering dicaci maki di media sosial) agar Pantai Pede tetap terbuka bagi akses publik? Pantaskah mereka dianggap sebagai Yudas Iskariot ketika mereka menyadarkan publik perihal rusaknya kebijakan publik yang rentan akan korupsi dan memarginalkan kaum kecil dan masyarakat lokal?
Bukankah Yudas Iskariot sesungguhnya adalah mereka yang sengaja mengingkari suara rakyat (bdk. Vox populi vox Dei)? Bukankah Yudas Iskariot sesungguhnya adalah pejabat publik yang waktu kampanye pura-pura dekat dengan rakyat kecil, tetapi ketika telah terpilih justru menendang rakyat kecil itu demi bersekutu dengan penguasa dan pemodal? Bukankah Yudas Iskariot sesungguhnya adalah pejabat publik yang sengaja memprivatisasi akses publik demi kepentingan pribadi?
Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, saya berharap tudingan Bupati Dula yang menyebut Pastor Rikard dan Pastor Robert sebagai Yudas Iskariot bukan merupakan bentuk proyeksi atas apa yang dibuatnya sendiri. Sebagai anak kandung Gereja Katolik, saya mengucapkan, selamat memasuki pekan suci untuk Bupati Dula dan semua umat Kristiani. Mari bermenung tentang diri kita masing-masing di bawah terang Salib dan Paskah Tuhan.
Penulis adalah rohaniwan, dosen di STIPAS St. Sirilus Ruteng