Floresa.co – Empat truk ekspedisi tampak sedang parkir di Terminal Nggorang pada 2 Juni petang.
Keempatnya baru saja mengangkut porang, umbi-umbian yang kini jadi salah satu produk ekspor.
Di belakang gedung terminal di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat itu, bertumpuk porang dalam sejumlah karung.
Beberapa menit kemudian, sebuah truk lain pengangkut porang masuk ke area terminal.
Selain truk yang keluar masuk, delapan pekerja bongkar muat tampak sedang beraktivitas.
Ini adalah situasi terkini terminal itu yang dibangun hampir dua dekade lalu oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Berada di lahan seluas 6.690 meter persegi, pembangunannya pada 2006 menelan anggaran Rp9 miliar.
Pemerintah Kabupaten Manggarai sempat mengelolanya, sebelum beralih ke pemerintah provinsi pada 2016, dua tahun pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang antara lain mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah Kabupaten dan Provinsi, termasuk soal terminal.
Namun, sejak ditangani provinsi, Terminal Nggorang tak lagi difungsikan, hingga ditumbuhi rumput liar dan sejumlah fasilitas rusak.
Minta Dimanfaatkan
Terminal itu bernaung di bawah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengelola Prasarana Teknis Perhubungan Wilayah IV.
Kristianus Soni Teme, Pelaksana Tugas UPTD berkata, pihaknya memang hendak mengaktif kembali terminal itu sesuai arahan Wakil Gubernur NTT, Johni Asadoma saat kunjungan ke Labuan Bajo pada 21 Maret.

Saat meninjau terminal itu, Asadoma meminta agar “segera difungsikan kembali,” kendati tidak lagi seperti tujuan awalnya.
Asadoma bahkan berencana mengalihfungsikan kios di terminal menjadi kos-kosan, asal bisa memberi kontribusi pada pendapatan asli daerah.
Pernyataan itulah yang membuat terminal itu dimanfaatkan sebagai lokasi bongkar muat porang sejak awal bulan lalu.
Pengepul porang asal Surabaya yang hanya memperkenalkan diri dengan nama Ari berkata kepada Floresa, ia telah melaporkan aktivitas bongkar-muat di terminal itu ke UPTD.
UPTD memberi tahunya “tidak apa-apa, selama kegiatannya hanya bongkar muat barang.”
Selain itu, “petugas di sini bilang, terminal boleh dipakai, tetapi tidak boleh dikontrak dan mengubah kondisi tempatnya, kecuali merawatnya.”
Ia berkata, setiap mobil pengangkut porang yang masuk terminal dikenai biaya Rp10 ribu.
Ari juga menyewa dua ruko di terminal itu untuk penginapan sopir dan pekerja, masing-masing dibayar Rp300 ribu per bulan.
Adrian, pengepul lainnya dari Madiun, Jawa Timur berkata, “kami tidak mengubah fungsi terminal.”
Ia mengklaim merawat dan membersihkannya, termasuk memasang lampu.
Porang yang dibeli dari petani di sejumlah wilayah di Manggarai Barat tersebut, katanya, hendak dibawa ke Surabaya melalui Pelabuhan Multipurpose Labuan Bajo.
Kristianus Soni Teme berkata, area terminal tersebut tidak disewakan khusus untuk pedagang porang, tetapi terbuka untuk pelaku usaha lainnya.
Ia berkata, pendapatan untuk pemerintah adalah lewat retribusi, merujuk pada ketentuan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Provinsi NTT.
Ia mengklaim sebelum ada aktivitas pedagang porang, retribusi yang bersumber dari terminal itu hanya Rp300 per bulan, namun “sejak ada mereka naik hingga Rp3 juta.”
Soni berkata, aktivitas pedagang porang menjadi titik awal kembalinya aktivitas di terminal itu bersyukur ada pelaku usaha yang berminat, kendati sejumlah fasilitas, termasuk jalan masuk sudah rusak.
“Kita tangkap peluang itu. Inilah fasilitas negara yang ada, kenapa tidak difungsikan?” katanya.
Mengapa Tidak Lagi Jadi Terminal?
Beberapa tahun terakhir, Floresa berulang kali menulis soal kondisi terminal itu, salah satu dari beberapa fasilitas publik yang dibangun pemerintah di Kabupaten Manggarai Barat, namun kemudian mubazir.
Terminal yang berlokasi sekitar 15 kilometer arah timur Labuan Bajo itu semula difungsikan sebagai penghubung antara angkutan umum yang masuk ke Labuan Bajo dari arah timur, yakni dari Bajawa, Kabupaten Ngada dan Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Dalam wawancara dengan Floresa pada September 2024, Kristianus Soni Teme mengklaim Terminal Nggorang tidak disinggahi angkutan umum lantaran tak ditopang terminal tipe C atau terminal kota di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Terminal tipe C merupakan titik bagi angkutan kota untuk menjemput dan mengantar penumpang dari dan ke Terminal Nggorang sebagai “terminal luar kota.”
“Semestinya penumpang yang mau berangkat menunggu angkutan di terminal kota. Mereka diantar oleh angkutan kota ke terminal luar kota,” katanya.
Kristianus melempar kesalahan terhadap mobil pribadi yang kini dijadikan angkutan travel dan berseliweran. Ia menyebut mobil travel itu “liar” karena tak jelas izin trayeknya. Mereka biasanya langsung mengantar penumpang ke Labuan Bajo.
Kristianus mengaku “telah berupaya memberikan sosialisasi dan edukasi” bagi para sopir travel agar segera mengurus izin usaha angkutan.
Izin, katanya, “sangat penting karena terkait jaminan keselamatan penumpang,” termasuk skema ganti rugi bila mengalami kecelakaan.
Namun, “hingga kini belum ada sopir yang mengurus izin usaha angkutan.”
“Kami tak bisa paksa, hanya bisa menunggu mereka datang dan akan kami layani.”
Sementara Adrianus Gunawan, Kepala Dinas Perhubungan Manggarai Barat berkata, hanya mobil travel yang bernaung di bawah PT Gunung Mas yang kini mengantongi izin usaha angkutan umum dari dan ke Labuan Bajo.
Armada itu juga memiliki “jadwal yang teratur dan bertiket.”
Gunung Mas membayar retribusi, katanya, namun memilih mengantar langsung penumpang ke Labuan Bajo karena Terminal Nggorang sepi.
Laporan ini dikerjakan Doroteus Hartono dan Venansius Darung
Editor: Herry Kabut