Oleh: Martin Dennise Silaban
Ketika pemerintah berambisi melakukan transisi menuju energi terbarukan, banyak yang menyambutnya sebagai tonggak menuju masa depan Indonesia yang lebih hijau, adil dan inklusif.
Namun, di balik narasi ini, ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu dikritisi yaitu terkait di mana proyek ini dibangun? Di atas tanah siapa? Serta atas nama siapa pembangunan ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun kita pada satu kenyataan mendasar bahwa ruang tempat proyek-proyek ini dijalankan tidak pernah bersifat netral. Ia bukan sekadar lahan kosong yang menunggu diisi oleh infrastruktur.
Ruang adalah konstruksi politik, arena di mana kekuasaan dinegosiasikan, dipaksakan dan dilawan.
Ketika negara membangun infrastruktur energi di atas wilayah adat, sebenarnya yang tengah berlangsung adalah proses perluasan kontrol, yang mana tatanan sosial dirombak, relasi kuasa diatur ulang dan batas-batas legitimasi atas tanah serta masa depan komunitas di wilayah tersebut ditentukan ulang.
Dalam proses ini, ada pihak-pihak yang dilegitimasi untuk hadir dan memiliki, sementara yang lain disingkirkan secara halus, diam-diam, namun sistematis.
Transisi Energi, Kolonialisme dan Produksi Ruang
Transisi energi di Indonesia kerap dipahami semata sebagai respons teknokratis terhadap krisis iklim.
Namun di balik narasi itu, proyek transisi energi juga merupakan proyek politik. Pembangunan infrastruktur energi bukan hanya upaya memenuhi kebutuhan teknis, tetapi tentang membentuk ulang lanskap kekuasaan dan relasi teritorial di tingkat lokal.
Wilayah-wilayah tempat proyek transisi energi dijalankan seringkali direkayasa ulang menjadi zona ekstraksi dan pengendalian.
Di dalamnya, tanah adat tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup dengan nilai kultural dan spiritual, melainkan diubah menjadi objek tata kelola melalui logika teritorial yang mengabaikan relasi-relasi sosial dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam di dalamnya.
Dalam banyak kasus, kawasan-kawasan ini tidak diperlakukan sebagai ruang hidup yang utuh, melainkan direduksi menjadi simpul pasokan sumber daya, sebuah extractive hub yang berfungsi menopang sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di wilayah lain (Bruna, 2022).
Wilayah-wilayah tersebut juga kerap dikonstruksikan sebagai sacrifice zones, yakni ruang-ruang yang secara sistematis dijadikan objek pengorbanan.
Fenomena ini mencerminkan bentuk kekerasan spasial yang mendorong pemahaman bahwa sebagian wilayah dan komunitas yang ada di atasnya dianggap layak dikorbankan demi narasi pembangunan nasional, pertumbuhan ekonomi, atau klaim kemandirian energi (Fuentes, 2021).
Ruang juga bukan entitas kosong atau netral, melainkan produk dari relasi sosial dan kekuasaan (Henri Lefebvre, 2009).
Dalam konteks ini, pembangunan dan pengembangan infrastruktur energi bukan hanya intervensi teknis atau proyek pembangunan semata, tetapi instrumen politik yang digunakan negara untuk menciptakan, mengatur, dan mengklaim ruang.
Ketika negara memetakan lokasi proyek untuk transisi energi, maupun membangun akses seperti infrastruktur jalan, negara tidak hanya membawa misi pembangunan, namun sedang mengukir jejak kekuasaan di atas lanskap yang selama ini mungkin absen dari jangkauan formal negara, atau bahkan menjadi ruang yang berpotensi melakukan perlawanan terhadap negara di kemudian hari.
Dalam situasi ini, praktik pemetaan yang dijalankan oleh agen-agen pembangunan negara bukan sekadar aktivitas teknis yang netral, melainkan tindakan politis yang secara aktif membentuk dan menyusun ulang realitas sosial dan spasial sesuai dengan kepentingan kekuasaan.
Melalui penetapan garis batas, titik koordinat, dan zonasi-zonasi ruang, negara tidak sekadar merepresentasikan ulang ruang yang ada, tetapi juga menciptakan ulang (re-creating) dan menyusunnya kembali (re-organizing) agar sejalan dengan logika kekuasaan.
Dalam proses ini, ruang diproduksi bukan sebagai entitas netral, melainkan sebagai hasil dari kepentingan politik yang membingkai tanah dan kehidupan sebagai objek yang dapat dikontrol, dikelola, dan jika perlu dikorbankan.
Pemetaan menjadi instrumen yang digunakan untuk melegitimasi klaim atas tanah dan sumber daya, membingkai ruang seolah-olah netral dan objektif. Padahal, sesungguhnya sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi dan sering kali mengulang pola-pola kolonialisme dalam bentuk baru.
Dalam Colonialism and Its Forms of Knowledge, Bernard S. Cohn (1996) memahami kolonialisme bukan hanya sebagai dominasi politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai proyek besar produksi pengetahuan.
Kolonialisme bergantung pada pembentukan sistem-sistem pengetahuan yang memungkinkan penjajahan dijalankan secara sistematis dan efektif.
Melalui survei, peta, studi etnografi, dan klasifikasi sosial, kekuasaan kolonial seperti Inggris di India tidak sekadar mempelajari masyarakat yang mereka jajah, namun juga menciptakan kerangka untuk melihat dan mengatur masyarakat tersebut.
Pengetahuan menjadi alat kontrol yang menjangkau sampai ke struktur sosial, keyakinan, dan bahkan ruang hidup masyarakat lokal.
Logika ini tak hanya hidup dalam masa kolonial di masa lalu namun mewarisi bentuknya dalam praktik-praktik pembangunan kontemporer, termasuk dalam proyek transisi energi di Indonesia hari ini.
Peta, sebagai salah satu warisan teknologi kolonial, tetap menjadi instrumen sentral dalam mengatur dan membayangkan ruang.
Dalam proyek energi terbarukan, tanah ditampilkan sebagai ‘sumber daya’, terukur, dapat dikalkulasi, dan siap dikapitalisasi.
Pemetaan wilayah proyek, peta konsesi, hingga survei geologi disusun dalam bahasa teknokratik yang tampak objektif, namun sejatinya sarat dengan logika kuasa.
Seperti dalam praktik kolonial masa lalu, peta-peta ini tidak sekadar merepresentasikan kenyataan, melainkan menciptakan kenyataan yang sesuai dengan kepentingan negara.
Dalam proses itu, pengetahuan lokal, hubungan spiritual terhadap tanah, serta struktur sosial komunitas seringkali disingkirkan atau dianggap tak relevan. Tanah adat direduksi menjadi sekadar koordinat dan potensi cadangan energi, bukan sebagai ruang hidup yang sarat makna.
Dengan kata lain, proyek transisi energi hari ini membawa jejak kolonial dalam bentuk baru. Ia mereproduksi logika penguasaan dan pengetahuan yang serupa, hanya kali ini dibungkus dalam narasi hijau dan janji pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, untuk memahami secara kritis bagaimana transisi energi berlangsung, kita perlu bertanya bukan hanya apa yang dibangun, tetapi juga hal-hal seperti ruang ini diproduksi oleh siapa, untuk siapa, dan dengan cara bagaimana? Pengetahuan siapa yang dianggap sahih, dan untuk siapa pembangunan ini sebenarnya bergerak?.
Transisi energi mengubah cara lahan dipersepsikan dari ruang hidup dan budaya menjadi ruang sumber daya. Ia mengubah cara lahan diakses dari wilayah adat yang dijaga melalui relasi sosial dan ritus menjadi wilayah konsesi yang dikontrol melalui peta, izin, dan regulasi negara.
Ia mengubah cara lahan dihargai dari tempat bermakna spiritual dan historis menjadi komoditas yang bisa ditukar dan diinvestasikan.
Dalam logika ini, ruang tidak hanya dibentuk oleh kebutuhan teknis, melainkan juga oleh hasrat politik untuk menegaskan kehadiran negara dan membentuk ulang tatanan sosial.
Memusatkan Keadilan dalam Politik Spasial Transisi Energi
Transisi energi yang sungguh adil tak cukup hanya mengganti batu bara dengan sumber-sumber lain yang dianggap lebih bersih.
Proses ini menuntut pergantian cara pandang terhadap dunia, cara kita memaknai ruang, melihat komunitas, dan membayangkan masa depan.
Ruang bukanlah panggung kosong tempat proyek dipasang, melainkan medan hidup yang dibentuk oleh sejarah, relasi kuasa, dan ingatan kolektif.
Maka, transisi tak bisa hanya berbicara soal efisiensi atau keberlanjutan, tapi tentang siapa yang berhak mendefinisikan arah perubahan dan siapa yang terus-menerus disingkirkan darinya.
Keadilan energi yang sejati hanya bisa diwujudkan jika kita berani menggugat logika pembangunan yang selama ini membungkam. Logika yang mereduksi tanah menjadi aset, ruang menjadi komoditas, dan komunitas menjadi hambatan yang harus disingkirkan.
Kita harus membingkai ulang (reframe) cara kita memahami pembangunan, merancang ulang (redesign) institusi dan proses yang menopangnya, meninjau ulang (rethink) asumsi-asumsi dasarnya, dan membayangkan kembali (reimagine) arah dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai (Jay Drydyk & Lori Keleher 2019).
Hal ini bukan hanya sebagai respons teknokratis terhadap ketimpangan, tetapi sebagai upaya mendasar untuk membongkar dan merombak fondasi-fondasi epistemik yang selama ini menopang proyek pembangunan termasuk transisi energi.
Kita harus berani membingkai ulang dan mendekolonisasi cara kita memahami pembangunan, mencabut akar-akar konsepsi yang lahir dari warisan kolonial, dan merevitalisasi pemikiran yang berakar pada kedaulatan ruang, relasi yang adil, serta martabat (dignity) komunitas lokal.
Inilah prasyarat mendasar bagi transisi energi yang benar-benar adil dan transformatif.
Kita perlu menggeser lensa dari eksploitasi menuju relasi, dari penguasaan menuju pengakuan, dari representasi menuju redistribusi kuasa. Ini berarti mengakui bahwa peta, data, dan proyek bukanlah netral, melainkan produk dari struktur kolonial yang terus hidup dalam narasi transisi.
Transisi yang paling radikal adalah yang dimulai dari pinggir, yang mengembalikan hak untuk bermimpi, menentukan arah hidup, dan mereklamasi ruang kepada mereka yang selama ini dicabut dari peta, baik secara harfiah maupun simbolik.
Hal ini terjadi ketika peta dibalik, ketika suara-suara yang selama ini diremehkan, dianggap berisik, hanya dijadikan figuran dalam pusaran pembangunan menjadi pusat pengetahuan dan arah gerak, dan ketika keberlanjutan tidak lagi menjadi proyek segelintir elite, tetapi tumbuh dari akar komunitas, dari tanah yang dihormati, dan dari relasi yang dipulihkan.
Tanpa kesadaran bahwa ruang adalah medan pertempuran kuasa, tanpa keberanian membongkar jejak kolonial yang menyusup dalam nadi pembangunan, dan tanpa tekad menjadikan transisi energi sebagai jalan menuju dekolonisasi sejati, maka transisi energi tak lebih dari kosmetika hijau yang menutupi wajah lama dari ketimpangan.
Ia menjanjikan masa depan, namun dibangun di atas reruntuhan pengabaian, penggusuran, dan pengulangan sejarah masa lalu.
Martin Dennise Silaban adalah Mahasiswa Pascasarjana Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Editor: Ryan Dagur