Oleh: DONI KOLI
Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini membawa dunia pada suatu babak, yang disebut digitalized world. Digitalisasi atau intensifikasi pemakaian media digital dalam komunikasi sehari-hari menandai wajah baru komunikasi dan interaksi antarmanusia. Kemunculan internet dan pelbagai fitur media sosial telah menyusup masuk dalam banyak segi kehidupan.
Akan tetapi, sebagaimana tren-tren kemenduniaan lainnya, digitalized world nyatanya membawa pengaruh ganda. Di satu sisi digitalisasi menjadikan komunikasi kian mudah, efektif, dan luas karena mampu melampaui limit-limit kultural dan geografis. Paradoks dengan implikasi ini, eskalasi pemakaian teknologi digital ternyata menyimpan soal ketika menjadi pemicu bagi timbulnya patologi sosial. Salah satunya adalah fenomen penetrasi hoaks dan narasi kontra kebenaran di dunia maya.
Hal itu misalnya tampak jelas seperti yang dilakukan kelompok Saracen, sindikat dan kelompok industri hoaks serta ujaran kebencian. Kebenaran nyatanya dapat saja dikalkulasi dan dilenyapkan di dunia maya. Hoaks menampilkan karakter yang disebut pemikir postmodern, John D. Caputo sebagai etika tanpa prinsip. Tak ada prinsip dalam etika publik, tak ada lagi primat kebenaran. Oleh Saracen dan industri hoaks lainnya kebohongan dapat menjadi alat bisnis.
Hegemoni Simbolik Dunia Maya
Ekspansi hoaks atau berita bohong di dunia maya hemat saya menandai sebuah simtom baru dalam milieu kehidupan manusia yakni hegemoni simbolik dunia maya. Ada mekanisme penguasaan tertentu yang terdistribusi dalam dunia maya.
Di sini, gagasan Foucault tentang ketaktunggalan kekuasaan serta distribusi kekuasaan dalam pelbagai segi kehidupan manusia mendapat representasinya. Kekuasaan dapat menjelma dalam pelbagai segi kehidupan manusia, termasuk pengetahuan dan informasi (Haryatmoko, 2011: 12).
Dalam dan melalui dunia maya, hoaks adalah produk komodifikasi pengetahuan dan informasi untuk memproduksi kekuasaan. Berita hoaks, ujaran kebencian serta provoksi isu-isu sektarian yang diviralkan di media sosial dengan intensi memecah-belah masyarakat selalu menempatkan titik sasarnya pada upaya memengaruhi, serentak mencaplok subjek bersama segenap atributnya; hilangnya otonomi, pembiasan terhadap kebenaran (truth), dekadensi nalar, distorsi kepercayaan, berikut secara sosial menggerus nasionalisme.
Hoaks atau berita bohong berubah menjadi sebuah kekuatan hegemoni simbolik di media maya terjadi melalui pola berikut.
Pertama, media maya dipakai untuk mereproduksi kenyataan yang sebenarnya kontrafaktual. Atau meminjam terminus Castells (2000), kemayaan yang nyata (real virtuality) di dunia maya dimanfaatkan produsen hoaks untuk mengaburkan narasi menjadi seolah-olah faktual. Di sini, kekuatan aktualitas dan kemampuan menggiring emotifisme sentimental pembaca disuntikkan dalam narasi.
Kedua, penetrasi berita dan narasi kebohongan tersebut kemudian diikuti oleh kesalahpengenalan subjek untuk membaca konten-konten tersebut. Kesalahpengenalan dalam membaca konten-konten hoaks menjadi semakin mungkin ketika produsen berita hoaks jeli membaca peluang penerimaan hoaks oleh masyarakat tanpa seleksi rasional.
Peluang tersebut antara lain rendahnya kultur literasi dan kemampuan membaca konten berita secara kritis, psikologi massa yang mudah digiring isu-isu provokatif serta disintegrasi potensial dalam masyarakat.
Di Indonesia, peluang bagi persemaian hoaks dalam ruang publik juga disebabkan oleh kekacauan politik pada level penguasa dan hilangnya sense of trust rakyat pada kiblat politik yang baik.
Menurut Yudi Latif, kekacauan politik pada level penguasa seperti korupsi telah membangkitkan pola mimesis (peniruan) dalam masyarakat yang mulai membudidayakan kebiasaan saling menipu, memperalat serta mendusta antarsesama (Kompas, 5 September 2017).
Solusi
Profilasi negatif yang muncul di balik tren dunia yang terdigitalisasi berupa fenomen penetrasi hoaks di dunia maya sudah seharusnya memantik kesadaran dan usaha utk mengambil langkah.
Pertama, bersikap kritis. Setiap orang perlu membangun sikap kritis yang tak mudah menerima secara serta merta konten-konten pada media sosial. Sikap kritis sebagai power of self-defense tampak dalam sikap yang tidak lekas-segera percaya, mampu mengambil jarak untuk berefleksi, menemukan intensi yang ditawarkan konten dan menarik titik simpul atas konten berita.
Sikap kritis juga ditunjukkan lewat kejelian untuk memilah portal-portal berita penyedia konten yang valid, akuntabel serta reliabel dari portal berita produsen hoaks. Konten berisi hoaks biasanya berasal dari portal berita yang tidak terpercaya, dikemas sedemikian tendensius karena melayani kepentingan tertentu, sering mengabaikan netralitas berita dan tentunya berintensi untuk menjauhkan subjek dari aras kebenaran.
Kedua, hoaks dan ujaran kebenaran di ruang publik dunia maya juga menandai tergerusnya cita rasa kepercayaan di dalam lebenswelt, dunia kehidupan masyarakat. Runtuhnya kepercayaan ini bertautan dengan pudarnya nasionalisme. Ketika nasionalisme hanya menjadi spirit yang semu, maka ia akan mudah terpapar gangguan, termasuk hoaks, ujaran kebencian serta provokasi oleh isu-isu tertentu.
Di media sosial, usaha memperjuangkan nasionalisme dapat diusahakan dengan menyediakan konten berita yang berkualitas dan mampu memupuk cita rasa kebangsaan antarsesama, menggerakan kampanye keberagaman, menggalakkan spirit literasi kritis, membumikan sikap anti hoaks, dll.
Akhirnya, kita sekalian diajak untuk semakin mencintai dan merawat asa akan kebenaran.
Penulis tinggal di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret