Floresa – Rafael Rela, warga Ruteng, menghela napas dalam-dalam saat Floresa menanyakan kondisi air di kediamannya.
Bapak dua anak itu terlihat dongkol karena pipa ledeng di rumahnya di Kelurahan Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai jarang dialiri air.
Dalam sepekan, katanya, kadang air hanya mengalir selama dua atau tiga hari. Itu pun tidak sepanjang hari.
Tidak jarang pula “kami tidak mendapatkan air sama sekali selama satu minggu.”
“Kami tidak tahu kapan air akan datang. Kadang-kadang, air datang pada waktu yang sangat tidak tepat, seperti jam dua pagi,” ujarnya pada 5 November.
Meski Ruteng yang terletak di kaki Pegunungan Mandosawu itu diguyur hujan dalam dua pekan terakhir, tetap saja aliran air dari Perusahaan Umum Daerah [Perumda] Air Minum Tirta Komodo – satu-satunya badan usaha penyuplai air ke rumah warga – tak lancar.
“Di tengah guyuran hujan yang melimpah di Ruteng, harapan kami akan pasokan air bersih yang cukup justru sirna,” katanya.
“Kami warga Tenda menghadapi krisis air yang semakin parah, terutama dalam dua bulan terakhir,” ujarnya.
Rafael tak sendirian hidup dalam kesulitan air di pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai ini.
Pengalaman serupa juga dialami banyak pelanggan lainnya.
Margareta Kartika, mahasiswa Universitas Katolik Indonesia [Unika] St. Paulus Ruteng berkata, dalam dua pekan terakhir, air di kosnya di Kampung Ngencung, Kelurahan Watu hanya mengalir sekali dalam tiga hari.
“Mengalirnya pun hanya dua jam,” ujarnya kepada Floresa pada 29 Oktober.
Rumah kos Margareta terdiri atas 14 kamar. Awalnya semua kamar terisi. Masing-masing kamar dihuni satu hingga dua orang dengan total penghuni 18 orang.
Namun, persoalan air macet yang kian parah sejak Juli tahun lalu membuat mayoritas penghuni kos memilih pindah.
“[Mereka] cari tempat yang airnya lancar. Kalau kondisinya seperti ini terus, saya juga kemungkinan pindah,” katanya.
Sekitar 20 meter dari kos Margareta, Floresa bertemu beberapa ibu, warga Kampung Ngencung yang sedang ngobrol. Mengira jurnalis Floresa adalah pegawai PDAM, beberapa ibu lainnya ikut berkumpul.
Dengan raut wajah kesal, Yuliana Mimis, ibu berusia 61 tahun, bertanya “Itu dari PDAM kah?” sembari berusaha menyampaikan keluhan.
Ia berkata, dalam sebulan, air di rumahnya mengalir hanya dua kali.
“Benar-benar hemat. Air itu hanya cukup untuk WC dengan cuci muka. Dari pagi ini, saya belum cuci muka sama sekali demi menghemat air,” katanya.
Untuk mandi dan cuci pakaian, kata Yuliana, ia meminta bantuan kerabatnya di Kampung Lempe, Kelurahan Pau.
“Terpaksa saya cuci dan mandi di sana, karena hanya di sana yang air mengalir lumayan stabil,” katanya.
Meski air dari Perumda Tirta Komodo tidak lancar, Yuliana mengaku tagihan airnya per bulan tetap stabil, Rp58.000.
“Entah jalan atau tidak, ya tagihannya begitu,” katanya.
Ia pernah menanyakan soal tagihan itu ke pegawai Perumda Tirta Komodo.
“Mereka bilang, matikan kran kalau air tidak jalan. Tapi kan, air dalam sebulan itu hanya dua kali mengalir di rumah saya. Itu pun tidak tentu jadwalnya sehingga saya buka terus krannya,” kata Yuliana.
Ia mengaku sudah berulang kali menyampaikan pengaduan ke pegawai Perumda Tirta Komodo, namun mendapati respons yang tidak memuaskan.
“Tadi pagi saya sudah [kirim pesan] WhatsApp ke pegawai Perumda Tirta Komodo, tetapi balasannya ‘terima kasih telah menghubungi kami,’” kata Yuliana.
Emilia Kordiana Lona, 52 tahun, warga Ngencung lainnya berkata bahwa penjadwalan air di rumahnya tidak menentu.
Perumda Tirta Komodo, kata dia, tidak pernah memberikan informasi pasti terkait penjadwalan.
“Airnya mengalir saat larut malam. Ada yang jam 22.00, kadang subuh jam 02.00,” kata Emilia.
Itupun, kata dia, debitnya kecil, sehingga harus butuh waktu untuk menampungnya.
Apa Kata Perumda Tirta Komodo?
Krisis air di Ruteng sudah berulang kali dikeluhkan warga. Dalam catatan Floresa, pada Januari dan Juli warga sempat ramai-ramai protes di media sosial tentang masalah ini.
Sementara warga mengeluhkan air, saat ini di Ruteng terdapat tiga perusahaan air minum kemasan yang memanfaatkan air tanah, yakni air merek Ruteng, Afio dan Hydrofresh. Ketiganya memasarkan produk di wilayah Manggarai Raya dan wilayah lainnya di Flores.
Pembicaraan tentang krisis air di Ruteng pasca munculnya perusahaan air kemasan sudah sempat ramai dibicarakan satu dekade lalu.
Kala itu, pada 2014, warga di Ruteng mengeluhkan dampak penurunan debit air di sejumlah kali yang berdekatan dengan lokasi PT Nampar Nos, produsen air kemasan merek Ruteng.
Perumda Tirta Komodo mengakui adanya krisis air di Ruteng. Perusahan ini pun mengklaim kini berupaya untuk meningkatkan kapasitas sumber air.
Kini perusahaan ini menyuplai air bersih dari 14 mata air untuk 20 kelurahan di kota Ruteng. Per 31 Desember 2024, pelanggannya berjumlah 32.523.
Berbicara dengan Floresa pada 30 September, Alexander A. Rafael dari Divisi Teknis Satuan Pengawasan Internal berkata, hal utama yang dilakukan perusahaan saat ini adalah mencari titik sumber air baru untuk menambah debit.
“Untuk tahun ini, kita sudah membangun tiga sumber baru untuk memenuhi kebutuhan pelayanan atau memenuhi kapasitas debit,” katanya.
Ruteng memang tidak kekurangan sumber air, namun kesulitan Perumda Tirta Komodo selama ini adalah bagaimana mengakses sumber air itu, katanya.
“Karena butuh berbagai pendekatan kepada tokoh masyarakat sebagai pemilik sumber air itu,” kata Alexander.
Selain itu, kata dia, perlu ada pembenahan, kajian dan pengembangan infrastruktur sarana prasarana air minum dari hulu sampai di tingkat pelanggan.
“Infrastruktur yang sudah ada ini kan sudah lama. Jadi, perlu ada perbaikan. Untuk ke depan, kita akan melakukan kajian, bagaimana infrastruktur seperti pipa ini perlu ada perbaikan,” kata Alexander.
Selain pengembangan infrastruktur, perusahaan juga akan berupaya menyiapkan berbagai teknologi demi memenuhi kebutuhan pelanggan.
“Kemungkinan ke depannya kita tidak lagi bisa mengharapkan air permukaan, perlu ada sumber inovasi baru. Bisa saja dengan melakukan bor untuk mendapatkan sumber air baru.” kata Alexander.
Pendapatan Perumda Tirta Komodo Sebagian Besar untuk Gaji Pegawai
Upaya pembenahan ini menghadapi tantangan, mengingat kondisi keuangan Perumda Tirta Komodo yang mayoritas pendapatannya dipakai untuk biaya pegawai.
Mengutip Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Manggarai Tahun 2023, perusahaan ini memiliki 163 karyawan, 87 di antaranya karyawan tetap dan 73 orang karyawan honorer.
Pada 2023, perusahaan membukukan pendapatan usaha Rp24,78 miliar, naik 10,2% dari Rp22,49 miliar pada tahun sebelumnya.
Sebagian besar pendapatan usaha ini bersumber dari pendapatan air. Pada 2023, pendapatan air sebesar Rp22,29 miliar atau 89,95%. Sisanya, pendapatan non air Rp2,49 miliar.
Namun, Perumda Tirta Komodo memiliki beban usaha yang besar, yang membuat laba perusahaan ini terbilang kecil. Hal ini sekaligus membuat ekspansi bisnis yang besar masih perlu asupan dari pemegang saham, Pemerintah Kabupaten Manggarai.
Tahun 2023, total beban usaha Perumda Tirta Komodo sebesar Rp23,64 miliar atau 95,35% dari pendapatan usaha. Beban usaha terbesar adalah beban pegawai yaitu sebesar Rp10,91 miliar atau 46,15% dari total beban usaha.
Sementara beban usaha yang terkait dengan optimalisasi layanan ke konsumen yaitu beban sumber air dan beban pemeliharaan relatif lebih kecil.
Beban sumber air sebesar Rp576,10 juta dan beban pemeliharaan sebesar Rp3,56 miliar.
Setelah dikurangi beban usaha, laba usaha Perumda Tirta Komodo pada 2023 sebesar Rp1,14 miliar, naik signifikan 86,22% dari Rp612,78 juta pada 2022.
Tahun 2023, Perumda Tirta Komodo juga membukukan pendapatan lain-lain yang bersumber dari bunga simpanan di bank mencapai Rp721,37 juta, turun 31,19% dari Rp1,04 miliar pada 2022.
Dengan begitu, laba rugi sebelum pajak Perumda Tirta Komodo pada 2023 mencapai Rp1,86 miliar, naik 12,11% dari Rp1,66 miliar pada 2022.
Setelah dikurang pajak penghasilan sebesar Rp343,11 juta, laba bersih pada 2023 sebesar Rp1,51 miliar, naik 18,66% dari Rp1,28 miliar pada 2022.
Minim Atensi Calon Pemimpin
Sementara krisis air menjadi persoalan serius warga, calon pemimpin di Kabupaten Manggarai minim ide terobosan untuk pembenahan.
Bahkan, dalam debat publik tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati Manggarai pada 30 Oktober, calon petahana Herybertus GL Nabit yang memimpin kabupaten itu sejak 2021 sama sekali tak menyinggung soal krisis air.
Padahal, dalam debat publik pada pilkada 2020 saat berpasangan dengan Heribertus Ngabut, ia secara khusus menyebut ketersediaan air bersih menjadi penting, termasuk dalam mengatasi stunting.
“Kita tahu, di sebagian besar kecamatan, masalah air bersih ini masih menjadi salah satu tantangan bagi pemerintah ke depan. Karena itu, penyediaan air bersih, air baku untuk air minum itu akan menjadi perhatian pemerintah,” kata Nabit dalam debat pada 14 November 2020 itu.
Dalam debat pada 30 Oktober, isu tentang air hanya disinggung dua penantang Nabit.
Pasangan Yohanes Halut-Thomas Dohu menyinggung soal air bersih pada sesi pertama debat, yaitu pemaparan visi dan misi.
Yohanes berkata, dari perjalanan keliling ke 12 kecamatan di Manggarai selama masa kampanye, masih banyak keluhan masyarakat terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar.
“Kami simpulkan, kebutuhan dasar masyarakat Manggarai banyak yang belum terpenuhi. Di situ ada keluhan terkait dengan jalan, air minum, kemudian listrik dan masih banyak keluhan lainnya,” katanya.
Topik soal air kemudian kembali dibahas pada sesi kelima, dimana pasangan calon saling bertanya.
Marianus Ronald Susilo, calon wakil bupati dari Maksimus Ngkeros menyinggung soal krisis air di Ruteng dan desa-desa saat mengajukan pertanyaan ke pasangan Yohanes Halut-Thomas Dohu.
Ia kemudian menanyakan strategi pasangan itu mengatasi masalah ini.
Yohanes Halut mengatakan menawarkan beberapa solusi. Untuk masalah krisis air di Ruteng, katanya, pembenahan pertama dimulai dari internal Perumda Tirta Komodo, namun tak menjelaskan rinci langkah pembenahan dimaksud.
Yohanes juga mengaku bakal melibatkan masyarakat untuk mengatasi masalah kebocoran pipa air milik Perumda Tirta Komodo.
“Kadang-kadang ada pipa yang pecah. Kalau ada laporan dari masyarakat baru akan ketahuan, pecahannya di mana,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, kata Yohanes, untuk mengatasi penurunan debit air, perlu dilakukan reboisasi di hutan-hutan yang gundul di sekitar Ruteng.
Sementara untuk masalah air di desa-desa di luar Kecamatan Langke Rembong, Yohanes mengaku akan melakukan identifikasi sumber air di desa-desa.
“Kalau memang tidak ada sumber air di desa itu,” katanya, akan dibuatkan sumur bor.
Menanggapi jawaban itu, Ronald setuju perlu ada terobosan untuk krisis air di Ruteng.
“Mesti ada cara-cara lain untuk segera memenuhi kebutuhan air di kota Ruteng ini,” ujarnya, kendati tidak menyampaikan secara eksplisit cari-cara baru itu.
Sementara untuk masalah air di desa-desa, Ronald berkata, sebenarnya sudah banyak proyek air bersih yang dikerjakan pemerintah. Jaringan perpipaan sudah dibangun disertai dengan bak penampung air.
Namun, katanya, airnya tak ada.
“Jadi, mungkin perlu memikirkan jaringan-jaringan atau saluran-saluran yang sudah dibuat dan [airnya] tidak berjalan sama sekali itu, supaya bisa dialirkan kembali,” kata Ronald.
‘Ini Bukan Masalah Kecil’
Di tengah solusi yang tampaknya tak akan muncul segera dari Perumda Tirta Komodo dan sumirnya gagasan dari calon pemimpin, warga berharap ada upaya untuk melakukan pembenahan segera.
Rafael Rela, warga Tenda berkata, selama ini petugas dari Perumda Tirta Komodo datang ke rumahnya “hanya untuk memeriksa meteran air.”
“Mereka tidak memberikan solusi apapun kepada kami. Hanya melihat, tetapi tidak ada tindakan lanjutan,” jelasnya.
“Apakah airnya keluar atau tidak setelah mereka pergi, itu tidak ada kepastian,” tambahnya.
Ia kesal karena Ruteng yang berada di kaki gunung harus krisis air dan kini sudah memasuki musim hujan.
Ia berkata, yang perlu diperbaiki segera adalah adalah fasilitas, sarana, dan prasarana, seperti “pipa-pipa yang sudah tua dan kebocoran yang dibiarkan.”
“Direktur dan tim manajemen harus benar-benar memahami pengelolaan air. Jangan sampai orang yang tidak mengerti ditempatkan di posisi penting hanya karena alasan politik. Ini bukan masalah kecil,” tegasnya.
Ia menambahkan, petugas juga perlu memastikan bahwa pembagian air itu konsisten dan perlu ada sosialisasi yang baik.
“Misalnya, mereka harus memberi tahu jam berapa air akan keluar di setiap kelurahan, sehingga kami bisa bersiap dengan ember atau wadah penampungan.”
Sementara Emilia Kordiana Lona, warga Tenda lainnya mengaku lelah karena harus begadang saat jadwal air tiba.
“Waktu untuk tidur tidak lama. Paginya, tubuh lemas, apalagi kita yang umurnya sudah tua begini,” katanya.
Laporan ini kerjakan oleh Petrus Dabu, Arivin Dangkar dan Mikael Jonaldi
Editor: Ryan Dagur