Pada Kasus Dugaan Bunuh Diri, Wartawan Buat Apa?

Keprihatinan terhadap kasus bunuh diri yang terus terjadi, terutama bagi media massa yang memiliki fungsi sosial dan fungsi edukatif, harus diekspresikan secara bertanggung jawab dan etis sesuai dengan bidang profesi yang digeluti.

Oleh: Pater Avent Saur, SVD

Pada Kamis, 16 Februari 2023, saya mendapat kabar tentang kasus dugaan bunuh diri yang menimpa seorang tokoh agama Katolik di wilayah Manggarai, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabar itu dalam pelbagai bentuk, salah satunya tautan media massa online.

Ketika mencari di Google.com tentang kasus itu, saya menemukan 48 media massa yang memberitakannya. Tak satu pun media massa yang memenuhi Peraturan Dewan Pers Nomor 2/Peraturan-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri.

Ketika saya menghubungi beberapa media itu (tidak semua) untuk melihat kembali bentuk pemberitaannya sambil menengok ke Peraturan Dewan Pers, hanya satu media massa yang menyadari kekeliruan dan kekurangannya, kemudian menghapus berita itu. Patut saya sebutkan saja, GardaNTT.id (terima kasih!).

Tentu bukan hanya kasus teranyar ini. Sudah sekian banyak kasus bunuh diri yang ditemukan di media massa baik cetak maupun online dan elektronik.

Beberapa media harian dan mingguan nasional sangat ketat memperhatikan pendoman dewan pers tersebut, bahkan wartawan menyertakan informasi dan nomor kontak lembaga profesional baik psikiater dan psikolog klinis, maupun para pemeduli yang konsen pada masalah kesehatan jiwa.

Beritanya diulas mendalam, dihubungkan dengan edukasi kesehatan jiwa. Bukan breakingnews sebagaimana terjadi pada berita kasus teranyar (tanpa konfirmasi kepada pihak yang empunya kasus).

Berita media-media nasional kredibel itu pun mengandung makna dan berfaedah buat masyarakat konsumen.

Kenapa Harus Patuh?

Kenapa media massa harus patuh pada peraturan itu? Sebab, pertama, sebagaimana dijelaskan secara terang dalam peraturan itu, kejadian dugaan bunuh diri atau upaya bunuh diri adalah sebuah masalah kesehatan jiwa yang mesti mendapat kepekaan semua kalangan termasuk pers.

Kedua, kejadian dugaan bunuh diri atau upaya bunuh diri bukan merupakan sebuah tindakan kriminalitas, apalagi tindakan sensasional, melainkan sebuah ekspresi hilangnya harapan hidup atau hilangnya kemampuan untuk mengendalikan diri dari dorongan penghilangan diri oleh diri sendiri.

Kalaupun kemudian tindakan bunuh diri dikembangkan oleh penegak hukum dan menjadi kasus korban kriminalitas, itu pun Dewan Pers sudah menegaskannya secara jelas dalam peraturan itu; kapan itu ditulis sebagai berita, bagaimana bentuk berita itu, dan apa saja substansi yang wajar dalam berita itu.

Ketiga, media massa memilik fungsi sosial dan fungsi edukasi. Fungsi sosial untuk mengendalikan kemungkinan masalah berikutnya di tengah masyarakat. Fungsi edukasi untuk memberikan pencerahan kesehatan jiwa dan gangguan jiwa kepada masyarakat.

Keempat, lebih daripada itu semua, media massa bukan lembaga yang kebal hukum. Karena itu, harus menaati pedoman yang dilaksanakan dalam setiap pemberitaan kasus dugaan bunuh diri atau kasus upaya bunuh diri.

Media massa yang melanggar peraturan itu harus dihadapkan pada proses hukum yang tentu sekian sering keluarga korban bunuh diri merasa tak mampu mengikuti proses itu sekalipun di sana jelas tertulis denda pelanggar, maksimal Rp500.000.000 (jika media massa tidak melayani hak jawab terhadap keluhan pihak korban).

Nah siapa atau lembaga apa yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab etis untuk mengontrol perilaku media? Tentu Dewan Pers!

Namun sungguh dan sangat disayangkan, kewajiban dan tanggung jawab itu tidak dijalankan dengan benar. Dewan Pers peduli pada masalah kesehatan jiwa sekurang-kurangnya sejak peraturan itu dibuat, 2019, kemudian mengabaikan kelanjutan kewajiban dan tanggung jawabnya.

Dewan Pers membiarkan pelaku media massa mengontrol dirinya sendiri dan membiarkan masyarakat selektif dalam mengonsumsi berita yang notabene bertebaran tak terkendali.

Wartawan Buat Apa?

Poin yang paling penting adalah apa yang wartawan dan pers lakukan di hadapan kasus-kasus dugaan bunuh diri?

Kiranya tidak perlu merumuskan ulang apa yang telah digariskan oleh Dewan Pers dalam pendoman itu. Sebab tampaknya sudah sangat jelas dan sederhana, mudah dipahami, tinggal diaplikasikan.

Ada 20 soal. Satu, “wartawan mempertimbangkan secara saksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri. Kalaupun berita dibuat, harus diarahkan kepada concern atas permasalahan yang dihadapi orang yang bunuh diri yang sekaligus adalah korban, bukan justru mengeksploitasi kasus tersebut sebagai berita yang sensasional.”

Selain kita sulit melihat manfaat dari berita kasus teranyar, kemasan kabar sebagai Breakingnews adalah kesalahan telak media massa (sekurang-kurangnya dalam kasus teranyar).

Dua, “pemberitaan bunuh diri sebaiknya diletakkan atau diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa dan bukan isu kriminalitas karena kasus bunuh diri bukan disebabkan oleh faktor tunggal.”

Dalam pencarian saya, terkait kasus teranyar, hanya satu media yang menyelipkan isu kesehatan jiwa dalam pemberitaannya, juga tidak mengarahkan pembaca kepada faktor tunggal tindak bunuh diri. Media itu patut saya sebutkan, Floresa.co.

Tiga, “wartawan harus menyadari bahwa pemberitaan kasus bunuh diri dapat menimbulkan perasaan traumatik pada keluarga pelaku, teman, dan orang-orang yang mengenal pelaku.”

Kalau wartawan sungguh menyadari ini, maka pengetahuan dan perhatian pada pedoman Dewan Pers adalah sebuah kewajiban etis jurnalistik. Tidak menulis dan memublikasikan berita sebelum menengok kode etik! Tidak menulis dan memublikasikan berita sebelum semua informasi dipastikan benar dan memadai.

Saya menemukan sekian banyak media massa yang tidak memiliki wartawan di lokasi kejadian, atau sekurang-kurangnya tidak memiliki wartawan di wilayah kejadian, secara serampangan mengutip berita-berita media lain. Bahkan saya menemukan media yang salah menulis nama korban. Sungguh memprihatinkan integritas dan kualitas media massa seperti ini.

Empat, “wartawan menghindari pemberitaan yang bermuatan stigma kepada orang yang bunuh diri atau pun orang yang mencoba melakukan bunuh diri.”

Selama peduli pada kesehatan, sejak 2014, saya berjumpa dengan sekian banyak orang yang sedang bergelut dengan dorongan dan niat untuk bunuh diri. Salah satu hal yang mereka ucapkan adalah “dorongan itu makin kuat bila saya membaca berita kasus bunuh diri. Orang katakan, bunuh diri ini konyol, dan lain-lain. Mereka tidak tahu apa yang saya gumuli terkait dorongan itu.”

Betul! Sekian banyak media massa menyudutkan tindakan bunuh diri sebagai aksi yang konyol, dan pelbagai pernyataan negatif lainnya. Hal ini menyulitkan bahkan menghalangi orang yang sedang mengalami gangguan jiwa untuk curhat kepada orang-orang terdekat. Takut dibilang konyol atau stigma dan cap-cap negatif lainnya.

Mereka pun memendamkannya di kedalaman diri, bergumul dengan diri sendiri. Ketika energinya terkuras, mereka menempuh jalan yang sulit itu.

Lima, “wartawan menghindari penyebutan identitas pelaku (juga lokasi) bunuh diri secara gamblang untuk menghindari aib atau rasa malu yang akan diderita pihak keluarganya. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.”

Hal Praktis Lain

Bunyi poin lima di atas dan poin-poin berikut rupanya tak perlu saya terangkan dan mencari contoh. Sebab rasanya semua itu jelas, mudah dipahami oleh orang yang sehat akalnya dan peka nuraninya terhadap masalah kesehatan jiwa.

Enam, “wartawan menghindari penyebutan lokasi tertentu seperti jembatan, tebing, gedung tinggi yang pernah dijadikan lokasi bunuh diri untuk menghindari aksi pengulangan.”

Tujuh, “dalam melakukan wawancara terkait aksi bunuh diri, wartawan harus mempertimbangkan pengalaman traumatis keluarga atau orang terdekat.”

Delapan, “dalam memublikasikan atau menyiarkan berita yang menayangkan gambar, foto, suara atau video tentang kasus bunuh diri, wartawan perlu mempertimbangkan dampak imitasi atau peniruan (copycat suicide) di mana orang lain mendapat inspirasi dan melakukan aksi peniruan, terutama terkait tindakan bunuh diri yang dilakukan pesohor, artis, atau tokoh idola.”

Sembilan, “wartawan menghindari ekspos gambar, foto, suara atau video korban bunuh diri maupun aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan perasaan traumatis bagi masyarakat yang melihat atau menontonnya.”

Sepuluh, “wartawan pers penyiaran menghindari siaran langsung terhadap orang yang sedang berniat melakukan aksi bunuh diri.”

Sebelas, “wartawan menghindari penyiaran secara detail modus dari aksi bunuh diri, mulai dari cara, peralatan, jenis obat atau bahan kimia, maupun teknik yang digunakan pelaku. Termasuk tidak mengutip secara detail informasi yang berasal dari dokter maupun penyidik kepolisian atau pun membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut.”

Dua belas, “wartawan menghindari pengambilan bahan dari media sosial baik foto, tulisan, suara maupun video dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.”

Tiga belas, “wartawan menghindari berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah melakukan bunuh diri.”

Empat belas, “wartawan menghindari pemberitaan yang mengambarkan perilaku bunuh diri sebagai respons “alami” atau “yang dapat dipahami” terhadap masalah, misalnya, kegagalan mencapai tujuan penting, kesulitan hubungan atau krisis keuangan.”

“Wartawan tidak menguraikan perilaku bunuh diri sebagai tindakan tragis sekaligus heroik oleh seseorang yang memiliki segala sesuatu dalam hidup, seperti karier, posisi, dan kekayaan.”

Lima belas, “pers menghindari eksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri, antara lain dengan cara mengulang-ulang pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.”

Enam belas, “wartawan menggunakan secara hati-hati diksi dan istilah, dan menghindari penggambaran yang hiperbolik. Data statistik harus diperlakukan hati-hati dengan sumber yang jelas.”

Tujuh belas, “pers menghindari pemuatan atau penayangan berita mengenai bunuh diri pada halaman depan, kecuali penulisan mendalam mengenai situasi kesehatan masyarakat dan bunuh diri hanya ditulis sebagai salah satu misal.”

Delapan belas, “wartawan diperbolehkan menulis dan menyiarkan berita lebih detail dengan fokus untuk pengungkapan kejahatan di balik kematian yang semula diduga sebagai kasus bunuh diri, karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.”

Sembilan belas, “dalam hal pers atau wartawan memutuskan untuk memberitakan kasus bunuh diri, maka berita yang ada harus diikuti dengan panduan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa melakukan hal serupa seperti referensi kepada kelompok, alamat, dan nomor kontak lembaga di mana orang-orang yang mengalami keputusasaan dan berniat bunuh diri bisa memperoleh bantuan.”

“Wartawan harus meminta pendapat para pakar yang relevan dan memiliki empati untuk pencegahan bunuh diri.”

Dua puluh, “pemberitaan tentang bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan hal-hal gaib, takhyul atau mistis.”

Untuk Kita Semua

Tentu bukan hanya untuk saya, hal-hal ini disentil, melainkan untuk kita semua. Bersama-sama, selain kita ingin mengendalikan kasus bunuh diri di wilayah kita masing-masing, juga membangun peradaban yang lebih baik, khususnya dalam layanan kesehatan jiwa di tengah keterbatasan tenaga profesional dan fasilitas kesehatan jiwa.

Kita semua tentu prihatin atas kasus demi kasus yang terjadi. Hendaknya keprihatinan itu, terutama bagi media massa yang memilik fungsi sosial dan fungsi edukatif, diekspresikan secara bertanggung jawab dan etis sesuai dengan bidang profesi yang digeluti.

Pater Avent Saur, SVD adalah Pendiri Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa Provinsi NTT


Jika Anda merasakan dorongan atau niat bunuh diri, silahkan menghubungi pihak-pihak yang bisa membantu. Salah satunya adalah Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa NTT, yang bisa dihubungi lewat kontak ini: 085238960323 (Pater Avent Saur, SVD).

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya