Floresa.co – Polri memecat seorang anggotanya di Kabupaten Sikka, NTT yang melakukan pelecehan seksual terhadap dua anak dan salah satunya meninggal usai membakar diri.
Kendati demikian, proses pidana dua kasus ini tidak dilanjutkan.
Polres Sikka mengumumkan pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Aipda Ihwanudin Ibrahim pada 14 April.
Iptu Yermi Soludale dari Bagian Humas Polres Sikka menyatakan, pemberhentian terhadap Ihwanudin merupakan hasil Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri pada 11 dan 12 April.
Sidang itu dipimpin Wakapolres Sikka, Kompol Nofi Posu; Kasubid Wadah Profesi dan Propam Polda NTT, Kompol I Ketut Saba dan Kabag SDM Polres Sikka, AKP Susanto.
“Setelah sidang etik dilakukan intens, Ihwanudin direkomendasikan untuk dipecat tidak dengan hormat,” katanya seperti dilansir Kompas.com.
Ia menambahkan, Ihwanudin akan menjalani hukuman kurungan selama 30 hari di sel Profesi dan Pengamanan atau Propam Polres Sikka.
Yermi berkata, Ihwanudin terbukti melanggar kode etik profesi Polri dan melakukan tindakan tercela yang mencoreng nama baik institusi kepolisian serta menyakiti kepercayaan publik.
Ia terbukti melakukan hal yang tidak senonoh terhadap dua siswa SMP melalui panggilan video dan mengajak korban berhubungan badan dengan iming-iming akan memberikan sejumlah uang.
Yermi mengklaim institusinya tidak akan memberikan toleransi terhadap bentuk pelanggaran hukum dan etika, terlebih yang merugikan masyarakat.
“Kami berkomitmen untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan. Ini bukti bahwa kami tidak pandang bulu dalam menindak anggota yang melanggar,” katanya.
Ia juga menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada korban dan keluarga mereka atas perbuatan Ihwanudin.
“Kami sangat menyesalkan kejadian ini. Atas nama institusi, kami memohon maaf kepada korban dan keluarga,” katanya.
Ia berharap keputusan tersebut dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan menjadi pelajaran penting bagi seluruh anggota kepolisian agar senantiasa menjunjung tinggi integritas, profesionalisme, dan kode etik dalam melayani masyarakat.
Ihwanudin dilaporkan melakukan kekerasan seksual secara langsung dan melalui video call terhadap dua siswi SMP pada 2024.
Korban pertama, yang berusia 15 tahun dilecehkan pada Agustus 2024.
Yermi Soludale berkata, dalam aksinya Ihwanudin “melakukan video call dan menunjukkan alat kelaminnya” kepada korban.
Selain itu, katanya sebagaimana dilaporkan Tempo.co, pelaku juga mengajak korban berhubungan badan.
Sementara korban kedua, kata Yermi, juga berusia 15 tahun, dilecehkan Ihwanudin pada November 2024.
Ia mengklaim, polisi kesulitan memproses kasus kedua ini karena korban sebagai saksi kunci telah meninggal.
“Yang bersangkutan tidak diproses pidana, karena tidak ada laporan dari keluarga korban,” katanya.
Korban Bakar Diri di Rumah
Heni Hungan, staf Tim Relawan untuk Kemanusiaan-Flores (TRUK-F), lembaga Gereja Katolik yang mengadvokasi kasus-kasus ini berkata, korban dalam kasus kedua meninggal karena membakar diri.
Peristiwa yang terjadi pada 23 November 2024 itu, katanya kepada Floresa pada 3 April, bermula saat Ihwanudin bersama istrinya, Norma, mendatangi rumah kakek dan nenek korban.
Saat itu, kata dia, Norma menuding korban menggoda suaminya.
Selain itu, kata Heni, Norman sempat mengaku bahwa korban pernah melaporkan perbuatan suaminya kepadanya.
Namun, ia berkata kepada korban, “kalau tidak punya bukti dan saksi, bisa dipenjara dengan dugaan pencemaran nama baik.”
Saat kakek dan nenek korban bersama pelaku dan istrinya membahas persoalan tersebut, tiba-tiba korban berteriak histeris dari dapur.
Mereka sontak bergegas menuju dapur, melihat tubuh korban sudah terbakar.
Korban kemudian dilarikan ke puskesmas terdekat, lalu dirujuk ke Rumah Sakit Umum TC Hillers, Maumere.
Pada 24 November, dokter menyarankan korban untuk operasi. Namun, ia akhirnya meninggal pada 30 November.
Heni berkata, keluarga korban sudah mengadukan kasus itu ke Kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sikka pada 5 Desember.
Pada 10 Desember, polisi dari Divisi Propm Polres Sikka menghubungi keluarga korban untuk bertemu dan meminta keterangan. Setelah itu keluarga tidak lagi menerima kabar dari polisi.
Upaya pelaporan kembali kasus itu dilakukan keluarga pada 12 Maret.
Saat itu, kata Heni, korban lainnya yang mengaku dilecehkan pada Agustus 2024 turut melapor. Korban itu menyertakan bukti-bukti berupa tangkapan layar video call dengan Ihwanudin.
Di dalam tangkapan layar itu, Ihwanudin menunjukkan alat kelaminya serta menjanjikan uang satu juta rupiah jika korban mau berhubungan badan dengannya.
Keterangan dan bukti-bukti itu ditolak polisi, kata Heni, dan meminta agar korban mendiskusikan terlebih dahulu laporan itu dengan orang tuanya.
Respons Polres Sikka
Floresa meminta tanggapan Yermi Soludale terkait “Ihwanudin yang tidak diproses pidana” melalui WhatsApp pada 17 April.
Namun, ia hanya berkata “saya sedang ada urusan keluarga di Kecamatan Talibura” dan berjanji “nanti kontak kembali.”
Pada hari yang sama, Floresa mendatangi Polres Sikka dan menghubungi Kasat Reskrim Polres Sikka, Iptu Djafar Alkatiri melalui WhatsApp.
Ia hanya berkata, “saya baru bisa melayani wawancara jika sudah ada izin dari Kapolres,” merujuk AKBP Muhammad Mukhson.”
Kepada polisi yang sedang bertugas di SPKT Polres Sikka, Floresa memberitahu “hendak bertemu dengan Mukhson.”
Polisi itu meminta Floresa “menunggu” sembari menghubungi ajudan Mukhson untuk memeriksa jadwal kegiatannya.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, polisi itu berkata “Kapolres sedang keluar sehingga kemungkinan bisa bertemu pada 22 April.”
Pada hari yang sama, Floresa juga meminta tanggapan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Sikka, Yani Yosepha melalui WhatsApp.
Ia hanya berkata, “kami masih proses laporan pidananya.”
Dominiko Djaga berkontribusi dalam pengerjaan laporan ini.
Editor: Herry Kabut