Floresa.co – Umat Katolik di Ende, NTT tumpah ruah ke jalan pada 5 Juni dalam aksi unjuk rasa memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Desakan mereka fokus pada penolakan ekspansi proyek geotermal di wilayah itu, juga Flores secara keseluruhan.
Aksi unjuk rasa dengan nada perlawanan demikian tidak muncul di Ende sebelumnya, kendati salah satu proyek geotermal berlokasi di kabupaten itu dan telah beroperasi.
Sikap diam itu pecah usai Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden SVD menyatakan sikap terbuka menolak geotermal pada Januari tahun ini.
Pernyataan uskup yang disertai ajakan membangun gerakan perlawanan itu kini telah mempengaruhi umat di seluruh wilayah keuskupan itu yang mencakup tiga kabupaten di Flores – Ende, Ngada dan Nagekeo.
Pada 5 Juni itu, umat Katolik di Keuskupan Agung Ende turun ke jalan di beberapa lokasi.
Di Ende, sejumlah elemen yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup Kevikepan Ende mencakup rohaniwan, tokoh adat, mahasiswa, komunitas petani dan nelayan serta organisasi pemuda berbasis Katolik.
Aksi serupa juga dilakukan umat di Kevikepan Mbay di Kabupaten Nagekeo.
Di Ende, aksi itu berlangsung di depan Kantor DPRD dan kantor bupati.
Dalam orasinya, Belasius A. Rinda, salah seorang warga menyatakan kekhawatiran terhadap dampak proyek geotermal yang merusak lingkungan dan membatasi ruang hidup masyarakat lokal.
Ia menyebut soal kerusakan hutan lindung, pencemaran sumber air, dan pergeseran hak atas tanah adat sebagai persoalan utama yang perlu menjadi perhatian.
“Kami bukan menolak pembangunan secara umum, tapi kami tidak sepakat dengan model pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan hak masyarakat,” katanya.

Marselinus Erlan Le’u, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Ende ikut membacakan sikap bersama aliansi.
Mereka menyatakan keberatan atas penetapan wilayah Kombandaru, Jopu, Detusoko dan Lesugolo sebagai lokasi pengembangan baru proyek geotermal.
Rencana itu tercantum dalam data Direktorat Panas Bumi di Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dalam dokumen pada 2020 tersebut, wilayah-wilayah ini termasuk dalam daftar potensi panas bumi di Flores yang dirancang untuk menjadi bagian dari perluasan proyek nasional pengembangan energi terbarukan.
Warga menolak, beralasan penetapan lokasi tersebut tidak melalui proses konsultasi yang terbuka dan partisipatif.
Selain itu, wilayah tersebut berada dekat dengan kawasan konservasi, sumber mata air bersih serta lahan pertanian dan permukiman.
Mereka juga menyoroti praktik pengalihan tanah masyarakat yang dinilai tidak transparan serta adanya tekanan terhadap warga dan tokoh adat yang menyampaikan penolakan.
Kepada pemerintah daerah dan DPRD, aliansi juga meminta untuk mencabut Surat Persetujuan Izin Prinsip Pembangunan kepada PT. Sokoria Geothermal Indonesia (SGI).
Perusahaan yang mengelola PLTP Sokoria di Ende itu adalah anak usaha KS Orka Renewables Pte. Ltd., korporasi berbasis di Singapura yang menguasai 95 persen sahamnya.
KS Orka juga merupakan pemilik mayoritas perusahaan yang mengelola PLTP Sorik Marapi di Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.
PLTP itu mengalami beberapa insiden kebocoran gas sejak 2021 dan menyebabkan korban jiwa. Rekam jejak ini menjadi alasan kekhawatiran warga terhadap proyek PT SGI di Ende.
Karena itu, mereka mendorong pemerintah mempertimbangkan bentuk-bentuk energi terbarukan lainnya yang dinilai lebih ramah lingkungan dan tidak berdampak langsung pada lahan masyarakat, seperti tenaga surya, angin, arus laut dan biomassa.
Mereka juga menyatakan pentingnya menjaga lingkungan, sejalan dengan dokumen Gereja Katolik Ensiklik Laudato Si yang menekankan perlunya merawat bumi sebagai rumah bersama.
Aliansi menyatakan bahwa aksi ini merupakan bagian dari komitmen jangka panjang untuk terus mengawal isu-isu lingkungan dan hak masyarakat di wilayah Flores.
Mereka berharap pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas dan mempertimbangkan suara masyarakat dalam setiap proses pembangunan.
Merespons tuntutan aliansi, Ketua DPRD Ende, Fransiskus Taso menyatakan “kami sejalan dengan perjuangan masyarakat dan akan bersama-sama memperjuangkan penolakan terhadap proyek geotermal.”
Ia mengklaim DPRD telah membentuk panitia khusus untuk menelusuri dampak proyek geotermal dan telah melaporkan hasilnya dalam forum paripurna.
“Kami sudah menindaklanjuti temuan-temuan di lapangan dan itu menjadi dasar kami untuk menolak proyek ini,” katanya.
Pastor Markus Tulu, SVD, salah satu perwakilan massa yang ikut audiensi mengingatkan DPRD untuk “jaga waka (jaga wibawa) dan jaga tanah.”
“Manusia tidak beradab jika tidak bersahabat dengan tanah,” katanya.
Ia juga menyoroti potensi polarisasi di tengah masyarakat akibat perbedaan kepentingan, baik politik maupun ekonomi.
“Berhentilah membohongi masyarakat dan mosalaki — merujuk tetua adat,” katanya.

Sebelum aksi pada 5 Juni, Gereja Katolik di Keuskupan Agung Ende juga memimpin aksi protes pada 12 Maret di kantor bupati dan DPRD Ngada.
Ratusan massa yang ikut dalam aksi itu tergabung dalam Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores.
Aliansi itu mencakup warga Mataloko dan beberapa organisasi keagamaan, termasuk Forum Pemuda Peduli Lingkungan Hidup Paroki Roh Kudus Mataloko dan Forum Peduli Keutuhan Lingkungan Terdampak Geotermal Paroki Santo Yoseph Laja. Mereka merupakan umat Katolik yang tinggal di sekitar lokasi proyek.
Selain itu, organisasi advokasi Gereja Katolik dari Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Keuskupan Agung Ende (Justice Peace and the Integrity of Creation/JPIC KAE), JPIC SVD Ende, JPIC SVD Ruteng dan JPIC-OFM juga ikut bergabung dalam aliansi.
Massa lainnya berasal dari Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, kampus berbasis di Maumere yang mayoritas mahasiswanya merupakan calon imam Katolik.
Proyek panas bumi di Flores merupakan bagian dari rencana transisi energi pemerintah untuk memenuhi target infrastruktur listrik Indonesia sebesar 35.000 megawatt.
Pemerintah menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017 dan mengidentifikasi 16 lokasi proyek.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pulau Flores memiliki potensi sebesar potensi 902 megawatt atau 65 persen dari total potensi di NTT.
Namun, proyek-proyek ini memicu resistensi warga lokal, karena lokasinya berdekatan dengan pemukiman dan lahan pertanian mereka.
Salah satu yang terus menjadi sorotan adalah proyek di Mataloko yang dijalankan oleh PT Perusahaan Listrik Negara.
Proyek ini dimulai pada tahun 1998 dan sejauh ini gagal menghasilkan listrik, sementara di sekitar lubang pengeboran terus mengeluarkan lumpur panas yang merusak lahan pertanian di sekitar.
Masalah di proyek Mataloko menjadi salah satu pemicu lahirnya penolakan terbuka Mgr. Paulus Budi Kleden pada awal Januari.
Ia menyebut sikapnya muncul “setelah mendengar kesaksian dari warga di Sokoria dan Mataloko serta hasil diskusi dengan para imam.”
Ia bahkan mendorong umat untuk memberi perhatian lebih dan membangun kesadaran dengan menyebarkan informasi ilmiah maupun pengalaman warga terdampak.
Suara yang sama kemudian ditegaskan enam uskup di Provinsi Gerejawi Ende dalam pernyataan bersama pada Maret lalu.
Mereka mempertanyakan arah pembangunan di Flores dan Lembata, “apakah sungguh membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”
Editor: Ryan Dagur