Polemik Tanah Bandara di Matim: Warga Nyaris Perang Tanding

Baca Juga

Di lokasi, mereka memediasi dua kelompok warga. Dari suku Suka, yang mewakili adalah Matius Wewe dan Alex Rato. Sementara dari suku Motu adalah Anton Pandong, H. Syafrudin Sera, Pit Pandong dan Lipue Nggajing.

Matius Wewe menyatakan, kehadiran Suku Suka di Tanjung Bandara pada 7 Februari lalu tidak memiliki tendensi apapun.

Kata dia, upacara adat yang mereka gelar bertujuan memberi penghormatan pada nenek moyang mereka dan sekaligus mengenang bahwa tempat tersebut adalah bekas benteng tua yang harus dijaga.

Sementara itu, Anton Pandong menegaskan, pihaknya yang adalah pewaris Suku Motu berhak atas tanah ulayat di Tanjung Bendera.

“Kami meminta agar bendera yang sudah tertancap di atas tanah Tanjung Bendera ini harus dicabut. Apabila ada kegiatan di tanah ini haruslah melalui izin kami,” tegasnya.

Serma Subandi, Danpos Wae Lengga dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa pihaknya tidak menginginkan adanya benturan fisik antara suku Suka dengan suku Motu.

“Saya selaku Danpos Wae Lengga menghimbau agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan dengan kepala yang jernih,” harap Subandi.

Dalam musyawarah damai tersebut kedua suku berhasil menyepakati untuk mencabut bendera yang dipajang oleh suku Suka. Setelah, suasana kemudian kondusif.

Polemik terkait lahan bandara seluas 100 hektar itu bukan kali ini mencuat ke permukaan.

Pada pertengahan tahun lalu, di tengah klaim pemerintah bahwa tanah itu telah diberikan gratis oleh suku Motu, sejumlah warga mengaku mereka sebenarnya tidak merelakan lahan itu.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini