Tanpa Memajukan Sektor Pertanian, Industrialisasi di Manggarai Hanya Omong Kosong

Selama kepemimpinan Bupati Nabit, produktivitas pertanian stagnan, bahkan hortikultura masih bergantung ke daerah lain

Oleh: Petrus Dabu

Dalam pidatonya saat Musyawarah Rencana Pembangunan atau Musrenbang Penyusunan Rencana Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Manggarai Tahun 2026 pada 26 Maret, Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit berbicara soal industrialisasi.

Ia menyampaikan hal itu dalam konteks dukungan terhadap  proyek pengembangan panas bumi atau geotermal di Poco Leok.

Ia berkata, proyek geotermal di Poco Leok harus dibangun karena “kunci kemajuan adalah industrialisasi” yang pasti membutuhkan listrik.

Pernyataan ini menarik karena pada kesempatan yang sama, kendati mengakui bahwa sektor pertanian sebagai “andalan” di Manggarai, ia berkata, “tidak ada negara maju karena pertanian,” diikuti tiga kali ujaran “tidak ada.”

“Itu hanya omong untuk kasih senang-senang kita,” menyebut “negara maju karena industri, baik barang maupun jasa.”

Ada dua hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut terkait pernyataan Nabit. 

Benarkah Kunci Kemajuan adalah Industrialisasi? 

Bila merujuk pernyataannya sebagaimana diberitakan Floresa, industrialisasi yang dimaksudkan oleh Nabit adalah proses transformasi ekonomi Kabupaten Manggarai dari berbasiskan pertanian menjadi industri. 

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.

Dari definisi tersebut yang menjadi penekanan adalah mengolah bahan baku untuk menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi (added value)

Saya kira bila industrialisasi yang dimaksudkan Nabit seperti itu, tidaklah salah. 

Ini juga yang menjadi keyakinan para ekonom, bahwa dari sisi produksi, agar nilai Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara tumbuh pesat, industrialisasi adalah keniscayaan.

Selama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo juga terus menggencarkan hilirisasi tambang agar Indonesia tak lagi semata mengekspor bahan mentah. 

Ia menghendaki agar bahan mentah diolah dulu di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah, meskipun publik juga tahu bahwa selama 10 tahun ia menjadi presiden, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level lima persen.

Saat kampanye untuk maju pada pilkada 2020, Nabit juga sempat menyampaikan ide peningkatan nilai tambah produk pertanian di Manggarai.

Hal itu memang kemudian terbukti hanya sekedar janji kampanye, karena nyatanya setelah terpilih, omongannya sama sekali tak terlaksana.

Sekarang, di tengah penolakan yang masif dari warga sekitar dan para uskup di Nusa Tenggara dan Bali, Hery kembali melontarkan omongan soal industrialisasi untuk menjustifikasi pengembangan geotermal di Poco Leok

Menurut saya, persoalannya bukan pada apakah industrialisasi-yang menurut Nabit ditentukan oleh adanya pasokan listrik-benar atau tidak sebagai kunci kemajuan ekonomi.

Dalam konteks meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), industrialisasi memang salah satu jalannya.

Dalam konteks Manggarai dan Flores pada umumnya, tentu industrialisasi bisa kita maknai meningkatkan nilai tambah produk pertanian yang memang menjadi sektor unggulan. 

Misalnya, kemiri yang merupakan salah satu komoditas unggulan di tidak dijual ke Jawa dalam bentuk gelondongan, tetapi diolah menjadi minyak kemiri. Demikian juga kopi, mente, dan komoditas lainnya.

Dengan demikian, berbicara industrialisasi tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan bahan baku dari sektor pertanian. 

Pertanyaannya, selama menjadi bupati sejak 2020, sudah sejauh mana Nabit meningkatkan produksi pertanian yang menjadi sumber bahan baku untuk industrialisasi itu? 

Apakah ia memiliki program sistematis untuk meningkatkan produksi kopi dan kemiri sebagai dua komoditas unggulan?

Mari kita cek data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manggarai.

Selama satu dekade terakhir, produksi kopi di Manggarai relatif stagnan di angka 1.500 ton hingga 2.500 ton per tahun. 

Sempat ada peningkatan tajam pada 2022 ke level 5.000 ton lebih, namun  anjlok lagi ke level 2.500 ton pada 2023.

Diolah dari Data BPS Kabupaten Manggarai

Dari data ini, peningkatan produksi tentu bukan karena ada intervensi dari pemerintahan Nabit. Dugaan saya lebih karena faktor cuaca, mengingat pada 2024 produksinya juga stagnan. 

Tren yang sama juga terjadi pada komoditas kemiri, yang berada pada kisaran 700 ton hingga 1.000 ton selama satu dekade terakhir. 

Sama seperti  produksi kopi, pada 2022 juga ada lonjakan drastis, tetapi kemudian turun signifikan lagi tahun berikutnya. 

Hal ini lagi-lagi bukan karena upaya intervensi dari pemerintah.

Diolah dari Data BPS Kabupaten Manggarai

Nabit juga pernah menggalakan budidaya tanam kedelai pada 2022 dan 2023. 

Saya sempat berpikir bahwa ia sedang melihat peluang di tengah ketergantungan Indonesia pada kedelai impor. 

Namun, gerakan tanam kedelai ini juga hanya ‘hangat-hangat tahi ayam’. 

Tidak kedengaran lagi upaya apa yang dilakukan pemerintahan Nabit untuk meningkatkan produksi kedelai agar bisa memasok sebagian kebutuhan kedelai Indonesia.

Merujuk data BPS, pada 2023 produksi kedelai di Manggarai hanya 484 ton. 

Padahal, pada 2018 produksinya mencapai 2.913 ton.

Jadi, tidak ada yang salah dengan ide industrialisasi. Tetapi, basisnya mesti diperkuat dulu, yaitu sektor pertanian. 

Bagaimana mau bicara industrialisasi misalnya bila produk-produk hortikultura seperti sayur-sayuran di Pasar Inpres Ruteng saja masih dipasok dari luar daerah. 

Padahal, saat kampanye pada 2020, Nabit berjanji mengembangkan sektor pertanian, bahkan mengklaim memberikan insentif kepada petani milenial.

Tolak Geotermal Tolak Listrik?

Premis kedua yang perlu dikritisi dari pernyataan Hery Nabit adalah soal kunci industrialisasi adalah listrik. 

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan pernyataan ini. Untuk meningkatkan nilai tambah atau industrialisasi itu, memang kita membutuhkan listrik.

Namun, ketika pernyataan ini disampaikan dalam konteks adanya penolakan proyek geotermal, Herry seakan-akan menilai kelompok yang menolak, termasuk para uskup, menolak listrik. 

Saya kira, kelompok yang kritis terhadap proyek geotermal di Poco Leok dan juga wilayah lain di Flores tidak dalam posisi menolak listrik sebagai sumber energi yang menggerakkan roda ekonomi, termasuk berbagai aktivitas manusia.

Kebutuhan akan listrik adalah keniscayaan. Hal yang yang ditolak adalah listrik yang bersumber dari panas bumi. 

Para Uskup Regio Nusa Tengggara-Bali yang menolak pengembangan panas bumi di Flores sudah membeberkan alasan mereka dalam surat gembala yang ditandatangani setelah pertemuan di Maumere pada 10—13 Maret 2025. 

Mereka menekankan bahwa Pulau Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.

Sama halnya juga dengan masyarakat di lingkar proyek. Mereka  sudah menyampaikan alasan-alasan mereka, terutama karena titik-titik pengeboran yang direncanakan berada di dekat lahan dan pemukiman mereka. 

Warga lingkar proyek mencemaskan ekses-ekses negatif dari pengembangan proyek-proyek ini.

Apalagi jika melihat situasi di lokasi proyek seperti Mataloko di Kabupaten Ngada yang gagal berulang sejak dimulai pada dua dekade lalu.

Sebagai pemimpin daerah yang memiliki potensi panas bumi, apakah Nabit sudah membuat kajian-kajian untuk memitigasi risiko-risiko negatif pengembangan panas bumi? 

Saya khawatir, Nabit percaya begitu saja dengan narasi dominan pemerintah pusat dan korporasi bahwa panas bumi adalah energi bersih. 

Padahal, berbagai kajian dan pengalaman lapangan sudah menunjukkan risiko negatif itu nyata adanya, sebagaimana yang menjadi salah satu inti penolakan para uskup.

Argumen yang disampaikan Nabit dalam pidatonya bahwa energi listrik dari Poco Leok juga dialirkan ke seluruh Flores tidaklah logis, mengingat proyek-proyek ini juga hendak dijalankan di wilayah Flores lainnya.

Alih-alih menggunakan industrialisasi sebagai kedok untuk mendukung geotermal, Nabit perlu mendalami lagi situasi di lingkar proyek di Flores, juga daerah lainnya di Indonesia.

Ia memang sudah ikut studi banding ke PLTP Lahendong di Sulawesi pada Maret lalu. Kegiatan itu yang dibiayai PT PLN tentu agar ia mendukung proyek geotermal Poco Leok.

Kalau mau fair, pergilah juga ke lokasi-lokasi proyek lainnya yang terbukti sudah punya masalah. 

Kalau ke lokasi proyek Sorok Merapi di Mandailing Natal, Sumatra Utara yang sudah berulang kali memicu masalah dan menelan korban nyawa itu terlalu jauh, mampirlah ke ke Mataloko.

Jangan sampai kegandrungan pada proyek geotermal ini membuat kita lupa bahwa mayoritas warga Manggarai itu petani dan itu pula yang menjadi basis utama kehidupan dari generasi ke generasi.

Bicara maju dari sektor pertanian bukan hanya untuk “senang-senang” seperti kata Nabit, kecuali kalau memang janji-janjinya saat kampanye hanya main-main, untuk menyenangkan atau mengelabui pemilihnya yang mayoritas petani. 

Petrus Dabu adalah editor Floresa

Editor: Ryan Dagur


Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, Anda bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING