‘Cari Ikan Sudah Susah,’ Nelayan Transpuan di Sikka Berjibaku Hadapi Dampak Perubahan Iklim

Tangkapan sudah semakin sedikit, kendati peralatan yang digunakan sudah lebih modern

Oleh: Hendrika Mayora Viktoria, Editor: Ryan Dagur

Floresa.co – Lahir dari orang tua keturunan Suku Bajo yang terkenal dengan tradisi melautnya, Mak Lisa, seorang transpuan, memilih jadi nelayan, yang dalam bahasa Sikka dikenal sebagai lempara.

Pekerjaan itu ia lakoni sejak berhenti sekolah usai tamat Sekolah Menengah Pertama.

Bersama belasan transpuan lainnya yang mendiami Kampung Wuring, saban hari ia mencari rezeki dengan melaut di perairan Laut Flores. 

Kampung Wuring berada di pesisir utara Pulau Flores, masuk Kelurahan Wolomarang, Kecamatan Alok Barat, sekitar tujuh kilometer arah barat Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka.

Berdiri di sela-sela jaring yang bergelantungan di sebatang balok, melintang di depan sebuah rumah panggung di Wuring, Mak Lisa mengungkapkan kegelisahannya tentang “cari ikan yang sudah susah.”

“Saya sangat cemas dengan tangkapan yang semakin menurun setiap hari,” kata transpuan 54 tahun ini, yang selalu mengenakan turban merah.

Situasi yang Sudah Jauh Berbeda

Menurut Mak Lisa, sekitar tiga dekade lalu, ia dan rekan-rekannya terbiasa mencari ikan menggunakan cara-cara tradisional seperti dengan pancing dan jaring pukat. Perahu yang digunakan pun masih memakai dayung, bukan yang bermesin.

Jumlah nelayan yang juga masih sedikit di Wuring membuat mereka bisa menangkap ikan dalam jumlah yang banyak.

“Bersama sekitar 12 teman kami biasa ikut kapal seorang juragan ikan. Dalam sehari kami bisa memperoleh 200-300 kilogram ikan,” katanya.

Dengan tangkapan demikian, ia bisa mendapat penghasilan sebesar Rp50.000-100.000 sekali melaut, yang pada 1990-an lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kini, katanya, kondisinya berbeda, meskipun mereka sudah menggunakan peralatan yang lebih modern seperti perahu motor, yang bisa menjangkau wilayah yang lebih jauh.

“Dengan fasilitas yang lebih modern, hasil tangkapan ikan justru lebih sedikit,” katanya.

Berbeda dengan dahulu, yang “dapat ikannya mudah” tanpa harus melaut dengan jarak yang jauh, sekarang, bahkan ketika harus berkilo-kilometer dari bibir pantai, “kadang dapat, kadang tidak.”

Cerita senada juga disampaikan Mak Inul, transpuan 52 tahun di Wuring, yang juga menjadi nelayan sejak remaja.

“Sekarang lokasi untuk menangkap ikan sudah jauh dan tidak pasti. Ikan juga susah didapat,“ katanya.

Mak Inul, 52 tahun, sejak remaja jadi nelayan. (Hendrika Mayora Viktoria)

Menurut Mak Lisa, kini, “hasil tangkapan ikan tidak sampai 100 kilogram dalam sekali melaut.”

Hasil tangkapan itu kemudian harus dibagi lagi bersama rekan-rekannya dalam satu kapal, yang jumlahnya bisa belasan orang.

“Sekarang untuk mendapatkan Rp100.000 per sekali tangkap saja sudah sulit,” katanya.

Mengingat tidak setiap hari melaut, dalam sebulan kini ia mendapat penghasilan antara Rp. 500.000-1.000.000.

Dampak Perubahan Iklim

Selain karena jumlah nelayan yang terus bertambah, termasuk dari wilayah lain yang kerap memasuki perairan di dekat Wuring, Mak Lisa menyebut penurunan itu terjadi karena perubahan iklim yang memicu cuaca kian tidak menentu.

Ketidakpastian cuaca membuat mereka susah memprediksi kapan waktu yang tepat untuk melaut.

Mak Lisa bertutur, beberapa kali mereka memutuskan untuk melaut karena pagi hari cuacanya tampak cerah.

Namun, “setibanya di tengah laut, mendadak muncul awan tebal dan suasana jadi gelap.”

“Tidak lama kemudian hujan turun, disusul dengan gempuran petir yang menggulung di atas langit,” katanya.

Akhirnya, dia dan rekan-rekannya memutuskan untuk kembali ke darat.

“Hal ini membuat kami rugi biaya, tenaga dan waktu,” katanya.

Pengalaman seperti itu, kata Mak Lisa, tidak terjadi pada tiga dekade lalu, ketika mereka selalu bisa memprediksi waktu yang tepat untuk segera menangkap ikan.

“Kalau dulu kami dapat membaca musim dan angin serta memutuskan waktu yang tepat untuk melaut,” katanya.

“Sekarang, dengan dampak perubahan musim, kami harus berhati-hati.”

Bencana banjir rob yang terjadi beberapa tahun terakhir melanda pesisir Sikka juga menjadi masalah lain, kata Mak Lisa.

Banjir itu, jelasnya, “menggenangi rumah warga” di Wuring, yang umumnya berada di bibir pantai.

Banjir rob, yang memicu abrasi, menjadi gejala umum yang terjadi di garis pantai hampir semua pulau di NTT, kata Yuvensius Stefanus Nonga, Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang Nusa Tenggara Timur.

Pemicunya, kata dia, gelombang pasang yang terus naik seiring naiknya permukaan laut akibat perubahan iklim.

Hari Suprayogi, Direktur Sungai dan Perairan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat 272 kilometer dari total 5.782 kilometer garis pantai di NTT dinyatakan kritis akibat abrasi.

Jumlah itu tersebar di Pulau Timor,  Flores, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan sejumlah pulau-pulau kecil lainnya. Abrasi di NTT, kata dia, telah bertambah dalam 10 tahun terakhir, meski tidak merinci angka peningkatannya per tahun.

Menurut Mak Lisa, banjir ro itu membuat mereka tidak punya pilihan apa-apa.

Selain tidak bisa melaut, “kami juga harus mengungsi ke lokasi yang aman.”

Suasana Kampung Wuring di Kabupaten Sikka. (Hendrika Mayora Viktoria)

Tumpuan Keluarga

Mak Lisa dan Mak Inul sama-sama tulang punggung keluarga.

Mak Lisa merupakan sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya sudah meninggal. Kini dia hidup bersama ibu yang telah berusia lanjut, kedua adik perempuan beserta keponakan-keponakannya. Suami dari kedua adiknya sudah lama merantau ke Kalimantan, bekerja di perkebunan sawit.

Dengan kondisi demikian, Mak Lisa mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga.

Mak Inul juga sama. Ia berjuang membesarkan orang tua dan keponakan-keponakannya.

Dengan kondisi yang kian sulit, para nelayan transpuan seperti Mak Lisa dan Mak Inul mencari pekerjaan sampingan.

“Kami memutuskan untuk mencari uang tambahan seperti menjadi pekerja di salon, menjadi penjahit, maupun sebagai penyanyi dangdut,” kata Mak Lisa.

Pekerjaan semacam ini, kata dia, tidak mereka lakoni pada tahun-tahun silam, saat mereka bisa mencukupi kebutuhan dari melaut.

Dengan gaya khasnya, Mak Lisa selalu mengenakan turban merah. (Hendrika Mayora Viktoria)

Diskriminasi Karena Identitas

Menjadi nelayan dan berstatus sebagai transpuan, tidaklah mudah bagi keduanya di tengah masyarakat Flores yang umumnya masih diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual, seperti transpuan. Namun, mereka berusaha tetap bertahan sembari menegaskan identitas mereka.

Mak Lisa berkata, sejak kecil ia merasa berbeda dari laki-laki pada umumnya. Ia terbiasa bermain dengan perempuan, ketimbang laki-laki. “Saat bermain masak-masakan, saya melakoni sosok ibu,” katanya.

Statusnya itu tidak mudah diterima keluarganya. “Beberapa kali rambut saya dibotaki oleh ayah untuk membuktikan bahwa saya tetaplah seorang laki-laki.”

Namun ia berkata berusaha menjadi diri sendiri, kendati mendapat banyak cemoohan.

Kepada ibunya yang pernah berujar bahwa pilihannya sebuah dosa, ia berkata suatu hari: “Mama melarang saya menjadi seorang transpuan, tapi Mama tidak berdosa. Biarlah saya yang menanggung dosa saya sendiri.”

Penolakan tidak hanya dari keluarga. Ketika usia remaja dan menjual ikan di Pasar Alok Maumere, Mak Lisa sering mendapat beragam komentar bernada olokan.

“Eh itu ada banci jual ikan,” begitu ucapan yang masih diingatnya.

Ada juga yang berkomentar, “Kok, banci juga bisa melaut,” yang selalu terngiang di benaknya.

Berdaya di Tengah Situasi Sulit

Masyarakat Kampung Wuring yang rata-rata berasal dari suku Bajo dan Bugis merupakan minoritas di Kabupaten Sikka.

Kondisi itu membuat mereka minim mendapatkan perhatian dari pemerintah, kata Mak Lisa.

Ia mengaku, meski kondisi ekonomi pas-pasan, mereka tidak pernah mendapatkan bantuan atau dampingan apapun, termasuk saat kehidupan mereka makin sulit saat ini.

“Kami tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik itu berupa pukat, perlengkapan salon maupun untuk pemenuhan hak dasar lainnya,” katanya.

Ia menjelaskan, sering mendapat penjelasan dari aparat pemerintah setempat bahwa mereka tidak digolongkan sebagai kelompok rentan.

Kendati demikian, kondisi ini tidak memadamkan semangat Mak Lisa bersama rekan-rekan transpuan Wuring lain untuk berkarya di tengah masyarakat. Ia menyebut hal itu merupakan bagian dari upaya agar keberadaan mereka bisa diterima masyarakat.

Sejak 2015, Mak Lisa mulai berkecimpung sebagai kader Posyandu, yang membantu para perawat dan bidan memantau tumbuh kembang balita di Wuring.

Selain itu, mereka juga terlibat dalam Dasa Wisma, sebuah program pengembangan ekonomi rumah tangga, agar baik transpuan maupun warga lainnya dapat berdaya di tengah himpitan ekonomi dan perubahan musim yang semakin tidak menentu. 

Mereka juga tergabung sebagai anggota Warga Peduli AIDS, bagian dari program penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di tingkat kecamatan.

“Kami mensosialisasikan informasi seputar HIV/AIDS dan menyelenggarakan VCT secara sukarela kepada warga Wuring,” katanya, merujuk pada Voluntary Counseling and Testing, serangkaian tes untuk mengetahui apakah ada masyarakat yang terkena virus HIV/AIDS.

Mak Lisa dan kawan-kawan juga ikut berperan serta dalam Gerakan Pemungut Sampah, di tengah persoalan sampah yang serius di sekitar Wuring.

“Kami terlibat bersama Dinas Lingkungan Hidup untuk melakukan pemungutan sampah,” katanya.

Sampah yang berserakan di Kampung Wuring. (Hendrika Mayora Viktoria)

Dengan deretan aktivitas sosial itu, kata Mak Lisa, “kini  kehadiran kami di tengah masyarakat tidak menjadi suatu persoalan besar.”

“Kami diterima dengan baik karena telah berkontribusi baik secara ekonomi maupun sosial bagi masyarakat Wuring,” katanya.

Berharap Ada Perhatian

Dengan kondisi kehidupan mereka yang hari-hari ini makin sulit, Mak Lisa dan nelayan transpuan Wuring berharap pemerintah bisa memberikan perhatian yang sama kepada mereka, seperti halnya warga lainnya.

“Pemerintah bisa membantu kami berupa perlengkapan melaut,” sehingga tidak harus membelinya sendiri.

Dengan tangkapan ikan yang makin sulit, kata dia, mereka juga kini ingin serius merambah pekerjaan lain. 

Karena itu, kata Mak Lisa, juga butuh “perlengkapan salon yang mendukung pekerjaan kami.”

Liputan ini didukung beasiswa “Meliput Suara Perubahan Iklim dari Pinggiran,” dari Project Multatuli. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya

Warga Poco Leok Lapor Aksi Represif Aparat Polres Manggarai ke Polda NTT

Sejumlah warga mengalami luka, hingga ada yang dilarikan ke rumah sakit pada 2 Oktober

Flores Writers Festival 2024, Solidaritas Anak Muda Bali dan Nusa Tenggara Merawat Identitas Lokal

Bertema “Pena Beto,” penyelenggara mengingatkan pentingnya kembali dan membangun kampung halaman di tengah-tengah perantauan

Pemred Floresa Lapor Kasus Kekerasan oleh Aparat Polres Manggarai dan Oknum Jurnalis ke Polda NTT, Dewan Pers Beri Dukungan

Kami berharap Polda NTT menuntaskan kasus ini, sehingga tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, kata Dewan Pers

Guru dari SMA di Labuan Bajo Jadi Pemateri dalam Pelatihan Kepemimpinan SDGs Kepala Sekolah di Maluku

Sebanyak 40 kepala sekolah ikut dalam "Pelatihan Kepemimpinan SDGs dalam Mendukung Merdeka Belajar Tahun 2024”

Aktivis dan Mahasiswa Unjuk Rasa di Kupang, Gugat Aksi Represif Aparat terhadap Warga dan Jurnalis dalam Polemik Geotermal

16 elemen gerakan bergabung dalam aksi yang fokus di kantor DPRD NTT dan Polda NTT. Aksi digelar bersamaan dengan pelaporan kasus kekerasan ke Polda NTT

Tanaman Sayur Gagal Panen karena Kekeringan, Petani di Sikka Hanya Bisa Pasrah

Air untuk kebutuhan rumah tangga susah, apalagi untuk menyiram tanaman, kata warga