Polisi Stop Proses Hukum Dugaan Pemerkosaan dan Klaim ‘Korban yang Paksa Pelaku,’ Pengacara Korban Sebut ‘Hingga Dunia Kiamat Pelaku Tidak Akan Mengaku’

Setelah mendengar keterangan pelaku, Polres Manggarai Barat menyimpulkan “tidak ada alasan untuk menindaklanjuti kasus itu.” Pengacara korban menilai polisi tidak paham cara penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual.

Baca Juga

Floresa.co – Polres Manggarai Barat di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengatakan tidak bisa menindaklanjuti proses hukum kasus dugaan pemerkosaan seorang wisatawan yang terjadi tiga tahun lalu karena tidak cukup bukti.

Sementara itu, pengacara korban menyebut alasan itu mengada-ada dan menunjukkan ketidakpahaman polisi terhadap proses penanganan tindak pidana kekerasan seksual.

Kasus ini menjadi ramai dibicarakan setelah korban mengisahkan kasusnya yang terjadi pada 2020 itu lewat X [Twitter] karena mengaku kecewa dengan penanganan polisi. Dia berharap mendapakan keadilan dengan berbicara di media sosial, setelah langkah hukum yang ditempunya tidak kunjung mendapat hasil.

Perempuan itu yang menggunakan akun @Whitecocon67 mengisahkan, ia diperkosa oleh setidaknya dua orang pria pada 12 Juni 2020 setelah ia sebelumnya diberikan minuman  beralkohol jenis soju yang diduga sudah dicampuri dengan obat tertentu.

Ia mengatakan baru tersadar menjadi korban pemerkosaan pada keesokan harinya. Karena terguncang oleh kejadian itu, ia lalu membatalkan tiketnya untuk kembali dari Labuan Bajo dan memutuskan melapor kasus ini ke polisi.

Diwawancara di kantornya pada Senin, 2 Oktober, Ipda Karina Viktoria Anam, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Manggarai Barat mengatakan, saat ini “tidak ada alasan untuk menindaklanjuti kasus itu.”

“[Proses hukum] kasus ini sudah diberhentikan,” katanya kepada Floresa.

Kasus ini, kata dia, hanya bisa dibuka kembali jika korban atau pengacara korban punya bukti lain yang kuat.

Karina sempat mengungkapkan kekesalan dengan langkah korban yang memviralkan kasus ini lewat X. 

Ia mengatakan, “Bagaimana kalau kami viralkan balik dia,” yang kemudian ia ralat dengan mengatakan “hanya bercanda” saat Floresa tanyakan maksud kata-katanya.

Karina mengatakan, mereka telah beberapa kali memeriksa dua pelaku pemerkosaan dan empat orang lainnya yang ia sebut sebagai saksi.

Ia mengatakan, dari pemeriksaan itu, mereka menyimpulkan bahwa kejadian itu bukan pemerkosaan.

“Kami punya bukti yang didapatkan pada saat proses penyelidikan bahwa korban sudah mempersiapkan semuanya sebelum kejadian ini,” katanya.

“Salah satunya adalah alat pengaman,” katanya, merujuk pada alat kontrasepsi.

Berbeda dengan kesaksian korban, kata dia, pelaku pertama mengaku korban yang dalam keadaan mabuk “mengajak untuk berhubungan.”

Demikianpun halnya dengan pelaku kedua. “Korban mengajak pelaku untuk berhubungan lagi,” katanya.

Ia menambahkan, setelah berhubungan dengan pelaku kedua itu korban sudah dalam keadaan sadar dan sempat mengobrol dengan pelaku.

“Beberapa jam kemudian, pelaku kedua pulang dan korban mengantarkan pelaku ke pintu,” katanya.

Jadi, kata dia, “dalam proses penyelidikan kami berdasarkan pengakuan dua pelaku itu, [hubungan intim] terjadi atas kemauan korban yang memaksa pelaku satu dan dua.”

Ia juga mengklaim “tidak ditemukan minuman beralkohol.”

Perihal dua surat dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang pernah meminta penjelasan penanganan kasus ini, kata dia, mereka telah merespons surat yang pertama.

“Isinya mengenai perkembangan kasus, bahwa sudah dihentikan karena tidak cukup bukti.”

Ia menjelaskan, tidak merespons surat kedua Komnas Perempuan, “karena jawaban dari kami masih sama.”

Meski demikian, katanya melanjutkan, Polres Manggarai Barat akan tetap membalas surat kedua itu “beberapa waktu ke depan.”

Polisi Tidak Paham UU, Kata Pengacara

Berbicara dengan Floresa, Senin siang, Siti ‘Ipung’ Sapurah, pengacara korban mengecam klaim-klaim Polres Manggarai Barat.

Ia menyoroti alasan polisi bahwa kasus itu tidak cukup bukti hanya berdasarkan pengakuan dua pelaku dan empat orang lainnya.

Menurut Ipung, kedua pelaku dan empat orang itu, seharusnya tidak bisa menjadi rujukan polisi untuk menilai benar tidaknya pemerkosaan itu.

“Kalau dalam kasus kejahatan seksual, pemerkosaan, kita bertanya dengan terduga pelaku, apakah itu fair? Saya berani katakan kepada Ibu Karina atau penyidik di bawahnya nggak paham Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Nggak paham pasal-pasal kekerasan seksual,” katanya.

Selain itu, kata dia, “polisi tidak mengetahui bahwa jika seseorang menjadi korban kekerasan seksual, kita perlu punya empati terhadap korban.”

“Apa yang terjadi sama dia [korban], ini yang diperiksa. Setelah itu lakukan visum, baik visum et repertum maupun visum et repertum psikiatrikum. Kenapa harus ada visum? Supaya mengetahui apakah sinkron dengan keterangan korban,” katanya.

Visum et repertum berkaitan dengan hasil pemeriksaan medik, sementara visum et repertum psikiatrikum terkait pemeriksaan kesehatan jiwa seseorang. Keduanya dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum.

Ipung menjelaskan, hasil visum kliennya menunjukkan “ada luka lebam dari dada ke leher dan ada robekan sedalam dua sentimeter di alat vitalnya.”

Lalu, jelasnya, keterangan psikolog juga mengatakan “korban adalah korban pemerkosaan.”

Berbagai hal ini, kata Ipung, seharusnya “cukup menjadi dasar bagi kepolisian menetapkan pelaku menjadi tersangka.”

“Jangan pelakunya ditanya, ‘Kamu ngapain?’ Sampai dunia kiamat pun, pelaku pemerkosaan tidak akan mengaku,” katanya.

Perihal klaim polisi bahwa korban yang merencanakan hal ini, kata Ipung, hal itu harus dibuktikan, bukan hanya berdasarkan klaim pelaku.

“Buka semua enam ponsel yang dimiliki pelaku dan keempat orang lainnya,” katanya.

“Siapa yang memulai, medesain, mengundang laki-laki ini untuk datang ke tempat tinggal korban? Tolong sinkronkan. Jangan ponsel dihilangkan.”

Andai kemudian yang jadi alasan adalah korban yang memulai semuanya,  kata dia, harus dicatat bahwa “korban dalam keadaan tidak sadar.”

“Orang nggak sadar, boleh nggak kita perkosa? Orang yang nggak sadar, boleh nggak disakiti?” katanya.

Ipung mengatakan, kejadian itu tampak terencana, di mana pelaku yang datang ke kos tempat korban menginap dengan membawa beberapa botol minuman jenis soju.

Ia menduga ada sesuatu pada minuman itu, yang salah satu botolnya dibuka saat korban sedang mengambil pengecas telepon seluler di dalam kamarnya.

“Si korban kemudian meminum saja. Setelah meminum itu, dia langsung tak sadarkan diri,” katanya.

Saat itulah, kata dia, pelaku pertama mengajak korban ke dalam kamar dan memerkosanya.

“Pintu itu dikunci dari dalam. Artinya apa? Berarti ada penyekapan di sana. Ada pemaksaan di sana. Tetapi ini tidak diinterogasi sama polisi. Ini kekecewaan saya,” katanya.

Setelah itu, kata dia, pelaku kedua masuk ke kamar dan melakukan lagi hal serupa “saat klien saya masih tidak sadarkan diri.”

Seharusnya, kata dia, ada pasal berlapis di sini, “jika polisinya profesional menjalankan penyelidikan ini.”

Ia mengatakan, meski tidak menggeneralisasi, “saya kecewa dengan kinerja kepolisian.”

Harapan Korban

Dalam obrolan via X pada 1 Oktober, senada dengan cerita Siti, korban mengatakan tidak sadar saat kejadian itu.

Ia menduga minuman yang dia konsumsi mengandung zat tertentu, kemungkinan narkoba.

Apalagi kalau bukan narkoba. Nggak mungkin juga minum soju sampai blackout (tidak sadar). Kalau obat tidur juga nggak separah itu efeknya,” katanya kepada Floresa.

Korban mengidentifikasi kedua pelaku pemerkosaan dengan inisial SF dan NL. Ia juga menyebut dua orang lainnya berinisial HB yang mengatur dan memfasilitasi pertemuan dengan pelaku dan AP, orang yang berada di teras kos tempat kejadian sampai larut malam dan melihat semua kejadian.

Ia mengatakan, sejak awal menemukan kejanggalan dalam penanganan kasus ini oleh polisi.

Saat dimintai keterangan untuk Berita Acara Pemeriksaan [BAP], kata dia, “pertanyaan yang ditanyakan kepada saya adalah pertanyaan-pertanyaan jebakan yang justru merugikan saya dan menguntungkan pelaku.”

“Salah satunya seperti history sexual saya,” katanya.

Ia juga mengaku “sempat dibentak di ruang BAP saat ditanya ‘dalam kondisi sehat atau tidak?’”

“Saya jawab saat itu, ‘dada saya sedang sakit.’ Pertanyaan itu kembali diulang sampai saya menjawab sehat,” katanya.

“Saya saat itu benar-benar sakit dada, kesulitan bernapas, kesakitan saat batuk dan bersin, kemungkinan besar efek samping setelah saya overdosis akibat narkoba yang dicampur di minuman saya untuk membuat saya tidak sadarkan diri,” katanya.

“Hal ini juga tidak tertulis dalam surat visum saya. Dokter mengabaikan sakit dada yang saya alami,” katanya.

Ia menjelaskan, ketika bertanya hasil tes urine yang berkaitan dengan narkoba “kenapa bisa tidak muncul dalam surat visum, polisi menjawab itu bukan tanggung jawab mereka dan tidak berhubungan dengan kasus ini.”

“Saya justru disuruh tanya sendiri ke rumah sakit,” katanya.

“Polisi bersikeras kasus saya kurang bukti tetapi tidak mau mencari bukti. Justru saya yang dibebankan untuk mencari bukti,” katanya.

Anehnya, kata dia, pada BAP yang kedua, selang sebulan setelah BAP pertama, “saat ditanya sedang sehat atau tidak, saya jawab sehat tetapi di kertas ditulis sakit dada.”

“Saya merasa dipermainkan di sana,” katanya.

Ia juga mengisahkan bagaimana seorang polisi memintanya membayar sendiri biaya visum, hal yang bertentangan dengan Pasal 136 KUHAP, yang seharusnya ditanggung negara.

Ia juga mengaku dimintai uang Rp700 ribu oleh polisi itu.

Dikonfirmasi Floresa, Karina mengklaim uang yang diminta kepada korban itu adalah “untuk biaya pemeriksaan” yang memang “ditanggung oleh korban.”

“Hasil visumnya ditanggung oleh Polres,” katanya.

Ditanya mengapa ada pembayaran dua kali saat pemeriksaan dan pengambilan hasil, katanya, “prosedurnya memang seperti itu.”

Ia juga mengatakan, selang beberapa menit saya lapor ke polisi, keluarga pelaku sempat berbicara dengan salah seorang perempuan kenalannya yang juga ada saat peristiwa itu karena wajah mereka masuk dalam Daftar Pencarian Orang [DPO].

Lewat kenalannya itu, kata dia, ia ditawari “melakukan mediasi tapi saya tolak.”

“Saya juga heran bagaimana keluarga mereka bisa mengakses DPO milik kepolisian,” katanya, menduga pelaku memiliki relasi dengan orang-orang berpengaruh di Labuan Bajo.

Ia juga mengatakan, berdasarkan keterangan kenalannya itu, polisi, semua pelaku, dan kenalannya sempat “melakukan pertemuan di luar gedung polisi dan mereka semua sudah mengakui bahwa benar mereka memperkosa saya.”

“Hanya saja saya tidak punya rekaman tentang percakapan ini,” katanya.

Kepada Floresa, korban sempat memperlihatkan pesan dari dua pelaku via Instagram yang berkali-kali memintanya agar bersedia ditemui.

Ia mengatakan, sebelum menunjuk Ipung sebagai pengacara, sudah ada dua pengacara lain sebelumnya.

Pengacara sebelumnya, kata dia, sempat “mengajak saya mediasi menggunakan upacara adat.”

Ia menolak tawaran itu dan berharap agar kasus ini diusut tuntas, meski “saya hampir putus asa” karena “sudah merasa tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini