Warisan Pater Waser yang Terpatri di Tanah ‘Congka Sae’

Meninggal dunia pada usia 94 tahun, misionaris asal Swiss ini dikenang karena jejaknya di bidang pendidikan dan pembangunan berbagai infrastruktur di Flores barat.

Baca Juga

Floresa.co – Kalau tanpa Pater Waser, saya tidak mungkin menjadi seperti sekarang ini.”

Pastor Ansensius Guntur dari Kongregasi Scalabrinian menulis demikian di beranda Facebooknya pada 7 September, beberapa saat usai mendengar kabar Pastor Waser Ernst Anton, SVD meninggal dunia di Longko, Wangkung, Kabupaten Manggarai.

Kini bertugas di Filipina, Pastor Ansensius mengatakan memiliki kedekatan personal dengan imam misionaris asal Swiss itu yang dikenal luas dengan nama “Pater Waser.”

Pastor Ansensius sedang menempuh pendidikan di SMP St. Klaus Kuwu, sekolah yang didirikan Pater Waser kala orang tuanya yang bekerja sebagai petani tidak sanggup membayar uang sekolah dan asramanya.

“Dia lalu bersedia membiayai sekolah saya,” kata imam itu, anak kedua dari empat bersaudara, yang terancam putus sekolah dan kembali ke kampungnya di Goloworok jika tidak ada bantuan Pater Waser.

Bantuan itu ia nikmati hingga SMA, sebelum kemudian mengikuti jejak Pater Waser menjadi seorang imam Katolik dan kini misionaris di Filipina, setelah sebelumnya di Taiwan.

Sama seperti Pastor Ansensius, cerita serupa muncul di banyak beranda akun media sosial Facebook orang Manggarai ketika kabar kematian Pater Waser mulai menyebar luas.

Berdasarkan  informasi yang diperoleh Floresa dari Romo Manfred Habur, sekretaris Keuskupan Ruteng, Pater Waser menghembuskan nafas terakhir setelah sempat dirawat di RSUD Ruteng pada 21 Agustus.

“Ada cairan di paru-parunya,” kata Romo Manfred, lewat sebuah penjelasan tertulis.

Pater Waser hanya bertahan seminggu di rumah sakit, lalu meminta untuk kembali ke rumah sebuah keluarga di Longko, tempat ia selama ini beristirahat pada masa tuanya.

Umat Katolik melayati jenazah Pastor Waser Ernst Anton, SVD yang disemayamkan di Longko.

Membangun Sekolah dan Infrastruktur

Pater Waser tiba di Indonesia pada 1977 dan langsung bertugas di wilayah Keuskupan Ruteng yang kala itu dipimpin Uskup Vitalis Jebarus, SVD. 

Dengan latar belakang pernah mengelola sekolah di Swiss, sembari bertugas sebagai Pastor Paroki St. Yakobus Wangkung, ia membangun SMP St. Klaus Kuwu yang tercatat berdiri pada pada 25 September 1983.

Pada 1989, ia kemudian mendirikan SMA St. Klaus di kompleks yang sama.

Ia melebarkan perhatian ke Kabupaten Manggarai Barat pada 2003 dengan mendirikan sekolah yang memakai nama sama di Werang, Kecamatan Sano Nggoang.

Namanya melekat dengan sekolah-sekolah itu yang pada 2004 telah diserahkan pengelolaannya ke Keuskupan Ruteng di bawah Yayasan Ernesto, nama yang berupaya mengabadikan jasanya.

Ia masih menjadi pembina Yayasan itu hingga pensiun pada 2020.

Tidak hanya membangun sekolah, selama 46 tahun di Manggarai, Pater Waser juga membantu membangun rumah ibadah, baik gereja maupun masjid, juga berbagai infrastruktur.

Hampir di seluruh Manggarai Raya – wilayah yang kini mencakup tiga kabupaten, Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur – “Pater Waser dikenal sebagai ‘pastor air minum’ dan ‘pastor sak semen’” demikian menurut pernyataan Keuskupan Ruteng.

Kedua istilah itu menggambarkan kontribusi imam itu pada pembangunan jalan, jembatan dan proyek air minum bersih, hal yang masih langkah di Manggarai Raya dan belum banyak jadi sasaran perhatian pemerintah hingga tahun 2000-an.

Warisan Nilai Pater Waser

Pastor Ansensius mengatakan selama lima tahun ia mengalami hidup bersama  Pater Waser, terutama saat ia liburan sekolah.

Bersama dua rekannya yang juga dibantu imam  itu, mereka “diizinkan memakai kamar mandi yang sama dengan beliau karena keterbatasan fasilitas saat itu.”

“Kami makan semeja dengan dia, menikmati santapan yang super sederhana,” katanya.

“Setiap pagi dia merayakan Misa. Sebelum tidur, dia akan datang ke kamar kami untuk membuatkan tanda salib di dahi,” tambah Ansensius.

Ketika suatu waktu kakinya terluka, katanya kepada Floresa, Pater Waser “mencuci dan merawat luka-luka saya. Dia sangat menyayangi kami.”

Cerita baik tentang misionaris itu juga dituturkan oleh Aleksius Jana, pensiunan guru yang mengabdi di SMP-SMA St. Klaus Kuwu selama 32 tahun.

Dia makan makanan sederhana, tidak hidup mewah,” katanya.

Senada dengan cerita Pastor Ansensius tentang kedekatan dengan anak didik, ia menggambarkan Pater Waser berlaku “merangkap sebagai ibu, ayah dan guru” di sekolah dan asrama.

“Kedekatannya dengan anak-anak membuatnya menjadi sosok yang dicintai,” katanya.

Ia juga selalu mengenang pilihan sikapnya yang suka membantu dan pecinta damai.

“Kalau kami terlibat dalam perdebatan dan baku marah, ia selalu meminta agar masalahnya harus cepat diselesaikan dengan damai.”

Ia mengingat pesan imam itu; “Kalau punya masalah jangan bawa ke tempat tidur, harus selesaikan pada saat itu juga.”

Disiplin hidup, kata dia, adalah warisan lain yang ia tanamkan di sekolah St. Klaus, sebagaimana juga diakui oleh Benediktus Gara, guru lainnya.

Benediktus, yang selama 16 tahun menjadi guru St. Klaus dan  pernah menjadi Ketua Yayasan St. Klaus mengatakan, Pater Waser pekerja keras, disiplin dan konsisten dengan rencana dan karyanya.

Dampaknya dari sikap semacam itu, kata dia, memang kadang-kadang membuat ia “kurang mampu menjalin kerja sama dengan sesama imam dan biarawan” yang tidak cocok dengan prinsipnya.

Di balik itu, kata Benediktus, Pater Waser selalu membantu siswa-siswa yang tidak mampu secara ekonomi agar mendapat akses pendidikan yang layak, seperti halnya yang dialami Pastor Ansensius.

“Beliau juga mencintai budaya Manggarai, khususnya lagu-lagu dan alat musik tradisional,” katanya.

Sementara bagi Ferdy Seriang, salah satu alumni SMP-SMA St. Klaus Kuwu mengatakan, Pater Waser memang memiliki “keberpihakan soal kesempatan mengenyam pendidikan bagi anak-anak petani dan kurang mampu.”

Pater Waser, kata dia, juga menekankan pentingnya sekolah berasrama, agar peserta didik “dilatih mandiri dengan pola hidup sederhana.”

Ia menambahkan, dalam sejumlah kesempatan pembicaraan, Pater Waser memang menyampaikan keprihatinan soal gaya hidup umat, terutama konsumerisme yang sering meninggalkan nilai kearifan dan potensi sumber daya lokal.

Ferdy mengatakan, Pater Waser memang tidak hanya bicara, tetapi telah memberi contoh konkret.

Selama masa Pater Waser, kata dia, di Paroki Wangkung penerima Sakramen Ekaristi atau Komuni Pertama “hanya boleh menggunakan seragam sekolah merah putih,” bagian dari ajakan kepada umat agar tidak perlu menghabiskan uang untuk membeli baju yang mahal.

“Alat musik di gereja juga harus pakai gendang dan gong saja, kecuali gitar,” katanya menyebut dua jenis alat musik daerah Manggarai.

Hal lain, yang juga disampaikan Pater Waser adalah rencananya untuk pengembangan potensi sumber daya alam di NTT yang belum terurus dengan serius.

“Sampai di usia senja 90 tahun, beliau juga masih sering memikirkan pentingnya infrastruktur dasar bagi rakyat,” katanya.

Pater Waser juga sering memberi pesan-pesan soal toleransi persaudaraan tiga agama Samawi: Yahudi, Kristen dan Islam.

“Kita adalah saudara, kata beliau, maka alumni diberi pesan soal pentingnya hidup berdampingan dengan damai dengan agama lain.”

“Beliau adalah salah satu pastor katolik yang mendirikan masjid untuk saudara-saudari kita yang beragama Islam di Flores,” katanya.

Bagi Maxi Adil, alumni yang kini bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta di Tangerang, Banten, Pater Waser adalah sosok yang memahami masalah umat dan dia bertindak mencari solusi.

“Itu yang mendorong dia untuk membangun sekolah, membuat jalan, buka bengkel, membuat saluran air minum di berapa lampung, membuat kursus untuk anak muda, utamanya perempuan di kompleks sekolah St Klaus,” katanya.

“Sayur-sayuran yang mereka hasilkan dijual ke asrama untuk memenuhi kebutuhan sayur anak asrama. Sayangnya, bengkel dan kursus pertanian itu sudah tidak ada lagi,” tambahnya.

Ia menambahkan, warisan Pater Waser yang paling terkenal tentu saja di bidang pendidikan, yang mutunya cukup bagus, bahkan hingga tingkat Provinsi NTT.

“Kedua sekolah itu semoga semakin berkembang dalam pengelolaan Keuskupan Ruteng,” kata Maxi.

Ia mengatakan, legasinya di bidang infrastruktur, terutama pembangunan jalan yang membuat akses ke berbagai wilayah di Manggarai, seperti yang juga dilakukan misionaris asal Eropa lainnya, Pater Stanis Ograbek, SVD “membawa harapan bagi orang-orang di kampung terpencil untuk melihat dunia luar.”

“Yang patut dicatat adalah Pater Waser melakukan itu ketika pemerintah belum mampu melakukannya,” katanya.

Cinta untuk Congka Sae

Pater Waser sempat berlibur ke negara asalnya pada 2021. Namun, ia kemudian meminta kembali, meski pimpinan Ordonya berharap ia bisa beristirahat di Eropa selama sisa hidupnya.

Sebagaimana dikutip dari riwayat hidupnya, ia lebih memilih ke Manggarai dan tinggal di rumah sebuah keluarga di Longko dibanding mengikuti tawaran dari Pimpinan Provinsial SVD Eropa Tengah.

“Beberapa kali pimpinan Provinsi SVD Ruteng [juga] meminta beliau untuk pindah ke rumah induk SVD, tetapi dia tetap pada pendirian untuk tinggal di Longko,” demikian menurut dokumen itu.

Pater Waser memang tidak hanya merasa nyaman tinggal di Manggarai, tetapi juga sejak lama mendambakan menjadi Warga Negara Indonesia [WNI]

Ferdy Seriang mengatakan, proses menjadi WNI itu sudah dimulai sejak zaman Gaspar Parang Ehok sebagai Bupati Manggarai.

“Percobaan terakhir melalui yayasan bakti alumni,” katanya, “tetapi dengan persyaratan administrasi mutlak yang dilalui yaitu harus wawancara di Kupang, sementara kondisi usia beliau sudah agak susah, maka proses pewarganegaraannya terkendala.”

Meski demikian, kata Ferdy, Pater Waser sudah mendapat status semi warga negara karena mengantongi kartu izin tinggal tetap.

Akan Terus Dikenang

Pater Waser akan dimakamkan pada 10 September di Longko. Umat Katolik dari berbagai tempat terus berdatangan melayati jenazahnya.

Umat Katolik meratapi Pastor Waser Ernst Anton, SVD, misionaris asal Swiss yang banyak berjasa untuk mereka, baik di bidang pendidikan, pembangunan infrastruktur maupun program-program pemberdayaan.

Imam itu telah berkontribusi bagi banyak orang, termasuk anak-anak didiknya yang mencapai 4.761, sebagiannya sebagai imam, dokter, guru, anggota dewan dan dosen, juga imam yang bertugas di berbagai belahan dunia

Kini, SMP dan SMA St. Klaus Kuwu mendidik masing-masing 342 dan 292 murid.

Dua sekolah rintisan Pater Waser, baik St. Klaus Kuwu maupun St. Klaus Werang juga masih bertahan sebagai sekolah swasta Katolik yang mewajibkan semua peserta didik tinggal di asrama.

SMP St. Klaus, sekolah pertama yang ia dirikan hanya tinggal hitungan hari, yaitu 25 September mendatang memasuki usia pancawindu, 40 tahun.

Melihat warisan Pater Waser, bagi Romo Valerianus Paulinus Jempau, Kepala Sekolah SMA St. Klaus Kuwu, misionaris itu “telah melaksanakan misi kerajaan Allah di Manggarai, tanah Congka Sae.”

“Kerajaan Allah itu tampak dalam perjuangannya meletakkan dasar pendidikan di SMP-SMAS St. Klaus Kuwu dan Werang.

Ia mengatakan, imam itu “mengejawantahkan ajakan Yesus untuk mengikuti-Nya dengan meninggalkan segala sesuatu dan memikul salib.”

“Betapa tidak, Pater Waser meninggalkan kilau kemajuan Eropa saat itu, melepaskan keluarganya, lalu membangun fondasi pendidikan di Manggarai,” katanya.

Romo Valerianus Paulinus Jempau, Kepala Sekolah SMA St. Klaus Kuwu.

Karena itu, bagi Romo Valerianus, “kendati raganya telah pergi, rohnya tetap ada di hati keluarga besar SMP dan SMA St. Klaus Kuwu dan Werang.”

“Begitu juga di hati umat Keuskupan Ruteng,” tambahnya.

Sementara Pastor Ansensius, pengalaman berada bersama Pater Waser akan terus ia kenang.

“Terima kasih banyak atas kebaikanmu dalam hidup saya. Engkau telah menghabiskan hidupmu untuk kebaikan banyak orang,” katanya.

Fransiskus Sabar, pembina asrama SMA St. Klaus Kuwu berkolaborasi dengan Tim Floresa mengerjakan laporan ini

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini