Floresa.co – Organisasi jurnalis menolak program rumah subsidi yang secara khusus dirancang pemerintah bagi wartawan, menyebut kebijakan tersebut dapat mengancam independensi jurnalis dan membuka ruang bagi relasi yang tidak sehat antara negara dan media.
Penolakan itu disampaikan dalam sebuah pernyataan bersama tiga organisasi jurnalis di antaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pada 15 April.
Pernyataan tersebut merespons kerja sama antara Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang akan meluncurkan 1.000 rumah subsidi yang terjangkau dan layak huni bagi wartawan di berbagai daerah.
Program ini menggunakan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang “sebenarnya bisa diakses oleh siapa saja warga negara yang memenuhi persyaratan.”
Persyaratan itu di antaranya belum memiliki rumah, penghasilan maksimal Rp7 juta (bagi yang lajang) atau Rp8 juta (mereka yang berkeluarga) dengan bunga yang ditetapkan 5% dan uang muka 1% dari harga rumah.
Menteri PKP, Maruarar Sirait berkata, peluncuran perdana program ini akan dilakukan pada 6 Mei mendatang di mana 100 kunci rumah akan diserahkan kepada wartawan terpilih.
Proses seleksi, kata dia, dilakukan secara objektif dan tepat sasaran yang akan melibatkan Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia.
Menteri Komdigi, Meutya Hafid menyebut program tersebut merupakan bentuk perhatian negara terhadap kesejahteraan jurnalis, mengklaim “bukan alat politik dan tidak bertujuan meredam kritik.”

Namun, Ketua PFI, Reno Esnir menyebut program tersebut membuat “jurnalis mendapatkan keistimewaan atau jalur khusus untuk memperoleh program kredit rumah.”
Padahal, kata dia, “program ini tidak ada hubungannya dengan tugas pers atau jurnalistik.”
Ia berkata, memberi jalur khusus kepada jurnalis untuk mendapatkan program rumah bersubsidi akan memberi kesan buruk pada profesi jurnalis karena “seolah patut diistimewakan.”
Sementara, kata dia, golongan profesi lain harus memperebutkan program rumah bersubsidi ini lewat jalur normal.
“Subsidi rumah mestinya bukan berdasarkan profesi tapi untuk warga yang membutuhkan dengan kategori penghasilan, apapun profesinya,” katanya.
“Jika jurnalis mendapatkan rumah dari Komdigi, tidak bisa dielakkan kesan publik bahwa jurnalis sudah tidak kritis lagi,” kata Nany Afrida, Ketua Umum AJI.
Nany berkata, “sebaiknya program ini dihentikan saja, biarlah teman-teman mendapatkan kredit lewat jalur normal seperti lewat Tapera atau bank.”
Jurnalis, kata dia, memang membutuhkan rumah, namun “persyaratan kreditnya harus berlaku untuk semua warga negara tanpa harus membedakan profesinya.”
Ia mengusulkan akan lebih baik jika pemerintah fokus pada pengadaan rumah yang terjangkau oleh warga negara sehingga “target 3 juta rumah benar-benar terpenuhi.”
Jika mau memperbaiki kesejahteraan jurnalis, kata dia, seharusnya pemerintah memastikan perusahaan media menjalankan UU Tenaga Kerja.
“Termasuk memastikan upah minimum jurnalis, memperbaiki ekosistem media dan menghormati kerja-kerja jurnalis,” katanya.
Reno berkata “jika upah jurnalis sudah layak, maka kredit rumah dengan mudah dapat dipenuhi.”
Ia menambahkan “sebaiknya program pemerintah berfokus pada keamanan saat jurnalis meliput.”
“Jurnalis termasuk fotografer, membutuhkan jaminan kebebasan dan keamanan ketika melakukan liputan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan berkata “pemerintah mesti fokus bagaimana persyaratan kredit rumah terjangkau semua lapisan masyarakat.”
Kendati berterima kasih atas perhatian kepada jurnalis, tetapi ia berharap “pemerintah bisa membantu pers dengan berbagai regulasi yang bisa membangun ekosistem media dengan baik.”
Ia juga menyarankan Dewan Pers agar “tidak perlu terlibat dalam program tersebut” karena “mandatnya lebih fokus pada jurnalistik.”
Sementara program rumah subsidi untuk jurnalis tidak terkait langsung dengan pers.
“Tidak perlu ada campur tangan Dewan Pers. Karena bukan mandat Dewan Pers untuk mengurusi perumahan,” katanya.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyatakan “menghargai perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan jurnalis.”
Namun, kata dia, program tersebut semestinya dijalankan menggunakan “mekanisme umum yang berlaku bagi seluruh warga negara, bukan melalui jalur istimewa.”
“Semua prosesnya hendaknya memakai skema standar sebagaimana masyarakat yang butuh perumahan pada umumnya,” katanya.
Ninik menegaskan pihaknya tidak akan menyerahkan data wartawan tanpa persetujuan dari organisasi wartawan atau media.
Ia menyarankan agar Kementerian PKP bekerjasama dengan media-media yang ada, terkait subsidi perumahan kepada wartawan.
Jika diperlukan, kata dia, pihaknya hanya membantu verifikasi data perusahaan pers, namun tidak akan menyerahkan data 100 nama wartawan pertama yang akan menerima kunci rumah.
“Kementerian PKP dapat menggunakan data yang tersedia di laman resmi Dewan Pers,” katanya.
Editor: Herry Kabut