Floresa.co – Setelah lebih dari sepekan mendekam di tahanan Polres Manggarai Timur, Andre Kornasen, seorang jurnalis di Kabupaten Manggarai Timur kembali menghirup udara bebas.
Firman Jaya, jurnalis lainnya yang bekerja di wilayah itu, dianiaya Andre pada 31 Maret, yang dipicu oleh komentar akun Facebook Rugha Boto.
Keduanya berdamai pada 16 April di Polres Manggarai Timur.
“Saya melihat dia punya itikad baik dan menyadari kesalahannya,” ujar Firman kepada Floresa pada 17 April.
Selain itu, Firman, jurnalis Detiknet.id, berkata, ia memaafkan Andre karena “sebagai orang Katolik, saya mau jadikan momen Paskah ini untuk berdamai dengan sesama.”
Umat Katolik di seluruh dunia memasuki Pekan Suci untuk merayakan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus pada 13-20 April.
Firman dan Andre sempat berdiri berdampingan memberikan pernyataan publik pada 16 April usai berdamai.
“Kami telah mencapai kesepakatan damai. Saya pribadi sudah menyampaikan permintaan maaf kepada Firman, komunitas pers dan seluruh masyarakat Manggarai Timur,” ujar Andre.
Ia mengakui tindakannya menganiaya Firman tidak dapat dibenarkan “karena itu adalah bentuk kekerasan.”
Andre juga menyebut keduanya telah meminta kepada Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto untuk menyelidiki lebih lanjut identitas pemilik akun Rugha Boto.
“Tadi Kapolres juga berkomitmen untuk menelusuri siapa pengelola akun tersebut,” ujarnya.
Setelah dilaporkan Firman ke Polres Manggarai Timur pada 31 Maret, Andre sempat membuat laporan balik terhadap Firman dan tiga orang lainnya terkait dugaan pencemaran nama baik melalui Facebook.
Firman berkata kepada Floresa pada 2 April bahwa ia bukan pemilik akun itu.
Mengulangi pernyataan sebelumnya, Firman juga mendorong kepolisian mengungkap pemilik akun tersebut.
“Karena persoalan ini dipicu oleh akun palsu, maka saya juga mendorong Andre untuk terus melanjutkan laporannya terkait akun Facebook palsu Rugha Boto,” katanya.
Rugha Boto merupakan kata dalam bahasa lokal di Manggarai Timur yang diasosiasikan dengan mandul.
Akun itu sempat memberi komentar di unggahan Andre yang berisi makian dan klaim bahwa warga Manggarai Timur tidak lagi percaya pada Floreseditorial.com, media yang dikelola Andre.
Andre menduga pemilik akun itu adalah Firman, yang berujung pada aksi penyerangan.
Andre dan adiknya Yohanes Jehaman Kornasen ditetapkan sebagai tersangka pada 4 April, lalu ditahan tiga hari kemudian.
Ada Apa di Balik Keputusan Damai?
Saat pertama kali kasus ini dilaporkan ke Polres Manggarai Timur, Andre sempat merespons dengan sejumlah unggahan di Facebook yang menantang apakah ia akan dipidana.
Salah satunya ia menulis, “Ada yang berharap saya ditahan. Maaf ade, mainanmu kurang jauh.” Unggahan itu disertai emoticon tertawa.
Sejumlah unggahannya sempat dikirim warga Manggarai Timur ke Kapolres AKBP Suryanto, yang membuatnya berjanji akan serius menangani kasus ini dan mempertaruhkan jabatannya.
Sumber Floresa yang dekat dengan Andre menyatakan, Andre berubah semenjak polisi berjanji serius menangani kasus ini, apalagi setelah menetapkannya sebagai tersangka dan menahannya.
Hal itu membuatnya berusaha mencari jalan agar kasus ini diselesaikan dengan jalur damai.
“Dia mempertimbangkan situasi keluarganya, termasuk karyawan di media yang ia pimpin,” kata sumber itu.
“Karena itu, ia mengupayakan agar kasus ini tidak dilanjutkan,” tambahnya.
Terkait perdamaian ini, AKBP Suryanto berkata, pihaknya menggunakan mekanisme penyelesaian kasus di luar pengadilan atau nonlitigasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang tata cara penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice.
Bila restorative justice dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan, merujuk pada peraturan itu, maka kepolisian dapat melakukan penghentian penyelidikan atau penyidikan.
Ditanya Floresa terkait penghentian penyidikan, Suryanto mengatakan belum menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3.
“Mereka baru mengirimkan surat perdamaian ke Polres,” kata Suryanto kepada Floresa pada 17 April.
Asal Ada Kesepakatan Tulus
Praktisi hukum Edi Hardum menyatakan, kunci penyelesaian tindak pidana melalui mekanisme restorative justice adalah kesepakatan yang tulus antara pelaku dan korban.
“Pelaku harus meminta maaf dan korban menerima permintaan maaf itu secara sukarela, tanpa tekanan. Pelaku juga wajib berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan siap bertanggung jawab secara moral dan sosial,” katanya kepada Floresa.
Dalam konteks budaya lokal seperti di Manggarai, ia menjelaskan pelaku dapat dikenakan denda adat sesuai permintaan korban.
Dalam kasus Andre dan Firman, katanta, jalur restorative justice sah ditempuh karena memenuhi unsur kesepakatan.
Selain itu, meski tersangka dan korban sama-sama jurnalis, menurut dia, mekanisme restorative justice bisa dilakukan karena tindak pidana itu tidak menyangkut persoalan pemberitaan atau kebebasan pers.
“Kebetulan saja pelaku dan korban adalah wartawan, tapi peristiwanya tidak berkaitan dengan karya jurnalistik. Jadi, restorative justice bukan sesuatu yang keliru,” katanya.
Ia mengapresiasi langkah kepolisian yang sebelumnya sempat menahan Andre karena “menunjukkan tindakan kekerasan tetap dianggap serius oleh aparat.”
Edi memberi catatan bahwa tidak semua kasus pidana dapat diselesaikan melalui mekanisme ini.
“Ada pengecualian, seperti kekerasan seksual, pembunuhan, korupsi, narkoba, dan terorisme. Semua itu wajib diselesaikan lewat proses hukum formal, (pelaku) diperiksa, diadili dan dipenjara,” jelasnya.
Editor: Petrus Dabu