Floresa.co – Ditemani seekor kucing peliharaan, Hamra ke kebunnya pada Desember tahun lalu.
Usai memetik kelapa, warga Kampung Wae Rebo, Dusun Kerora, Desa Pasir Panjang di Pulau Rinca itu memilih beristirahat di pondok.
Ia sementara berbaring ketika tiba-tiba seekor komodo memasuki pondok, hendak memangsa kucingnya.
Hamra tidak menyadari kehadiran komodo itu karena penglihatannya sudah kabur.
Lantaran tak bisa menerkam kucing, kaki lansia berusia 74 tahun itu menjadi sasaran.
Beberapa warga sekitar yang mendengar jeritannya membantu mengeluarkan kakinya dari mulut komodo.
Kejadian pada 19 Desember 2024 itu dikisahkan kembali kepada Floresa pada 2 Juni oleh Meralda Adam, pegiat sosial yang juga Ketua Yayasan Perahu Kuning Harapan.
Sejak 2019, Meralda sering ke Pulau Rinca karena yayasannya membantu menyediakan perahu untuk pelajar SD dari Dusun Kerora untuk bisa ke sekolah mereka di Kampung Rinca.
Meralda ikut membantu Hamra kala itu setelah mendapat informasi kejadian tersebut dari seorang warga.
Ia segera menghubungi seorang staf Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) yang berbasis di Labuan Bajo.
Kepada staf itu, ia meminta menyediakan mobil untuk menjemput Hamra di Kampung Lenteng, Desa Golo Mori. Kampung Lenteng menjadi akses masuk via jalur laut bagi warga Pulau Rinca ke Pulau Flores.
Mobil tersebut lalu mengantar mengantar Hamra ke RSUD Komodo, arah timur Labuan Bajo.
Hamra sempat menjalani rawat inap selama beberapa hari di ruangan Instalasi Gawat Darurat dengan 39 jahitan di kaki kirinya.
Beruntung, kata Meralda, Hamra mempunyai kartu BPJS Kesehatan dan sebagian biaya perawatannya dibantu BTNK.

Kasus komodo yang menggigit warga di kawasan Taman Nasional Komodo, seperti yang terjadi pada Hamra bukanlah insiden tunggal, baik di Pulau Rinca maupun Pulau Komodo – dua pulau yang menjadi habitat utama satwa langka itu.
Pada 2023, Ardiansah, warga lain di Kampung Wae Rebo juga digigit komodo saat sedang membersihkan selang air yang tersumbat. Gigitan itu menyasar tangannya hingga terluka.
Muhamin, 18 tahun, warga Kampung Wae Rebo lainnya juga digigit komodo pada 24 Oktober 2023.
Pergelangan hingga jari tangannya terluka usai digigit saat ia sedang duduk santai di dekat rumahnya.
Di Pulau Komodo, Kamarudin, 47 tahun digigit komodo pada pada 1 November 2023.
Ia sedang memungut buah asam yang sebelumnya terjatuh dari dahan yang ia goyang-goyangkan saat seekor komodo mendekat dari arah belakang dan menerkam betis kirinya.
Ia sempat dirawat di Rumah Sakit Siloam Labuan Bajo.
Menurut data Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), sejak 1974 hingga 2024 terjadi 42 kasus gigitan. Lima di antara korban meninggal.
Pembangunan Pagar yang Mangkrak
Basir, Kepala Dusun Kerora berkata, pemicu maraknya kasus gigitan ini karena BTNK belum membangun pagar pembatas yang memisahkan wilayah yang biasa diakses warga dengan habitat alami komodo.
Ia mencontohkan situasi di Kampung Wae Rebo, bagian dari dusunnya.
BTNK, katanya, sempat memulai proyek pembuatan pagar pembatas pada 2022.
Namun, proyek dengan anggaran Rp1,6 miliar itu, BTNK hanya membangun pagar sepanjang 970 meter dan setinggi 1,5 meter di Kampung Kerora. Kampung lainnya Wae Rebo tidak menjadi sasaran proyek itu.
Hal itu membuat komodo kini terkonsentrasi di Kampung Wae Rebo, katanya.
Ia berkata, sebelum ada pagar pembatas di Kampung Kerora, komodo kerap memasuki kampung itu antara pukul 09.00-10.00 Wita dan memangsa kambing atau ayam peliharaan warga.
“Untuk kambing saja, seminggu ada dua atau tiga yang diterkam komodo,” katanya.
Hanya, kata dia, kejadian demikian luput dari berita, berbeda halnya ketika korbannya manusia.
Ia mengaku khawatir dengan situasi di Kampung Wae Rebo karena mobilitas para pelajar dan guru yang setiap hari harus melewati jalan setapak di hutan saat pergi-pulang ke SDI Kerora.
Memang ada jalan alternatif menuju ke sekolah dengan melewati pantai, namun “jalur itu tidak bisa diakses ketika air laut mencapai pasang tertinggi.”
Basir berkata, warga berkali-kali mendesak BTNK untuk segera membangun pagar sepanjang satu kilometer di Kampung Wae Rebo.
“Mereka hanya memberi janji, sampai sekarang belum ada realisasi. Tidak tahu apa kendalanya,” katanya.

Sementara di Kampung Komodo, Pulau Komodo, BTNK sempat memulai pembangunan pagar sepanjang 1.073 meter.
Namun, proyek yang dikerjakan pada 2021 itu dengan anggaran Rp3,2 miliar mangkrak.
Ismail, Sekretaris Desa Komodo berkata, pengerjaan pagar itu hanya sampai ke tahap pembangunan fondasi dan “kami tidak tahu kelanjutannya seperti apa.”
“Sampai sekarang tidak ada kejelasannya,” katanya.
Ismail berkata, hampir 2.000 warga Kampung Komodo bisa terlindungi dari serangan komodo jika pagar tersebut dikerjakan dengan tuntas.
Karena itu, kata dia, warga sangat berharap pembangunan pagar bisa dilanjutkan.
BTNK: Tidak Ada Anggaran
Ditemui Floresa di ruang kerjanya pada 3 Juni, Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga berkata, proyek pagar di Kampung Komodo mangkrak karena kontraktor yang berasal dari Yogyakarta mengundurkan diri usai menyelesaikan fondasi.
Kendati tak merinci, ia menyebut pihaknya hanya membayar kontraktor sesuai perkembangan pengerjaan.
“Sisa anggaran proyek itu dikembalikan ke kas negara,” katanya.
Ia tak menjelaskan alasan mengapa proyek itu tidak dilanjutkan pasca mundurnya kontraktor itu.
Hendrikus mengakui bahwa pembangunan pagar di Rinca dan Komodo penting untuk keamanan warga.
Karena itu, hampir setiap tahun BTNK mengusulkannya kepada pemerintah pusat.
Namun, “saya tidak bisa menjamin pembangunannya kapan.”
“Kalau dari pusat tidak ada anggaran, mau bagaimana?”
Ia berkata, Kementerian Kehutanan yang membawahi BTNK “belum punya anggaran yang cukup.”
Namun, ia lagi-lagi berjanji untuk tetap memperjuangkannya.
“Kami juga berusaha mencari dana CSR — Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial korporasi — namun belum ada alokasi anggaran,” katanya.

Hendrikus berkata, anggaran yang dialokasikan Kementerian Kehutanan ke BTNK pada tahun ini hanya Rp15 miliar, turun drastis dari Rp23 miliar tahun lalu.
Anggaran tersebut hanya cukup untuk belanja pegawai dan operasional terbatas BTNK, katanya.
Sementara untuk pembangunan pagar di Pulau Komodo, ia memperkirakan menelan biaya Rp4 miliar dan di Kampung Wae Rebo, Pulau Rinca Rp2 miliar.
Ia menambahkan, pembangunan pagar bukan satu-satunya cara untuk melindungi warga dari serangan komodo, kendati tak merinci cara-cara lainnya.
Pembangunan pagar hanya langkah untuk “meminimalisasi kasus gigitan,” kata Hendrikus.
Situasi Mendesak
Merespons alasan BTNK soal ketiadaan anggaran, Kepala Dusun Kerora, Basir berharap ada solusi karena “kondisinya darurat.”
“Kami tidak ingin hal yang buruk terjadi,” katanya dan hal ini demi keamanan masyarakat, khususnya anak-anak yang setiap hari pergi-pulang ke sekolah.
Ia berkata, komodo yang ada di Dusun Kerora masih liar sehingga “warga secara mandiri meningkatkan kewaspadaan, terutama ketika keluar dari rumah.”
Memang, kata dia, ketika komodo melihat manusia, reptil raksasa itu memilih menghindar.
Namun, “dalam kondisi tertentu, misalnya ketika sedang menyantap makanan, lalu ada manusia yang lewat, dia akan merasa terancam atau terganggu.”
“Dalam kondisi terjepit, komodo tidak punya akses untuk lari sehingga bisa menyerang manusia,” tambahnya.
Kendati demikian, kata Basir, “kami sudah lama bersepakat soal kewajiban untuk melindungi binatang ini.”
Sejak TNK berdiri, “kami selalu menjaga hubungan dengan komodo, pun dengan satwa-satwa lain yang dilindungi.”
Ketika komodo diperlakukan sedemikian rupa sehingga tetap lestari, “kami berharap masyarakat yang berada di dalam kawasan TNK juga diperhatikan, minimal keamanan kami.”
“Mungkin BTNK tidak begitu paham seperti apa suka duka kami menjaga TNK. Kalau terjadi apa-apa di TNK, kamilah yang paling pertama turun tangan,” katanya.
Karena itu, ia berharap “BTNK jangan menganggap sepele hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan kami.”
“Jangan keindahan alamnya saja yang dipublikasikan secara masif, tetapi keselamatan masyarakat tidak diperhatikan,” kata Basir.
Editor: Ryan Dagur