Teken SK Tanpa Sepengetahuan Warga hingga Anggap Rendah Sektor Pertanian, Apa Saja Upaya Nabit Paksakan Proyek Geotermal Poco Leok?

Nabit tak menghiraukan beragam aksi penolakan, bahkan melaporkan warga ke polisi

Floresa.co – Bupati Manggarai Herybertus G. L. Nabit baru-baru ini mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyebut ‘tidak ada negara yang maju karena pertanian,’ merespons beragam aksi penolakan warga Poco Leok terhadap proyek geotermal, yang salah satunya karena khawatir dengan keselamatan  ruang hidup mereka.

Pernyataan Nabit dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten Manggarai tahun 2026 di Ruteng pada 26 Maret itu menuai tanggapan publik luas, di mana ia diilai sedang ‘mengelabui pemilih yang mayoritas petani.’

Kontroversi pernyataan itu muncul karena pada saat yang sama ia menyebut pertanian sebagai sektor andalan di Manggarai, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Alih-alih pertanian, ia menyebut kunci kemajuan Manggarai adalah industrialisasi.

Ini hanyalah salah satu dari upaya Nabit untuk meloloskan proyek perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6 itu.

Floresa merangkum sejumlah upaya Nabit yang ngotot agar proyek itu jalan di tengah resistensi warganya.

Teken SK Tanpa Sepengetahuan Warga

Protes warga Poco Leok selama beberapa tahun terakhir terutama menyoroti langkahnya meneken Surat Keputusan Penetapan Lokasi atau SK Penlok pada 1 Desember 2022.

SK tersebut, yang diakui warga belum pernah mereka dapatkan wujud fisik suratnya, menetapkan beberapa wilayah ulayat sebagai wellpad atau titik pengeboran dan access road geotermal.

Dalam berbagai kesempatan protes, warga dari belasan kampung adat atau gendang di Poco Leok menyatakan SK Penlok tersebut diteken Nabit secara sewenang-wenang tanpa sepengetahuan mereka.

Saat mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Manggarai di Ruteng pada 4 Juli 2023, perwakilan warga memprotes pengukuran lahan oleh lembaga itu di Lingko Tanggong, salah satu lahan ulayat milik Gendang Lungar.

Mereka menyatakan keberatan dan menyayangkan tindakan BPN yang memasang pilar “tanpa konsultasi dan komunikasi dengan tokoh adat dan warga Gendang Lungar yang adalah pemilik sah atas Lingko Tanggong.”

Kaum perempuan di Desa Lungar, wilayah Poco Leok, Kecamatan Satar Mese bergabung dalam aksi protes menolak proyek geothermal saat menyambut kunjungan Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit pada Senin, 27 Februari 2023. (Foto: Floresa.co)

Merespons warga, Siswo Haryono, kepala kantor itu berkata mereka “hanya melaksanakan perintah dokumen,” merujuk Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, yang salah satunya berisi SK Penlok Nabit.

Protes terkait SK itu juga dilayangkan warga dalam aksi unjuk rasa di Ruteng dan Jakarta, juga dalam berbagai surat yang dikirimkan kepada beberapa lembaga negara, termasuk kepada pendana proyek, yakni Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).

Terlibat Aktif Fasilitasi Proyek di Lapangan

Nabit tercatat aktif mengerahkan para pegawai daerah, mulai dari asisten sekretariat daerah hingga aparat Pol PP mendampingi PT PLN dalam beragam aktivitas mereka di lokasi proyek di Poco Leok.

Aktivitas itu yang makin masif usai Nabit meneken SK Penlok yang direspons warga dengan pengadangan di lapangan.

Dalam catatan Floresa, lebih dari dua puluh kali warga Poco Leok mengadang aktivitas lapangan itu, termasuk yang menimbulkan bentrok dengan aparat keamanan.

Aksi protes warga Poco Leok pada 2 Oktober 2024 menolak proyek geotermal. Dalam peristiwa ini beberapa warga dilaporkan menjadi korban kekerasan. (Dokumentasi warga)

Pengadangan terakhir pada 2 Oktober 2024 menyebabkan lima warga sempat ditangkap dan ditahan, sementara Herry Kabut, pemimpin redaksi Floresa dianiaya aparat dan seorang jurnalis, Tery Janu.

Salah satu aparat Polres Manggarai, Aipda Hendrikus Hanu telah dinyatakan melanggar etik dalam peristiwa itu.

Sebelumnya, pada 27 Februari 2023, warga mengadang dan menolak kedatangan Nabit ketika dia hendak menggelar dialog di Aula Stasi Lungar.

Ratusan warga kala itu menuntutnya mencabut SK Penlok.

Ia merespons langkah warga dengan berujar dalam Bahasa Manggarai: “Nggo’o de meu caran tiba meka? Eme nggooy caran, toe ma coon kole laku. Toe ma coon. E, toe ma coon. Bupati kaku! Bupati kaku! Bupati kaku!” – Begini cara kalian menerima tamu? Kalau begini caranya, bagi saya tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Ya, tidak apa-apa. Saya bupati! Saya bupati! Saya bupati!

Lapor Warga yang Unjuk Rasa

Baru sehari pulang ret-ret dari Magelang, yang menandai permulaan periode kedua jabatannya sebagai bupati, Nabit diterima dengan aksi unjuk rasa Koalisi Pemuda Poco Leok.

Aksi itu, yang berlangsung di Kantor DPRD dan Kantor Bupati Manggarai pada 3 Maret berakhir dengan insiden kerusakan pagar kantor bupati, usai perwakilan warga menemuinya di ruang pertemuan kantor tersebut.

Kerusakan pagar tersebut lantas membuat Nabit mengajukan laporan beberapa jam usai aksi, yang juga langsung direspons dengan gerak cepat polisi yang menyelidiki dan memasang garis polisi di lokasi kejadian.

Empat pemuda telah diminta keterangannya oleh polisi sebagai saksi kasus itu – dua orang koordinator aksi pada 17 Maret dan dua lainnya pada 24 Maret. 

Pada 15 Maret, polisi menaikkan status kasus tersebut ke tahap penyidikan.

Kristianus Jaret dan Maximilianus Neter, dua pemuda Poco Leok yang dipanggil sebagai saksi kasus kerusakan pagar kantor bupati Manggarai foto bersama tiga kuasa hukum usai pemeriksaan di Polres Manggarai pada 17 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

Koalisi Advokasi Poco Leok menilai langkah Nabit sebagai upaya kriminalisasi yang memperlemah perlawanan warga.

Judianto Simanjuntak, salah satu kuasa hukum warga dari koalisi itu juga menilai penanganan kasus kerusakan pagar ini oleh polisi adalah “keliru dan menyesatkan.”

Fakta yang sebenarnya, jelas dia, “adalah terjadi saling dorong gerbang” yang juga melibatkan polisi dan Satpol PP.

“Akibatnya, gerbang kantor bupati tersebut jatuh ke arah massa aksi, bahkan hampir mengenai mereka,” katanya.

Studi Banding bersama Kapolres di tengah Proses Hukum Warga

Sementara proses hukum terhadap para demonstran dari Koalisi Pemuda Poco Leok terus berlanjut, Nabit melakukan studi banding bersama Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh ke lokasi proyek geotermal PLTP Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara.

Studi banding itu, yang berlangsung beberapa hari sejak 9 Maret, juga mengikutsertakan Kepala Kejaksaan Negeri Ruteng, Fauzi dan Komandan Kodim 1612 Manggarai, Budiman Manurung.

Selain itu, Sekretaris Daerah Fansy Aldus Jahang, Asisten Bidang Perekonomian Marianus Yosef Djelamu, Kepala Badan Kesbangpol Gondolpus B. Nggarang dan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Livinus Vitalis Liven juga turut serta.

Dari unsur legislatif, ada Ketua DPRD, Paulus Peos, Ketua Komisi B, Aventinus Mbejak dan Ketua Komisi C, DPRD Klementinus Malis.

Pemerintah Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara menyambut kunjungan Bupati dan Forkompimda dari Kabupaten Manggarai untuk studi banding proyek geotermal. Kegiatan ini dibiayai PT PLN. (Foto: Zonautara.com)

Studi banding yang dibiayai PT PLN itu mendapat sorotan berbagai pihak, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempersilakan pelaporan resmi dugaan gratifikasi oleh PT PLN. Selain KPK, Kejaksaan Tinggi NTT juga merespons kasus itu.

Dugaan gratifikasi juga diungkapkan praktisi hukum Siprianus Edi Hardum, beralasan ada ‘kemesraan’ Nabit, Kapolres, Kejari dan PT PLN di tengah gelombang perlawanan warga.

Sindir Penolakan Gereja Katolik

Kontroversi lainnya yang dibuat Nabit dalam upayanya meloloskan proyek geotermal Poco Leok terungkap saat Musrenbang pada 26 Maret.

Dalam acara tersebut, yang disiarkan langsung melalui Youtube Diskominfo Kabupaten Manggarai, Nabit mempersoalkan keterlibatan para uskup di wilayah Nusa Tenggara dan Bali dalam penolakan geotermal, menyebut “negara mengatasi agama-agama yang ada.”

“Kalau mau bawa nilai-nilai agama sebagai awasan moral, oke, tapi menentukan kebijakan-kebijakan negara dengan agama, jangan,” lanjutnya.

Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit saat berpidato dalam Musrenbang di Ruteng pada 26 Maret 2025. (Tangkapan layar Youtube Diskominfo Kabupaten Manggarai)

Pada bagian lain pidatonya, ia terhitung dua kali memakai kata “sembahyang” atau berdoa.

Salah satunya saat berbicara terkait pabrik pengolahan komoditas lokal sebelum dipasarkan keluar daerah yang membutuhkan listrik.

“Tidak pakai sembahyang proses ini. Kalau pakai sembahyang, tidak perlu listrik, sembahyang kat ga (tinggal berdoa saja),katanya.

Kata itu disinggung lain saat berbicara soal berbagai risiko proyek geotermal, menyebut tidak ada sesuatu tanpa risiko “di bawah kolong langit ini.”

“Sembahyang pakai berlutut saja ada risikonya, ya to pak? Reu tu’us pe (lutut terluka),” ungkapnya.

Remehkan Pertanian, Elukkan Industrialisasi

Masih dalam pidato pada 26 Maret, Nabit menganggap remeh pertanian dan mengelukan industrialisasi.

Anggapan Nabit bahwa pertanian tak membawa kemajuan bertolak belakang dengan ucapannya sendiri bahwa pertanian merupakan sektor andalan di Manggarai.

Pada pilkada 2020, dia juga mengampanyekan janji peningkatan nilai tambah produk pertanian. 

Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi kopi – salah satu produk pertanian unggulan Manggarai – relatif stagnan selama satu dekade terakhir, yakni di angka 1.500 ton hingga 2.500 ton per tahun. Sempat ada peningkatan tajam pada 2022 ke level 5.000 ton lebih, namun  anjlok lagi ke level 2.500 ton pada 2023.

Sementara produk lainnya, yakni kemiri, berada pada kisaran 700 ton hingga 1.000 ton selama satu dekade terakhir. 

Sama seperti  produksi kopi, pada 2022 juga ada lonjakan drastis, tetapi kemudian turun signifikan lagi tahun berikutnya. 

Fluktuasi angka produksi itu dinilai bukan karena intervensi pemerintahan Nabit, melainkan lebih karena faktor cuaca.

Nabit, yang menjanjikan insentif bagi petani milenial pada kampanye pilkada 2020, juga tak mampu mendongkrak produksi kedelai. Produksinya pada 2023 hanya 484 ton, turun drastis dari 2.913 ton pada 2018.

Terus Ditentang Warga dan Gereja

Proyek geotermal Poco Leok adalah bagian dari proyek strategis nasional dalam program elektrifikasi 35.000 megawatt. 

Selain di lokasi itu, belasan titik lainnya di Pulau Flores – yang ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017 – juga telah dipetakan sebagai lokasi eksplorasi dan eksploitasi geotermal.

Selain Flores juga terdapat beberapa titik di Pulau Lembata dan Alor, di sebelah timur.

Warga di lokasi-lokasi itu hingga kini aktif melakukan protes dan perlawanan.

Terakhir, gerakan perlawanan didukung partisipasi aktif Gereja Katolik, termasuk aksi unjuk rasa besar-besaran yang melibatkan biarawan dan biarawati di Ngada, memprotes geotermal Mataloko pada 12 Maret.

Para biarawati Katolik dan kaum perempuan Mataloko berada di garis depan saat aksi unjuk rasa tolak geotermal Mataloko di Kabupaten Ngada pada 12 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

Para uskup se-Nusa Tenggara dan Bali juga menyatakan sikap penolakan melalui surat gembala bersama pada Maret, menyebut geotermal bukan pilihan di Pulau Flores dengan luas yang kecil dan kontur berbukit-bukit.

Mereka juga menyatakan, geotermal tidak sejalan dengan arah utama pembangunan di Flores yang fokus pada sektor pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan dan kelautan, 

Secara pribadi, Uskup Labuan Bajo Mgr Maksimus Regus dan Uskup Agung Ende Mgr Paulus Budi Kleden, SVD juga telah menyatakan sikap menolak proyek geotermal di wilayah kegembalaannya, yakni Wae Sano di Manggarai Barat dan Mataloko, Sokoria, Lesugolo dan beberapa lainnya di Kabupaten Ngada dan Ende.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA