ReportasePeristiwaUskup Larantuka Tolak Proyek Geotermal di Lembata: “Kalau Tahu Berdampak Buruk, Jangan Dilanjutkan”

Uskup Larantuka Tolak Proyek Geotermal di Lembata: “Kalau Tahu Berdampak Buruk, Jangan Dilanjutkan”

“Kalau kita menganggap alam itu sebagai ibu, maka jangan diam. Alam memang diam, tapi dia bisa bersuara,” kata Uskup Kopong Kung

Floresa.coUskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung menegaskan penolakannya terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP atau geotermal yang direncanakan pemerintah di Desa Atakore, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, NTT.

“Kalau tahu dampaknya buruk, jangan dilanjutkan. Maka itulah sikap kita,” kata Kopong Kung dalam pernyataan yang disampaikan usai pelantikan pengurus baru Pemuda Katolik Komisariat Cabang (Komcab) Lembata di Gereja Maria Banneux pada Minggu, 1 Juni 2025.

Pernyataannya tersebut mempertegas isi Surat Gembala yang menyatakan penolakan enam uskup di Provinsi Gerejawi Ende dalam pernyataan bersama pada Maret, yang menurutnya, “harus dibaca baik-baik dan dipahami betul-betul.” 

‘Surat Gembala Pra-Paskah Para Uskup Provinsi Gerejawi Ende’ diteken dalam ‘Sidang Tahunan Para Uskup Provinsi Gereja Ende’ di Seminari Tinggi Santu Petrus Ritapiret, Maumere pada 10—13 Maret 2025.

Selain Kopong Kung sendiri, para uskup itu adalah Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD; Uskup Maumere, Mgr. Martinus Ewaldus Sedu; Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat; Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus dan Uskup Denpasar, Mgr. Silvester San.

Pernyataan menolak proyek geotermal muncul dalam poin pertama surat itu, dengan ajakan untuk “memilih masa depan secara bijaksana.”

“Eksploitasi sumber daya alam, termasuk energi geotermal di Flores dan Lembata, menimbulkan pertanyaan: Apakah kita membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?, tulis mereka.

Menurut mereka, Flores dan pulau-pulau kecil lainnya memiliki ekosistem yang rapuh dan berisiko besar, sehingga eksploitasi yang tidak bijaksana, termasuk proyek geotermal berdampak pada lingkungan, ketahanan pangan, keseimbangan sosial dan keberlanjutan kebudayaan.

Penolakan terhadap geotermal, kata mereka, berangkat dari sejumlah persoalan yang muncul dari rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal di Flores dan Lembata, “dengan topografinya yang dipenuhi gunung dan bukit dan sumber mata air permukaan yang amat terbatas.”

Selain itu, mereka menilai proyek geotermal bertentangan dengan arah utama pembangunan di wilayah itu “yang menjadikan wilayah ini sebagai daerah pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan unggulan serta pertanian dan kelautan.”

Uskup Kopong mengingatkan bahwa jika Surat Gembala itu disalahartikan, “akan membenturkan Gereja, pemerintah, dan masyarakat.”

Gereja, lanjutnya, sudah menyaksikan berbagai dampak merusak dari proyek-proyek geotermal di tempat lain, dan karena itu menolak segala bentuk eksplorasi dan eksploitasi yang mengancam kelestarian alam dan tatanan hidup warga.

“Kita tolak dampak. Ini bukan omong kosong. Sudah ada prioritas yang terlihat, sudah ada dampak yang mulai terjadi yang merusak lingkungan,” katanya.

Ia juga menyerukan agar masyarakat bersikap proaktif dalam membela lingkungan. 

“Jangan tunggu rusak dulu baru bersuara. Harus dicegah,” katanya. 

“Kalau kita menganggap alam itu sebagai ibu, maka jangan diam. Alam memang diam, tapi dia bisa bersuara.”

Dukungan terhadap sikap Gereja juga datang dari Pemuda Katolik Komcab Lembata. 

Ketua terpilih, Gaspar Sio Apelaby menegaskan bahwa pihaknya akan berdiri sejalan dengan Gereja dalam menyikapi proyek geotermal tersebut.

“Yang terpenting seperti yang disampaikan Uskup, bahwa kalau misalnya dampaknya buruk, ya kita tolak. Kalau dampaknya baik, ya kita terima. Yang terpenting adalah dampak terhadap masyarakat dan lingkungan,” kata Gaspar.

Menurutnya, Pemuda Katolik melihat seruan Uskup bukan sekadar ajakan moral, melainkan sikap tegas yang mengedepankan perlindungan terhadap kehidupan bersama, terutama warga setempat yang akan terdampak langsung. 

Karena itu, kata Gaspar, tidak ada ruang kompromi jika hasil kajian menunjukkan adanya ancaman terhadap ekosistem dan keberlangsungan hidup warga.

“Sebagai Pemuda Katolik, kita pikir itu adalah pesan yang cukup baik untuk masyarakat, jadi perlu dukung,” katanya.

Wilayah Kerja Panas Bumi atau WKP Atadei memiliki luas 31.200 hektare, mencakup tiga desa di Kecamatan Atadei yaitu Desa Atakore, Desa Nubahaeraka dan Desa Ile Kimok.

Pembangunannya dengan kapasitas 10 megawatt ditargetkan selesai pada 2024 atau 2026, menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik [RUPTL] 2021-2030.

Proyek itu menuai protes warga setempat, termasuk memicu demonstrasi mahasiswa di Kupang, ibukota Provinsi NTT pada Juli 2024.

Selain Atadei, lokasi lainnya di Kabupaten Flores Timur, bagian dari Keuskupan Larantuka, yang ditargetkan untuk proyek serupa adalah Oka Ile Ange, dengan potensi sebesar 40 megawatt.

Editor: Anno Susabun

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA