Lalu, bagaimana dengan kebijakan pertambangan dan perusahaan air minum di kota Ruteng yang sempat menarik perhatian masyarakat Manggarai? Tak sebesar efek kerusakan yang diakibatkannya, sumbangan dari sektor tambang dan perusahaan air minum sungguh mengejutkan. Tidak terlalu signifikan terhadap PAD.
Dari sektor pertambangan, pada tahun 2014 pemerintah hanya menerima sebesar Rp 246,4 juta untuk PAD. Padahal, hingga akhir tahun 2014, pemerintah daerah Manggarai mengeluarkan 19 Izin Usaha Pertambangan. Melalui IUP, perusahaan-perusahaan pertambangan mendapat konsesi lahan hampir 18.800 hektar. Bayangkan kerusakan alam yang masif hanya dibayar dengan Rp 246,4 juta. Daripada menyibukan diri dengan meningkatkan pendapatan dari sektor kelas menengah melalui penggenjotan ekonomi kreatif, pemerintah daerah malah mendorong akumulasi PAD melalui cara instant dengan penerbitan IUP.
Apakah tak ada jatah untuk pejabat birokrat dari perusahaan tambang? Dalam bukunya Monster Tambang (2013), Ferdy Hasiman mengatakan bahwa pertambangan merupakan lahan basah atau sumber uang saku bagi kepala daerah di seluruh Indonesia di era desentralisasi. Tak jarang, IUP diperlakukan barang jualan. Satu IUP, ia menyebutkan, bisa dijual seharga satu milliar. Jika demikian praktiknya, maka operasi tambang lebih menguntungkan pejabat daerah ketimbang untuk masyarakat.
Masalah serupa terjadi dengan perusahaan air PT Nampar Nos di Ruteng. Tercatat tahun 2015, pendapatan dari perusahaan ini hanya sebesar Rp 42 juta. Bagi perusahaan sebesar PT Nampar Nos, tidaklah masuk akal pendapatan untuk daerah sedemikian kecil.