Ruteng dan Kebusukan yang “Disingkirkan Seperti Najis”

Setiap kota, termasuk Kota Ruteng, tulis Frumens Arwan, selalu punya dua sisi: yang dipertontonkan dan yang disingkirkan seperti najis. Sisi yang kedua itu harus segera disadari, disembuhkan, dan dijamah, tidak terus-menerus disingkirkan.

Oleh: FRUMENS ARWAN, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

“Tiap kota mengandung paras yang pura-pura. Tiap kota punya wajah yang hanya kita ingat ketika gelap, hujan, dingin, Desember; datang. Tiap kota adalah ruang scene dan ob-scene: ada yang dipertontonkan, ada yang disingkirkan seperti najis,” tulis Goenawan Mohamad (GM) dalam “Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai”.

Dalam esai-puitik itu, GM menyebut Praha dan Den Haag, dua kota yang telah berabad-abad lamanya berdiri. Dua kota yang melambangkan kemegahan dan keagungan Eropa, selain Paris dan Roma. Bagi GM, di balik kemegahan fisik dan keagungan sejarah dua kota ini (dan juga kota-kota lainnya), selalu ada sisi gelap yang ia sembunyikan. Tulis GM, ada “gelandangan yang merapat ke pojok-pojok. Para penjaga malam yang merasa sial. Pelacur yang terhalau. Bajingan yang selamanya siap. Di sebelah lain dari poster iklan Gucci yang dipasang di halte-halte, mungkin ada anak kecil penjual korek api dari cerita Andersen, seorang bocah lapar yang mencoba melawan beku, di sebuah hari Natal, dengan menyalakan batang-batang geretan satu demi satu, sampai habis.” Ia melanjutkan, “Kota ini seperti tak terbiasa juga dengan malam”.

Gelandangan, para penjaga malam yang merasa sial, bajingan, dan anak kecil penjual korek yang lapar dan mencoba melawan beku adalah ruang dari sebuah kota “yang disingkirkan seperti najis.” Hal semacam itu kerap diabaikan, barangkali karena dianggap merusak keindahan dan kedamaian kota. Atau karena ketika menyebut kata “kota”, yang datang kepada pikiran orang adalah soal-soal indah seperti gedung-gedung tinggi, cahaya lampu yang warna-warni, atau gadis-gadis cantik.

Maka, setiap kota cenderung ingin (hanya) mempertontonkan kemegahannya: poster iklan Gucci, salah satu brand pakaian mewah dan terbesar asal Italia, gedung-gedung yang tinggi, atau semarak di balik Hari Natal.

Saya pikir, Kota Ruteng juga punya ruang scene dan ob-scene semacam itu. Siapa pun yang menyambangi kota kecil itu, ruang scene itu selalu tampak. Ada dua gedung Gereja Katedral yang megah, yang satu bergaya Eropa, yang satu lagi lebih merupakan perpaduan gaya bangunan yang lebih modern. Ada juga gereja-gereja besar dan megah lain di setiap sudut kota: Gereja Santo Mikhael Kumba, Gereja Kristus Raja Mbau Muku, Gereja Santo Fransiskus Assisi Karot, Gereja Santo Nikolaus Golo Dukal, Gereja Santo Vitalis Cewonikit, Gereja Ekaristi Kudus Redong. Hal itulah yang membuat kota kecil itu disebut sebagai “Kota Seribu Gereja”. Mereka mempertontonkan kebesaran sebuah institusi agama bernama Gereja Katolik yang telah mulai hadir di Manggarai sejak 1912.

Institusi Gereja Katolik yang kuat itu pun bergerak di bidang pendidikan. Paling tidak itu tampak dari keberadaan Universitas Katolik Santo Paulus Ruteng dan Sekolah Tinggi Pastoral Santo Sirilus Ruteng. Keduanya adalah perguruan tinggi milik Keuskupan Ruteng. Juga gedung-gedung sekolah menengah, biara-biara, panti asuhan, dan gedung-gedung lain yang dikelolah oleh Gereja. Paling tidak bangunan-bangunan fisik itu mempertontonkan ruang scene dari sebuah kota Ruteng yang khas Gereja Katolik; menegaskan bahwa semuanya itu adalah Gereja Katolik dan Gereja Katolik adalah roh dari semuanya itu.

Ada juga ruang scene lain di sana. Sebagaimana yang terlihat, ada Bandar Udara Frans Sales Lega, yang meskipun jarang dipakai, tetapi paling tidak memperlihatkan Ruteng sebagai sebuah kota yang terhubung dengan wilayah-wilayah lain. Ada juga pertokoan dan swalayan-swalayan yang cukup besar untuk kota seukuran itu. Ada hotel-hotel yang seakan-akan menjadi tanda bahwa kota ini adalah milik siapa saja.

Akan tetapi, sebagaimana Praha dan Den Haag, Ruteng juga adalah “sebuah kota yang tak terbiasa dengan malam”. Ruteng “mengandung paras yang pura-pura”. Ruteng “punya wajah yang hanya kita ingat ketika gelap, hujan, dingin, Desember; datang.” Singkatnya, ada ruang ob-scene di sana, “yang disingkirkan seperti najis”.

Kota Ruteng mulai dibangun secara sitematis oleh Belanda pada tahun 1917. Mereka datang bersama dengan para misionaris Katolik dalam agenda politik etis Belanda. Baru kemudian datanglah para pedagang dan orang-orang yang bekerja pada birokrasi kolonial, pemerintah dan juga Gereja Katolik hari ini.

Saya tidak hendak masuk ke dalam pembahasan mengenai sejarah. Akan tetapi, dari sejarah yang sepintas itu diperlihatkan peran besar dan kedudukan penting Gereja Katolik di kota Ruteng. Itulah kenapa bagi saya, pembahasan mengenai fisik kota Ruteng mau tidak mau harus dikaitkan dengan keberadaan Gereja Katolik. Dan itu dijabarkan dalam porsi yang cukup banyak karena dalam banyak hal, fisik kota itu telah banyak dipengaruhi oleh institusi tersebut. Ini bisa tampak dari keberadaan Gereja Katedral lama yang berdiri kurang lebih di pusat kota, keberadaan gereja-gereja di tiap sudut kota, sampai pada bagaimana institusi pendidikan, mulai dari pendidikan sekolah menengah hingga perguruan tinggi, banyak dipegang oleh Gereja.

Birokrasi pemerintahan pun secara umum diduduki oleh orang-orang Katolik. Ada kesan kemudian bahwa umat adalah penduduk dan penduduk adalah umat. Atau pemimpin agama adalah birokrat dan birokrat adalah pemimpin agama. “Pencampur-adukan” semacam inilah yang barangkali telah banyak menimbulkan berbagai persoalan di Manggarai, terutama dalam soal perumusan kebijakan publik. Misalnya, seolah-olah ketika seorang pemimpin agama seperti imam atau uskup senada dengan para pemimpin di birokrasi, maka rakyat atau umat pun harus mengikutinya. Kasus proyek panas bumi atau geothermal di Wae Sano saya pikir jatuh ke dalam kecenderungan semacam itu. Seolah-olah ketika Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat menyatakan setuju dengan pemerintah agar proyek itu dilanjutkan, maka umat pun harus taat.

Selain itu, gedung-gedung tinggi milik Gereja Katolik itu―dan barangkali juga gedung-gedung birokrasi pemerintahan yang banyak dipegang oleh orang-orang Katolik―dalam banyak hal menyembunyikan relasi eksploitatif yang telah diwariskan sejak zaman kolonial Belanda. Saya teringat akan sebuah pertanyaan dari seorang akademisi, Emil Tolo, ketika beberapa waktu lalu berdiskusi perihal tulisan saya yang lainnya tentang Kota Ruteng di Tabeite.com [Baca: Jangan Norak! Ruteng Itu Biasa-Biasa Saja]. Beliau bertanya: “Mengapa hanya gedung-gedung ini yang menjulang?”

Pertanyaan itu bagi saya membongkar relasi eksploitatif semacam itu dan beliau rupanya menjawab pertanyaannya sendiri dengan mengatakan bahwa “relasi ekspolitatif sejak zaman kolonial itu menghasilkan hanya sedikit oligarki agama, birokrat dan pengusaha yang tidak patut dibanggakan dan, karena itu, lebih pantas membanggakan Elar atau desa tempat kelahiran Motang Rua yang melawan penjajah.”

Buat saya, relasi eksploitatif semacam itu jelas ada. Kita menyaksikan itu terjadi di hadapan mata dan kepala kita sendiri, tetapi sebagaimana GM, kita menyingkirkannya “seperti najis”. Bahkan dalam banyak hal, orang-orang kita menjadi terlalu nyaman dengan “yang najis” itu, dan menjadi terbiasa dengannya. Demi kenyamanan dan keamanan posisi, banyak orang tidak mau melawan relasi eksploitatif semacam ini. Di kampus, misalnya, mahasiswa enggan melaporkan pelecehan seksual yang menimpa dirinya karena tidak ingin ia dikeluarkan dari kampus itu. Di dalam birokrasi, orang rela “menjilat” pemimpinnya demi mengamankan posisinya. Singkat kata, orang-orang tidak sadar bahwa ketika “yang najis” itu disingkirkan ia mulai mengalami keterasingan dari kegiatannya.

Juga di dalam institusi pendidikan di Kota Ruteng yang banyak dipegang Gereja itu, kita hanya bisa menduga-duga soal “najis yang disingkirkan” itu. Kita hanya bisa menduga-duga bahwa di balik gedung Universitas Katolik Santo Paulus Ruteng yang tinggi itu atau di balik gedung Sekolah Tinggi Pastoral Santo Sirilus itu, ada “kebusukan” yang disembunyikan: pelecehan seksual, eksploitasi dosen atas mahasiswa, diskriminasi senior atas junior, kaum terdidik yang baper plus ofensif, akademisi yang mempertaruhkan peran intelektualnya demi mengejar uang, ataupun cendekiawan yang hanya pandai berteori, tetapi jauh dari realitas yang terjadi di tengah masyarakat Manggarai.

Atau di balik sekolah-sekolah menengah yang banyak dipegang Gereja Katolik, ada persoalan mengenai biaya sekolah yang mahal, yang tidak bisa dijangkau oleh umat, anak sekolah yang hamil, atau barangkali ada kebodohan dan keterbelakangan yang disembunyikan di balik nama besar sekolah dan alumni di masa lalu.

Di balik “gelar” Kota Ruteng sebagai “Kota Pelajar” pun masih ada persoalan mengenai masyarakat yang buta huruf, masyarakat yang malas membaca, yang lalu menjadikan media sosial sebagai wadang untuk adu baper dan saling menyerang satu dengan yang lain. Ada kebebasan berpendapat di sana, tetapi itu hanya akan membuat demokrasi tereduksi menjadi democrazy.

Lepas dari persoalan ruang ob-scene Kota Ruteng yang dikaitkan dengan keberadaan Gereja Katolik itu, ada persoalan lain di Kota Ruteng yang juga terus “disingkirkan seperti najis”. Di balik Bandar Udara Frans Sales Lega itu, ada persoalan buruknya infrastruktur jalan di wilayah-wilayah lain yang sengaja disembunyikan oleh para pemangku kebijakan yang hanya menetap di Kota Ruteng.

Di balik hiruk-pikuk perekonomian di toko-toko dan swalayan-swalayan, ada persoalan mengenai nasib orang Manggarai berhadapan dengan dominasi kaum pendatang. Orang asli Manggarai hanya menjadi penonton dan konsumen di tengah geliat ekonomi yang sibuk dijalankan oleh orang-orang lain dari luar Manggarai. Hal itu paling tampak dalam urusan jual-beli, terutama makanan atau kuliner, sehingga dalam banyak kesempatan saya sering menyebutnya sebagai “penjajahan atas lidah” orang Manggarai. Akibatnya, perekonomian menjadi mandek untuk orang-orang Manggarai.

Atau di balik dingin, tenang dan teduhnya Kota Ruteng itu, ada persoalan lingkungan akut yang tengah menggerogoti kota: sampah yang merusak lingkungan, kekurangan air bersih, pencemaran air, kelaparan, dan seterusnya.

Tapi di atas semua itu, setiap kota selalu punya ruang scene dan ob-scene. Dan di Kota Ruteng, saya dan siapa pun itu, tidak ingin ruang scene itu menyembunyikan yang ob-scene, tidak ingin yang ob-scene itu terus-menerus disingkirkan. Ia barangkali najis, tapi ia harus segera disadari, disembuhkan, dan dijamah. Ia ada di sana tidak untuk disingkirkan. Sebab jika ia terus disingkirkan, ia senantiasa akan menjadi sebuah kebusukan, yang lama-kelamaan akan merusak seisi kota, betapa pun hebat dan megah kota itu. Tapi jika ia dijamah dan disembuhkan, ia akan menjadi seperti bunga yang bermekaran: indah dan semerbak.

***

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA