Floresa.co – Pemerintah menerapkan sistem tiket elektronik atau e-ticketing untuk kapal-kapal wisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, merespons rentetan insiden kecelakaan kapal di mana sebagian korbannya tidak terdata dalam manifes.
Menurut pelaku wisata, kendati sistem ini bisa mengatasi masalah embarkasi atau pemberangkatan penumpang, otoritas juga juga perlu melakukan inspeksi rutin atas kondisi teknis dan manajemen kapal wisata.
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan [KSOP] Kelas III Labuan Bajo mewajibkan setiap kapal penumpang perusahaan angkutan laut yang beroperasi di Pelabuhan Waterfront Marina Labuan Bajo menerapkan tiket elektronik mulai 23 Juli.
Dalam surat dengan nomor AL.101/1/4/KSOP.LBJ/2024, Kepala KSOP Labuan Bajo, Stephanus Risdiyanto berkata, penumpang wajib melakukan embarkasi ke kapal melalui terminal penumpang atau terminal khusus yang telah memperoleh perizinan dari Kementerian Perhubungan.
Nahkoda, pemilik, operator dan agen pelayaran yang melakukan pelanggaran terhadap penerapan e-ticketing akan diberi peringatan atau sanksi sesuai ketentuan yang berlaku, tulis Stephanus.
Beberapa sanksi antara lain tidak diberikan pelayanan kepelabuhanan, seperti Surat Persetujuan Berlayar atau pembekuan sementara keagenan kapal.
Respons Insiden Kecelakan
Sistem tiket elektronik ini diterapkan pasca kasus kecelakaan kapal terakhir, di mana beberapa penumpang tidak tercatat dalam manifes.
Kapal Motor Budi Utama itu mengalami kecelakaan karena diterjang ombak pada 22 Juni. Dari 15 penumpang, hanya 10 yang tercatat dalam manifes, yang kemudian memicu protes dan kritik penumpang pada ulah pemilik kapal dan KSOP.
Stephanus dalam pernyataannya yang disitir dari Detik.com mengatakan penerapan e-ticketing untuk meminimalkan kecelakaan kapal wisata dan pelanggaran kelaiklautan.
“Berita mengenai kecelakaan kapal dan penumpang yang tidak terdapat dalam manifes kapal di Labuan Bajo menjadi perhatian serius KSOP,” katanya.
Penerapan e-ticketing, kata dia, bisa meminimalisasi ulah kapal wisata yang mengangkut wisatawan tak sesuai manifes atau melebihi daya angkut kapal.
Dengan sistem ini, katanya, KSOP bisa memantau jumlah penumpang yang naik di setiap kapal.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia [Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies, Asita] Manggarai Raya, Evodius Gonsomer mengapresiasi kebijakan baru ini.
Ia berkata, sistem elektronik memang sudah seharusnya diterapkan di destinasi wisata super premium Labuan Bajo.
“Dengan menerapkan sistem ini, kita bisa tahu jumlah tamu yang sebenarnya setiap bulan atau pun tahun,” katanya kepada Floresa.
“Sistem e-ticketing ini juga bisa memberantas praktik kecurangan yang selama ini dilakukan oleh agen ataupun nakhoda kapal,” tambah Evodius.
Bagaimana Cara Kerja Sistem Ini?
KSOP menggandeng Easybook, situs pemesan tiket digital dalam implementasi sistem ini.
Bernaung di bawah PT Easybook Teknologi Indonesia, Easybook merupakan situs penjualan tiket transportasi darat dan laut yang beroperasi di hampir semua negara di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Brunei, Vietnam, Myanmar, Kamboja dan Laos.
Di Indonesia, aplikasi ini sudah digunakan beberapa perusahaan transportasi seperti BUMN pelayaran PT Pelni dan sejumlah operator bis.
Manajer Pengembangan Bisnis Easybook, Eva Corry yang berbicara dengan Floresa pada 27 Juli berkata, Easybook adalah “penyedia sistem untuk pendataan penumpang.”
Untuk bisa menggunakan sistem ini, katanya, kapal-kapal atau yang diwakili oleh agen pelayaran perlu mendaftarkan diri ke aplikasi mereka terlebih dahulu dengan melampirkan Sertifikat Keselamatan Kapal [SKP] yang masih berlaku.
SKP dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk kapal yang telah memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan, termasuk radio dan elektronika kapal.
Saat hendak melakukan pelayaran, katanya, “pihak kapal wajib meng-input data penumpang ke Easybook, baru mengajukan Surat Persetujuan Berlayar ke Syahbandar,” ujar Eva.
Dalam proses pengisian data, selain identitas penumpang, operator kapal juga memasukan data jam keberangkatan dan destinasi kapal.
Setelah semua data itu beres, termasuk Surat Persetujuan Berlayar, sistem akan menerbitkan boarding pass digital untuk para penumpang.
“Boarding pass yang memiliki kode batang atau barcode nanti akan dipindai sebelum menaiki kapal wisata,” katanya.
Pantauan Floresa di Pelabuhan Marina Waterfront pada 27 Juli, wisatawan yang hendak berlayar ke sejumlah destinasi wisata di sekitar Taman Nasional Komodo masuk ke ruang tunggu sebelum menaiki kapal.
Di pintu masuk, petugas meminta mereka memperlihatkan barcode digital pada ponsel.
Usai menunggu di ruang tunggu, wisatawan lalu mengantre untuk pemindaian barcode di sebuah pintu keluar menuju kapal.
Salah satu petugas di pintu utama berkata kepada Floresa, dengan sistem e-ticketing keberangkatan wisatawan menjadi lebih teratur.
Sebelumnya, kata dia, penumpang kapal berbaur dengan para pedagang yang berjualan di pelabuhan.
Mobil, kata dia, juga parkir sembarangan dan “turis kadang duduk di luar ruangan.”
“Dengan adanya sistem ini, kita bisa mengarahkan mereka untuk menunggu di ruang tunggu, sambil menunggu jadwal keberangkatan.”
Selain di Pelabuhan Marina Waterfront, keberangkatan wisatawan dengan sistem ini juga dilakukan melalui Dermaga Hotel Ayana dan Dermaga Hotel Ta’aktana/Marriott yang sudah memiliki izin terminal khusus dari KSOP.
Apakah Efektif Atasi Kecelakaan Kapal?
Alexius Jefri Hampura, seorang pemandu wisata memberi catatan soal sistem ini.
Ia berkata, sistem ini memang lebih efektif untuk “penertiban loading tamu ke kapal yang selama ini terkesan semrawut.”
Namun, menurut Alexius yang yang berbicara dengan Floresa pada 26 Juli, sistem ini tidak menyentuh persoalan lain yang menyebabkan kecelakaan kapal selama ini, yaitu kondisi teknis kapal dan manajemen di atas kapal.
“Kondisi mesin dan body kapal yang sudah tua juga menjadi alasan terjadinya kecelakaan,” kata Alexius.
Alasan lainnya, kata dia, masalah beban kerja kru kapal.
Ia menyebut selama ini ada overlapping, keadaan di mana seseorang mengerjakan pekerjaan “yang seharusnya dilakukan oleh beberapa orang dalam satu waktu.”
Selain itu, kata Alexius, cuaca ekstrim seperti angin, ombak, dan arus bawah laut yang datangnya tidak bisa diprediksi.
Solusi yang tepat untuk mengurangi kecelakaan kapal, katanya, asistensi berkala dari pihak KSOP.
“Misalnya mereka membuat draft laporan kondisi mesin dari bagian engineering kapal dan body kapal dari kapten kapal,” katanya.
Setidaknya, satu kali seminggu KSOP juga turun langsung ke kapal untuk melakukan “pengecekan dokumen kapal dan dokumen crew kapal.”
Hal lain, kata Alexius, memberikan menjatuhkan hukuman yang keras kepada pihak pemilik kapal yang tidak mengindahkan peringatan dan larangan dari pihak Syahbandar untuk tidak berlayar berdasarkan laporan dari otoritas terkait, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika [BMKG].
Catatan lain disampaikan Taher, seorang kapten kapal asal Pulau Komodo dalam sebuah wawancara sebelumya dengan Floresa.
Ia berkata, kecelakaan juga dipicu oleh konstruksi kapal yang tak memenuhi syarat, seperti “ketinggian kapal tidak seimbang dengan lambung kapal.”
Pengamatan Taher, kapal-kapal wisata di Labuan Bajo yang mengalami insiden umumnya memiliki lebar lambung hanya dua meter, tetapi tingginya lebih dari lima meter, membuat keseimbangan kapal tidak stabil.
Idealnya, kata dia, bila kapal memiliki panjang 20 meter, maka lebar lambung lima meter dan tinggi kapal cukup empat meter. Ketinggian empat meter itu pun menurutnya, “sudah tinggi sekali.”
Taher menduga, aspek keseimbangan antara lambung kapal dan ketinggian kapal diabaikan dalam konstruksi kapal wisata di Labuan Bajo karena pemilik kapal mengutamakan jumlah kamar yang banyak sehingga bisa menampung lebih banyak tamu.
Tak hanya dari sisi konstruksi, aspek kesehatan kapal juga tak jarang diabaikan, terutama terkait kondisi mesin kapal.
Menurutnya, pemeriksaan kondisi kapal seharusnya menjadi prioritas, tidak hanya mengutamakan sisi bisnis.
Namun, yang terjadi di Labuan Bajo, kata dia, pemilik kapal mengutamakan cuan, mengabaikan keselamatan sehingga memaksakan kapten atau kru untuk tetap berlayar saat kapal dalam kondisi bermasalah.
Harusnya, kata Taher, kaptenlah yang memiliki kapasitas untuk menentukan layak tidaknya kapal untuk berlayar karena “yang bertanggung jawab penuh di atas kapal itu adalah kapten.”
Sebelum insiden terakhir pada 22 Juni, terjadi rentetan kecelakaan kapal di perairan Labuan Bajo.
Pada 2023 terjadi delapan kecelakaan kapal wisata yang menyebabkan wisatawan domestik dan mancanegara mengalami cedera hingga ada yang meninggal.
Tahun 2024, setidaknya lima kapal wisata di Labuan Bajo mengalami kecelakaan, yaitu Kapal Alfatharan, Kapal Carpe Diem, Kapal Sea Safari VII, Kapal Budi Utama dan Kapal Hancur Karena Hobi 02.
Pemicu kecelakaan tidak semuanya karena faktor alam.
Dalam beberapa kasus, kapal-kapal yang kecelakaan diketahui melanggar aturan. Kapal wisata KM King Fisher De Seraya yang mati mesin di perairan Labuan Bajo pada 1 Januari 2023 misalnya tidak mengantongi izin berlayar dari KSOP.
Hal serupa juga terjadi dengan kapal wisata Carpe Diem yang terbakar di perairan antara Pulau Siaba dan Pulau Mawan pada 4 Februari 2024 misalnya tidak mengantongi izin berlayar.
Laporan Anjany Podangsa dan Mikael Jonaldi
Editor: Petrus Dabu