Floresa.co – Umat Katolik di Kabupaten Nagekeo, NTT bersatu dalam aksi unjuk rasa pada 5 Juni, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Berasal dari 20 paroki, umat yang bernaung di bawah Kevikepan Mbay, Keuskupan Agung Ende itu mendatangi kantor bupati.
Mereka menyebut diri sebagai Forum Peduli Lingkungan Hidup Kevikepan Mbay.
Pastor Paroki Yesus Kerahiman Ilahi, Marsel Kabut, OFM memimpin aksi itu, dengan penanggung jawab Vikaris Episkopal (Vikep) Mbay, Romo Asterius Lado.
Dalam orasinya, Wakil Vikep Mbay, Romo Basilius Lewa berkata, “kami datang untuk menyampaikan suara kenabian, suara umat dan suara bumi yang sedang menjerit.”
Aksi itu fokus pada penolakan terhadap proyek geotermal yang direncanakan di Kabupaten Nagekeo dan daratan Flores pada umumnya, menyebutnya mengancam kehidupan manusia dan keutuhan ciptaan.
“Kami telah menerima dan menelaah dengan seksama berbagai informasi dari umat di tiga titik yang telah disurvei oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” katanya, merujuk pada rencana lokasi proyek di Nagekeo.
Basilius berkata, 20 paroki yang ada di Kevikepan Mbay telah satu suara “menolak proyek geotermal karena mengancam tanah, air, udara dan masa depan anak cucu kami.”
Ia menilai geotermal tidak cocok dikembangan di bumi Flores karena “ini wilayah rawan bencana, kaya akan nilai budaya dan sangat bergantung pada ekosistem alami.”
“Kita tidak anti energi baru terbarukan, tapi masih ada opsi lain yang lebih aman, yakni tenaga angin dan arus laut,” katanya.
Basilius menegaskan pembangunan sejati adalah yang menghidupkan masyarakat, bukan yang justru menghancurkan alam.
Dalam terang iman, “kami diajarkan untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama, bukan menjualnya pada kepentingan modal.”
Ia berkata, eksplorasi geotermal berisiko tinggi merusak sumber air, mencemari udara dan memicu bencana ekologis yang tidak dapat dikendalikan.
Sementara dampak sosial, kata dia, proyek ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal, penggusuran dan hilangnya ruang hidup masyarakat.
Selain itu, proyek ini minim informasi dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat terdampak, hal yang melukai asas demokrasi dan keadilan sosial.
Karena itu, katanya, Gereja Katolik memiliki bertanggung jawab moral untuk bersuara.
“Kami tidak bisa diam jika tanah-tanah umat kami terancam,” katanya.
Basilius menegaskan aksi damai itu merupakan panggilan nurani, bukan sekadar reaksi emosional.
“Ini adalah suara umat dan suara gereja yang memihak pada kehidupan.”
Jika proyek ini tetap dilanjutkan, “biarlah sejarah mencatat bahwa gereja dan umat di Kevikepan Mbay tidak tinggal diam.”
“Kami akan berdiri bersama rakyat untuk mempertahankan tanah air. Semua kami sampaikan dengan penuh harap akan kebijaksanaan dan keberanian moral pemimpin daerah kami,” katanya.

Pastor Marsel Kabut OFM menambahkan, “kami bersuara bukan dengan kemarahan kosong, tetapi dengan luka yang nyata.”
“Kami juga bersuara bukan karena dendam, tetapi dengan cinta yang dalam kepada alam yang nanti sekarat.”
Ia berkata, mereka kini khawatir dengan alam yang sebentar lagi mungkin “dipetak-petak oleh kepentingan modal dan rencana teknokratik yang mengabaikan nurani.”
“Atas nama pembangunan, alam kami dikoyak, identitas kami digerus dan suara kami dibungkam,” tambahnya.
Pastor Paroki Kristus Raja Jawakisa, Kamilius Ndona, CP berkata, “bumi yang damai adalah hak asasi dan hak semua makhluk hidup.”
Namun, “saat ini, bumi semakin panas karena dosa semakin banyak.”
“Di gunung ada ribuan mesin yang membabat kayu, sementara di laut ada bom ikan bersahut-sahutan.”
Di darat, katanya, ada gemuruh tanah runtuh karena pertambangan, sampah bertebaran dan mata air diklaim sebagai milik pribadi.
“Kita bertanya, mengapa negeriku menuai bencana? Orang jujur akan mengatakan karena kita krisis budaya, spiritual, etika, serakah dan mengeksploitasi segala sumber daya atas nama pembangunan,” katanya.
Wajah bumi Nagekeo yang molek, kata Kamilius, akan dilukis dengan buruk karena tiba-tiba datang proyek geotermal.
Ia menegaskan orang paling awam pun tahu bahwa berdasarkan pengalaman empiris di mana-mana, geotermal berbahaya.
“Flores tanahnya sangat rapuh dan gampang amblas,” katanya.
Kamilius merujuk pada bencana tanah bergerak di Kampung Adat Nua Olo, Desa Bowaru, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada yang dihuni oleh 16 kepala keluarga dan 92 jiwa.
Sejak Februari, tanah di tengah kampung itu retak sehingga warga terpaksa mengungsi ke kampung tetangga, Malabowaru dan dua rumah adat telah dibongkar.
Warga menduga pemicunya adalah pengeboran geotermal untuk Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Nage di Kecamatan Jerebu’u yang dilakukan sejak 2021.
WKP Nage dengan kapasitas pengembangan 40 megawatt dari cadangan terduga 46 megawatt ekuivalen terletak di kawasan hutan yang memiliki luas 10.410 hektare.
Kamilius berkata, proyek geotermal akan menyebabkan sumber air berkurang, tanaman menjadi rusak, penyakit kulit dan warga akan pusing karena menghirup bau gas.
Ia menegaskan “Nagekeo bukan milik penguasa dan investor,” yang disusul dengan seruan massa aksi: “Setuju, setuju, setuju!”
“Atas dasar iman, penghargaan terhadap demokrasi, hak asasi manusia serta kearifan lokal, maka saya menyatakan menolak geotermal hadir di bumi Nagekeo,” katanya.
Wenslaus Dema, salah satu umat Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo berkata, “kami tidak tahu kenapa tempat kami dijadikan salah satu titik geotermal.”
“Mengapa kami tidak dipanggil untuk mengemukakan pendapat?” katanya.
Ia mengingatkan Bupati Nagekeo, Simplisius Donatus “jangan sampai ada air mata yang mengalir dari ibu-ibu yang kami cintai ini.”
“Kami tidak mau anak cucu kami diwarisi dengan tanah yang tidak subur dan air yang kotor. Kita lahir, besar dan akan kembali dikuburkan di tanah ini.”
Wenslaus berkata, “beberapa bulan yang lalu — merujuk pilkada November 2024 — kami sepakat mengantar bapak untuk berdiri dan berada di sini bersama dengan kami.”
“Pada hari ini seakan suara itu hilang entah ke mana. Kami menanti bapak untuk berdiri di hadapan kami dan bersama kami. Karena kami, bapak ada di sini,” katanya.
“Maka kami minta dengan sangat, jangan bersembunyi, jangan berdiri di belakang, jangan menjadi pengkhianat.”
Pernyataan itu disusul dengan seruan massa aksi: “Betul, betul, betul!”
“Kalau bapak mencintai tanah ini, bapak berdiri di sini. Kami berdiri di sini karena kami mencintai tanah leluhur kami,” kata Wenslaus.
“Kami menolak dengan tegas atas upaya pemerintah yang menetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal sebab telah berdampak buruk bagi kemanusiaan dan ekologi.”
Wenslaus juga mendesak pemerintah menghentikan pengeboran di lokasi baru geotermal di Flores, termasuk di lokasi yang masih dalam tahap survei.
“Kami mohon bapak bupati untuk bersama kami bersuara agar tidak melanjutkan pelaksanaanya,” katanya.
Ia meminta pemerintah untuk tetap berkomitmen teguh menjadikan Flores sebagai destinasi wisata alam, budaya dan religi.
Ia mengimbau pemerintah untuk segera beralih dari kebijakan geotermal kepada sumber energi yang lain — matahari, angin, air dan arus laut — “yang bagi kami lebih aman dan ramah terhadap lingkungan.”
“Apabila pernyataan sikap ini tidak diindahkan, maka kami akan terus melawan dan terus berdiri di sini,” katanya.
“Kami akan terus bersuara demi keutuhan dan keharmonisan Flores, rumah yang kami cintai. Mari kita merawat ibu bumi, rumah kita bersama yang menghidupi kita,” tambahnya.

Pastor Marsel Kabut, OFM berkata, “kami menolak segala bentuk pembangunan yang menghancurkan alam dan mengabaikan hak-hak rakyat.”
Ia menegaskan tidak ada pembangunan yang sah jika dibangun di atas penderitaan manusia dan merusak bumi.
“Kembalikan hak masyarakat adat dan lokal atas tanah, air dan ruang hidupnya. Bukan investor, tapi rakyatlah yang pertama dan utama berhak menentukan masa depan tanah ini,” katanya.
“Kami menolak pemiskinan struktural yang disebabkan oleh pembangunan yang rakus dan serakah,” tambahnya.
Marsel berkata, Nagekeo tidak butuh janji palsu investasi, tetapi hanya butuh keadilan ekologi dan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil.
“Kami akan menjaga tanah ini dengan tubuh dan suara kami.”
Jika negara tidak berpihak pada bumi, katanya, “kami akan berdiri sebagai tembok terakhir perlawanan.”
“Kami akan senantiasa mengawal supaya tanah Nagekeo ini bebas dari proyek geotermal,” katanya.
Marsel berkata, jika hukum berpihak pada kekuasaan, maka “kami akan menulis hukum yang baru dengan air mata, akal dan darah kami.”
Ia menegaskan deklarasi ini adalah sumpah untuk tidak tunduk pada kebijakan yang membunuh ibu bumi.
“Ini adalah sumpah untuk terus berdiri di sisi kehidupan. Nagekeo bukan tanah mati, ia hidup, suci dan bukan untuk dirusak,” katanya.
Dalam aksi itu, Pastor Marsel menyerahkan sebuah dokumen yang berisi poin-poin tuntutan warga kepada Bupati Nagekeo, Simplisius Donatus.
Merespons tuntutan warga Simplisius berjanji “akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menindaklanjuti aspirasi ini.”

Aksi damai itu merespons hasil survei Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyebut terdapat tiga kelompok lokasi pemunculan manifestasi panas bumi di Kabupaten Nagekeo.
Ketiga lokasi berada di Desa Marapokot, Kecamatan Aesesa; Desa Renduteno, Kecamatan Aesesa Selatan dan Kampung Wisata Pajoreja di Desa Ululoga, Kecamatan Mauponggo.
Survei tersebut disebut-sebut sebagai titik mula rencana proyek geotermal di kabupaten itu.
Sebelum aksi pada 5 Juni, umat Katolik di tiga paroki Nagekeo juga telah menggelar aksi di wilayah masing-masing sejak April hingga Mei.
Pada 25 Mei, ratusan umat dari Stasi St. Matius Rasul Marapokot dan St. Fransiskus Asisi Tonggurambang — keduanya tercakup dalam Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo — menggelar deklarasi penolakan terhadap proyek geotermal di dekat mata air panas Marapokot di Desa Marapokot, Kecamatan Aesesa.
Pastor Paroki Marsel Kabut, OFM dan tetua adat dari Suku Dhawe — pemilik tanah ulayat di wilayah tersebut — juga ikut dalam rombongan tersebut.
Aksi itu merupakan yang kedua di Paroki Yesus Kerahiman Ilahi Aeramo setelah sebelumnya umat di Stasi St. Matius Rasul Marapokot menyampaikan deklarasi serupa pada 19 Mei.
Deklarasi lainnya dilakukan oleh dua paroki lain di Kevikepan Mbay yaitu Kristus Raja Jawakisa dan St. Joane Babtista Wolosambi.
Di Paroki Jawakisa, Pastor Kamilius Ndona, CP memimpin ratusan umat termasuk anak-anak saat deklarasi pada 11 Mei.
Sementara belasan umat Stasi Pajoreja dan Stasi Dhawe di Paroki St. Joane Babtista Wolosambi — bagian dari Desa Ululoga dan Ladaolo, Kecamatan Mauponggo — melakukan deklarasi pada 19 April.
Deklarasi dipimpin oleh Ketua Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores, Pastor Felix Bhaghi, SVD. Freddy Leby dan Emanuel Krisito Ndala — masing-masing Ketua Stasi Pajoreja dan Dhawe — juga ikut serta, bersama kepala desa dan tokoh masyarakat dari Ululoga dan Ladaolo.
Ekspansi proyek geotermal di Flores merupakan bagian dari agenda pemerintah untuk transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan.
Kementerian ESDM telah menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi SK bernomor 2268K/30/MEM/2017 yang diteken Ignasius Jonan, Menteri ESDM pada 19 Juni 2017. Saat ini sejumlah proyek sedang digenjot.
Sementara di Nagekeo masih dalam tahap rencana, di kabupaten lain sudah masuk dalam tahap eksplorasi dan pengerjaan, seperti di Poco Leok, Wae Sano, Atadei dan Mataloko.
Namun, resistensi dari warga setempat tetap menguat, ditambah dengan pernyataan penolakan bersama para uskup pada Maret lalu.
Kementerian ESDM merespons hal ini dengan menggelar pertemuan dengan Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, yang kemudian melahirkan tim investigasi untuk meninjau lokasi-lokasi proyek itu.
Namun, tim itu menuai protes dari berbagai elemen yang meragukan independensinya karena melibatkan pihak perusahaan dan pemerintah.
Editor: Ryan Dagur