Hal itu pertama-tama disebabkan oleh faktor atau tantangan akibat dinamika politik pasca pemilihan daerah Desember 2015. Berlangsungnya pilkada kali lalu ditandai polarisasi antara kedua kubu yakni Deno-Madur dan Hery-Adolf. Salah satu fakta mengerucutnya kubu-kubuan itu terlihat dalam aksi sejumlah orang yang mendatangi rumah Hery-Nabit pada hari dimana selebrasi kedatangan Deno-Madur dari Kupang.
Tantangannya, apakah Deno-Madur mampu melakukan rekonsiliasi politik? Tentu mudah dikatakan dan tak mudah dilakukan. Deno-Madur terpilih bermodalkan suara dari sekitar separuh lebih dari total jumlah pemilih di kabupaten Manggarai. Dan tugasnya, ia harus berusaha meyakinkan bagaimana separuh lain penduduk di Manggarai untuk percaya kepada kepemimpinannya. Itu tidak mudah.
Lebih dari itu, di tengah ketercabikan karena pilihan politik, Deno-Madur perlu merangkul orang-orang yang profesional entah dari lawan politik semasa pemilukada. Guna menjadi kepala administrasi yang baik saja, tidak hanya perlu transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga memerlukan tenaga-tenaga yang profesional. Dan tentu, tenaga-tenaga profesional itu ada yang berada di belakang barisan kubu Hery-Adolf selama masa pemilukada.
Lantas apakah Deno-Madur mampu merangkul mereka kembali? Jika ia dapat merangkul, apakah itu dapat diterima oleh tim suksesnya selama masa pemilukada? Ini menjadi tantangan serius bagi Deno-Madur.